Saya punya kenangan kecil dengan Arief Budiman. Sebuah kenangan yang demikian membekas bertahun-tahun kemudian hingga sekarang terus saja saya ingat. Dan mungkin sekarang saat yang tepat untuk membagikan kenangan tersebut.
Tahun 1989 hingga awal 90an, ketika saya masih mahasiswa baru, saya –baik sendirian maupun bersama teman-teman– suka mengunjungi para cendikiawan dan akademisi terkenal zaman itu. Kami misalnya bertandang ke rumah sejarawan Sartono Kartodirdjo, ilmuwan politik Lance Castle dan Herbert Feith, dan budayawan Umar Kayam yang berdiam di kompleks perumahan dosen UGM Bulaksumur waktu itu. Kami juga mengunjungi beberapa cendikiawan muslim yang namanya tengah gemerlap. Juga yang saya ingat adalah main ke rumah Romo Mangun di Gang Kuwera. Cara santri, kami melakukan perjalanan yang biasa disebut dengan ngalap berkah!
Tapi dari sekian itu yang paling mengesankan adalah silaturahim ke tempat Arief Budiman. Pertama karena ini salah satu silaturahim awal saya ke rumah tokoh-tokoh itu. Yang kedua, tentu karena sambutannya yang demikian hangat.
Nama Arief sudah saya kenal karena beberapa bukunya dan juga melalui buku Soe Hok Gie yang terkenal Catatan Seorang Demonstran. Wawancara-wawancaranya selalu menarik karena ketajaman lidahnya mengritik pemerintahan.
Tahu ternyata Salatiga bisa dicapai pulang-pergi ngebis, maka saya pun memutuskan untuk mengunjunginya. Waktu itu saya belum pernah sama sekali ke Salatiga. Berbekal ancer-ancer dari seseorang, kalau gak salah M. Imam Aziz, saya pun menuju Salatiga. Tidak ada janjian terlebih dulu, pokoknya berangkat saja.
Saya turun di pertigaan kampus UKSW, masuk kampus jalan kaki dan kemudian bertanya kepada mahasiswa dan warga kampung di belakang kampus UKSW. Tidak sulit karena nama Arief sangat kondang. Hampir semua orang mengenalnya. Hanya 2-3 kali bertanya saya sudah sampai ke rumahnya.
Rumah Arief sangat indah, ideal untuk seorang peneliti dan penulis. Di halamannya yang luas ada angsa yang berteriak memberi tanda ada tamu. Beruntung Arief ada di rumah dan ia yang menyambut langsung. Ditanya siapa dan ada keperluan apa, saya menyebut nama dan menjawab: ya silaturahim aja. Saya belum pernah bertemu dia secara langsung dan sebenarnya sangat dagdigdug. Saya dipersilahkan masuk dan duduk, dan tak lama kemudian di depan saya ada suguhan teh.
Arief juga memperkenalkan saya pada Leila, istrinya. Ia memangggil namanya ‘Leila’, panggilan yang kurasa sangat mesra sekali waktu itu justru karena tanpa embel-embel, misal ‘dik’ atau ‘say’.
Lalu, kami pun ngobrol. Sungguh ngobrol beneran, hingga saya hilang rasa gemetar. Saya banyak tanya, terutama tentang peristiwa ’65 dan Malari ’74, serta tentu saja rezim waktu itu. Arief juga cerita tentang kelompok Warkop Prambors, yang sebagiannya mantan aktivis UI.
Tapi Arief juga banyak bertanya, misal tentang agama: apakah saya saalat, dan lain-lain. Saya jawab, “Ya.” Dan kami pun berdiskusi. Ia bilang, ia secara KTP muslim, tapi nggak pernah salat, kecuali ikut Leila di belakangnya, jelasnya. Dan banyak lagi hal menarik. Tentu saja pandangannya banyak mengagetkan saya.
Kira-kira satu jam ngobrol datanglah aktivis pers mahasiswa klo tdk salah dari Surabaya. Mereka wawancara dengan memegang outline pertanyaan di tangan. Sekali bertanya, lalu lihat outline. Arief kemudian meminta mereka untuk jangan lihat outline. “Ngobrol bebas saja dan jangan takut salah, karena saya nggak akan nangkap, seperti mas ini (sambil menunjuk saya),” katanya. Duh rasanya gimana gitu: GR.
Setelah pukul 12, Arief nanya mau ke mana lagi. Saya jawab mau balik ke Jogja. Okay, kata Arief, saya akan telepon teman, karena kamu juga harus kenal dia.
Nggak lama kemudian, datanglah seseorang yang kemudian saya kenal sebagai Ariel Heryanto. Ariel kemudian mengajak saya makan siang dan setelahnya mengantarkan ke pemberhentian bis. Tentu saja selama di mobil dan makan, kami ngobrol banyak.
Saya selalu ingat hal ini karena sambutan yang sangat menyenangkan, padahal saya bukan siapa-siapa. Hanya seorang muda yang polos dan lugu. Mungkin kusam dan dekil. Karena itu mengenang hal ini kadang saya merasa malu dan ingin ketawa sendiri. Kesan indah ini makin meningkat karena beberapa bulan setelah itu, kami –saya dan teman– diusir ketika berkunjung ke rumah dua orang cendikiawan muslim di Yogya. Terutama kami dikira mahsiswa yang mau konsultasi, karena pengusiran oleh si istri diiringi kata-kata: bapak gak ada di rumah, urusan kampus di kampus, jangan di rumah. Lalu, brak pintu ditutup. Duh jauh sekali dengan sambutan Arief.
Setelah itu, saya beberapa kali lagi ketemu Arief di seminar maupun di acara demonstrasi. Juga mampir ke rumahnya. Juga dengan Ariel, sebelum keduanya kemudian diusir dari UKSW karena konflik soal pemilihan rektor.
Beberapa tahun kemudian kami mengundang Arief Budiman seminar tentang “Sastra Kontekstual” yang berakibat kami dimarahi rektor. Tahu sendiri kalau dia datang peserta akan penuh, tapi intel negara juga bejibun. Selain Arief, Leila dan Ariel juga ikut ikut hadir.
Inilah kenangan kecil dengan Arief yang tak pernah saya lupakan.