Salah satu daerah yang masih mempertahankan ie bu (kaji) adalah masyarakat Pidie. Keberadaan daerah Pidie dalam tatanan kehidupan dan bermasyarakat di Provinsi paling barat di Nusantara mempunyai peranan dan pengaruh yang sangat besar, Pidie menjadi “nahkoda” dalam memajukan Aceh dan ini telah dirintis para tokoh dan ulama terdahulu bahkan tidak sedikit kuliner dan adat istiadat dan budaya populer masih menjadi tradisi masyarakat Pidie.
Salah satu kala Ramadan tiba dan ini juga dibeberapa daerah lainnya ada prosesnya yakni hampir semua Meunasah (surau) menyajikan wot Ie Bu kepada masyarakat setiap sore selama bulan Ramadan. Wot Ie Bu (proses memasak bubur kanji) ini merupakan makanan khas buka puasa di Aceh dan hanya tersedia saat bulan Ramadan saja.
Sudah menjadi adat istiadat bahkan terasa hambar apabila Ramadan yang dilalui tanpa bubur kanji (ie Bu). Proses tersebut biasanya dimasak oleh pengurus masjid sekitar pukul 13.30 WIB selama 1,5-3 jam. Sekitar pukul 16.30 WIB, anak-anak akan datang ke meunasah atau masjid sambil membawa wadah masing-masing.
Salah seorang budayawan Aceh yang juga putra Pidie TA Sakti menyebutkan bahwa di Pidie jenisnya bubur kanji atau ie bu ada tiga macam, yaitu ‘ie bu biasa’, ‘ie bu leumak’, dan ‘ie bu on kaye’. Yang sangat populer dewasa ini adalah ‘ie bu biasa’. Ia mudah dimasak dan tidak membutuhkan modal banyak. Cukup hanya dengan beras, santan kelapa, garam, dan air bersih. Jenis kedua adalah ‘ie bu leumak’ (lemak) yang memerlukan banyak modal.
Di antara bahan pokok yaitu: minyak kelapa, kulit manis, bawang merah, serai, jahe, on teumeurui (daun kari), boh kaca kace (cengkih). Sudah pasti pula beras, santan kelapa, air bersih merupakan bahan utama.Cara memasaknya adalah seperti orang syra’h eungkot (tumis ikan). Minyak kelapa dan bawang merah yang pertama dimasak. Kemudian baru santan dan beras. Sedang bahan-bahan lain baru dimasukkan ke dalam kuali setelah dibungkus dalam ‘iniem u’ (upih kelapa).
Adakalanya dimasak seperti orang menumis daging, yaitu dengan menggiling semua bahannya. Jenis ‘ie bu’ yang hampir sama dengan ‘ie bu leumak’ adalah ‘ie bu kanji’. Bahan tambahannya hanyalah salah satu dari hal berikut ini, yaitu baik daging sapi, daging bebek, ayam jago, kepiting, atau udang. Jenis yang ketiga disebut ‘ie bu on kaye’ (bubur daun kayu).
Dewasa ini sudah agak jarang dipraktikkan orang. ‘Ie bu on kaye’ tidak menggunakan santan kelapa. Bahannya adalah beras, air bersih, dan 44 macam daun kayu. Dalam bahasa Aceh disebut “on kaye peuet ploh peuet”. Di Kabupaten Aceh Besar, sebutannya ‘ie bu peudah Dari ketiga jenis tersebut ie bu lemak lebih banyak peminatnya dan kerap dijajakan saat Ramadan sebagai menu buka puasa.
Prosesinya dimasak dalam belanga berukuran besar dan diatas tungku api. Bubur kanji ini fungsinya dua macam. Pertama, sebagai minuman segar bagi mereka yang buka puasa di rumah. Kedua adalah sebagai minuman pelengkap bagi kaum muslimin (orang laki laki) yang pada umumnya buka puasa di meunasah.
Saat tiba Ramadan, masyarakat Aceh termasuk Pidie, hampir semua kegiatan selama bulan Ramadan berlangsung di Meunasah. Kegiatan-kegiatan tersebut ialah: Tadarrus Al Qur’an, Khanduri Tamaddarus, buka puasa bersama, bayar fitrah dan taguen ie Bu Kanji.
Terkait memasaknya. Setiap Gampong ada orang yang bertanggung jawab untuk terselenggaranya acara ini adalah Teungku Peutuwa atau Teungku Sagoe (Imam Kampung). Bisa jadi orang tertentu yang telah dipercayakan untuk memasaknya. Semua persiapan, yaitu sejak dari mencari juru masak, menyediakan bahan dan lain-lain diurus sang koki alias juru masak.
Keahliannya bagi juru masak bubur diberi ongkos menurut ukuran setempat. Sebagian Gampong diberikan upah sang pemilik Ie Bu Kanji. Sebelum Ramadan biasanya ada rapat atau semacam list namanya yang akan menyedekahkan Ie Bu Kanji, seluruh biaya ditanggung pemilik. Terkadang satu hari ditanggung satu orang atau dua orang sesuai dengan kesepakatan suatu Gampong.
Daerah lain ada kebijakan tersendiri dan itu berbeda sesuai hasil musyawarah Gampong tersebut. Namun satu hal yang harus dihindari, untuk ongkos memasak ie kanji jangan diambil dari senif zakat dan ini telah menyalahi aturan agama yang berlaku. Sepengetahuan penulis, praktik seperti ini masih ada di beberapa Gampong.
Terkait fenomena ini, peran Teungku Imum Gampong dan Kepala Desa (Geusyik) harus selektif dan hendaknya bertanya dulu kepada ahli agama jangan sampai melakukan kebaikan dengan aturan yang bertentangan syari’at Islam. Tradisi memasak Ie Bu Kanji merupakan warisan endatu hendaknya kita lestarikan dan ini juga bagian dari ladang amal dengan bersedekah. Sudahkah Anda melakukannya?
Wallahu Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq