Ketika mengakses informasi dan berita sehari-hari di media sosial, kita sering menemui permasalahan seputar bid’ah. Segala sesuatu yang tidak tertera dalam al-Qur’an atau hadis sering dianggap bid’ah oleh sebagian orang. Tanpa pengetahuan dan pemahaman yang cukup mengenai ilmu agama, sebagian orang mudah menganggap orang lain melakukan bid’ah. Dalam sejumlah kasus, bahkan pelakunya dituduh kafir. Dari segi definisi segala hal yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. memang disebut bid’ah. Namun, tidak semua bid’ah merupakan bid’ah yang sesat. Justru bid’ah yang selaras dengan ajaran agama sebetulnya dianjurkan, bahkan bisa bernilai wajib.
KH Hasyim Asy’ari, pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama sekaligus tokoh ulama Nusantara yang tersohor secara internasional telah menguraikan persoalan ini secara rinci. Dalam sebuah kitabnya, Risalah Ahlissunnah wal Jama’ah, yang diterbitkan Maktabah at-Turots al-Islami edisi 1418 H, beliau menjelaskan dengan gamblang mengenai topik sunnah dan bid’ah yang dilandasi dengan hadits-hadits yang tsiqoh. Kami para santri kelas XI MANPK Jombang berkesempatan mengkaji kitab tersebut selama bulan Ramadan ini dibawah bimbingan Ustadz M. Saiful Umam, M.Pd. Berikut adalah ringkasannya dengan disertai beberapa contoh mutakhir untuk memudahkan pemahaman.
Menurut Syekh Abu al-Baqa’ al-Kafawi dalam kitabnya yang berjudul al-Kulliyat Mu’jam al-Musthalahat wa al-Furuq al-Lughawiyyah, sunah punya tiga pengertian. Secara kebahasaan ia adalah suatu jalan (ajaran), baik yang diridhai ataupun tidak. Secara istilah ia adalah sebutan bagi ajaran yang diridhai Allah dan dijalankan oleh Rasulullah s.a.w. dan para sahabat serta pengikut-pengikut mereka. Sedangkan secara umum (‘urf), sunah adalah ajaran yang ditradisikan oleh para nabi dan wali Allah. Dalam kaitan ini, Ahlussunnah wal Jama’ah (sunni) adalah kelompok yang menjalankan sunah Nabi dan para pengikut beliau.
Selanjutnya, jika terdapat kesamaran mengenai suatu perkara (ada dalil yang saling kontradiktif), kita harus meneliti perkara tadi secara lebih seksama lalu mendahulukan pendapat yang lebih dominan untuk menentukan apakah status perkara tadi lebih condong ke arah bid’ah atau bukan.
Jika terdapat suatu perkara (perbuatan) yang pernah ditemui namun tidak dilakukan oleh ulama salaf, menurut Imam Malik hal tersebut adalah bid’ah. Sedangkan menurut Imam Syafi’i itu bukanlah bid’ah karena terdapat kemungkinan adanya suatu udzur atau perkara lebih afdhal yang menyebabkan para ulama salaf meninggalkan perkara tersebut.
Amalan hasil ijtihad (fatwa-fatwa para imam dan ulama) juga tidak bisa disebut bid’ah. Sebab, dinamika dunia dari waktu ke waktu tentu akan memunculkan permasalahan-permasalahan baru yang menuntut adanya ijtihad. Hukum ijtihad pun adalah hukum Allah yang sama benarnya karena ia dihasilkan melalui pemahaman dan istinbath dalil-dalil syar’i.
Bid’ah, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Ahmad Zaruq al-Fasi dalam kitab ‘Uddatul Murid adalah inovasi dalam praktik pengamalan agama yang tidak ada dalam ajaran syari’at serta dalil-dalil syara’ (al-Qur’an dan Hadis).
Para ulama menekankan bahwa bid’ah adalah suatu amal yang tidak bisa mendekatkan diri kepada atau mendatangkan ridha Allah. Oleh karena itu, jika suatu amal dapat mendekatkan diri kita kepada atau mendatangkan ridha Allah, maka ia tidak bisa disebut bid’ah yang sesat. Begitu pula jika terdapat suatu inovasi yang merujuk kembali kepada landasan ushul atau terdapat contoh furu’nya, maka dia bukan bid’ah yang sesat.
Menurut Syekh Zaruq, untuk melihat apakah suatu amal bisa dinyatakan bid’ah atau bukan kita perlu mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, kita perlu meneliti suatu perkara baru secara mendalam dan rinci. Jika didalamnya terdapat prinsip syari’at dan landasan ushul, maka ia tidak bisa disebut bid’ah.
Kedua, kita perlu mempertimbangkan kaidah para ulama dan imam terdahulu. Jika bertentangan dengan kaidah-kaidah mereka, maka perkara tersebut dianggap bid’ah. Ketiga, kita perlu mengkategorikan setiap perbuatan dengan takaran hukum, yaitu wajib, sunnah, haram, makruh, khilaf aula (tidak sesuai dengan perkara yang lebih utama), dan mubah. Jika terdapat suatu perkara yang tidak bisa diidentifikasikan dengan salah satu kategori di atas, maka ia dianggap sebagai bid’ah.
Kembali menurut Syekh Zaruq, bid’ah dibagi menjadi tiga macam. Pertama, bid’ah sharihah, yaitu amalan atau ajaran yang tidak dilandasi dan bertentangan dengan ajaran syari’at dan dalil-dalil syara’. Contohnya adalah sujud freestyle ala Free Fire yang sedang heboh itu. Kedua, bid’ah idhafiyyah, yakni inovasi dalam perkara yang sudah jelas berstatus sunah. Dalam menentukan status perkara ini, kita perlu melakukan penelitian lebih lanjut. Apabila di dalamnya tidak terdapat indikasi yang menunjukkan bahwa dia adalah bid’ah, maka statusnya adalah sunnah. Contoh bid’ah idhafiyyah adalah perayaan Maulid Nabi yang disandarkan kepada dalil al-farhu li wiladati ar-Rasul (bahagia karena kelahiran Nabi).
Sedang yang ketiga adalah bid’ah khilafi, yakni bid’ah yang statusnya dipersengketakan oleh dua kelompok. Suatu kelompok menggolongkannya sebagai bid’ah, sedangkan yang lainnya menggolongkan bukan bid’ah dan keduanya punya landasan yang sama-sama kuat. Mengenai hukumnya, kita perlu memeriksa terlebih dulu apakah terdapat korelasi dengan dalil syara’ atau tidak. Jika dilandasi dengan dalil syara’ maka ia bukan bid’ah. Contoh dari bid’ah khilafiyyah adalah berdzikir dengan suara keras atau berjama’ah.
Adapun Syekh ‘Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam al-Salami mengkategorikan bid’ah menjadi lima. Pertama, bid’ah wajib. Yakni, perkara baru yang membantu dalam memahami agama, seperti mempelajari ilmu agama melalui kitab-kitab yang berformat PDF, mengikuti pengajian melalui media Youtube atau Zoom, dan lain-lain. Kedua, bid’ah haram. Yakni, perkara baru yang bertentangan dengan syari’at dan agama, misalnya tindakan mengebom tempat peribadatan agama lain dengan dalih jihad seperti terjadi di Makassar baru-baru ini.
Ketiga, bid’ah sunah. Yakni, perkara baru yang baik (tidak menyeleweng dari syari’at dan agama) yang belum pernah ada di era Rasulullah dan sahabat-sahabat beliau, seperti menggunakan pengeras suara untuk melantunkan adzan, bersilaturahmi melalui video call, dan lain-lain. Keempat, bid’ah makruh. Yakni, perkara yang dilakukan secara berlebihan, walaupun hal tersebut adalah baik, seperti membangunkan orang untuk sahur dengan menggunakan mercon atau alat tabuh yang keras.
Kelima, bid’ah mubah. Yakni, perkara yang tidak dilarang menurut dalil, seperti mushafahah (bersalam-salaman) setelah shalat, tahlil bagi mayit, menggunakan alat tasbih, dan lain-lain.
Dengan mengikuti pembahasan mengenai sunah dan bid’ah dalam kitab karya KH Hasyim Asy’ari di atas, kita bisa memahami bahwa permasalahan seputar bid’ah dan sunnah tidaklah sesederhana yang kita duga dan temui sehari-hari. Diperlukan pengetahuan serta pemahaman yang mendalam mengenai ilmu agama serta konteks perkara yang dibahas. Kita bisa memahami bahwa inovasi yang selaras dengan agama atau yang membantu dalam memahami agama tidak bisa dianggap bid’ah.
Kita juga perlu menyaring segala informasi serta berita secara kritis agar terhindar dari pemikiran yang sempit dan radikal. Dengan melakukan hal-hal tersebut, kita bisa membedakan mana sesungguhnya perkara yang sunah dan benar, serta mana yang bid’ah dan sesat. Ini semua kita butuhkan guna merawat ukhuwwah, ikatan persaudaraan, baik dengan sesama Muslim, sesama warga negara, maupun sesama manusia.