Sedang Membaca
Pandemi Kebudayaan
Gema Erika Nugroho
Penulis Kolom

Penulis adalah pembaca dan penikmat seni.

Pandemi Kebudayaan

budaya

Bukannya kehidupan

tidak mau memberi

Tapi engkau tidak sungguh-

sungguh mencari

 

Saya awali tulisan ini dengan sebuah kutipan dalam buku Kulya dalam Relung Filsafat (2005) yang ditulis oleh Nurel Javissyarqi. Buku kecil ini bagi saya bukan hanya sekadar rekaman kegelisahan penulisnya menyikapi yang tampak dan tak tampak di luar atau bahkan di dalam diri penulisnya, tetapi juga berisi perasan filsafat dan hikmah yang membentang mulai dari halaman pembuka hingga penutup, yang seolah mengajak pembaca untuk hening mengkhidmati kehidupan.

Ada perspektif unik yang bersenyawa dengan untaian kata dan kalimat sehingga menjelma lautan makna-makna yang sangat menggoda untuk diselami. Inilah alasannya kenapa saya berani menaruh buku ini berjejeran dengan buku-buku legendaris dunia di bagian atas rak-rak kehidupan saya.

Dalam jagat kesusastraan negeri ini, Nurel Javissyarqi mungkin termasuk salah satu penulis yang unik: bagaimana cara dia mengungkapkan ide-idenya dalam bentuk tulisan, kadang seperti lagu instrumental weightless atau Clair de Luna yang membuat kita mudah terlelap, kadang seperti long hook-nya Muhammad Ali dalam ring tinju, kadang sangat praktis dan mudah dibaca, kadang gelap sehingga membuat pembaca mengerutkan alisnya.

Dan yang lebih unik lagi: penulis asal Lamongan ini memiliki keberanian dalam mengkritik siapa saja. Buku Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia yang ditulisnya adalah contoh nyata bagaimana ia begitu kritis dan tidak takut mengungkapkan apa yang mesti dia ungkapkan.

Nurel Javissyarqi dan tulisan-tulisannya adalah kemerdekaan. Ia adalah sejenis pengarang yang menikmati kebebasannya. Ia tidak menulis untuk mengemis pada penguasa. Ia menari-nari dengan kebebasannya. Tak tergiur oleh isme-isme yang kelihatannya “gagah” sebagai sebuah konsep-konsep namun “pucat” begitu kehidupan menagih kontribusinya yang konkret.

Baca juga:  Paradigma Ekonomi Alternatif "Kawruh Beja" di Tengah Pagebluk

Saya hanya membayangkan Nurel Javissyarqi terkekeh-kekeh di tengah penulis-penulis yang menyandang “nama besar” namun begitu patuh pada konsep-konsep atau isme-isme yang diberhalakan. Pemberhalaan ini sesungguhnya adalah musuh bagi setiap insan yang memiliki hati dan pikiran.

***

Kini dunia seolah sesak oleh manusia-manusia yang bersimpuh di depan “maha-isme”, dan di waktu yang bersamaan kritisismenya tumpul. Begitu mudahnya “percaya” dan mengamini konsep-konsep yang sesungguhnya tak dipahaminya itu.

Saya kemudian mencari keyword yang kira-kira pas di balik meledaknya konsep-konsep besar atau paham-paham yang—semakin dibedah di ruang-ruang akademis—justru semakin gelap dan membingungkan itu. Akhirnya saya menemukan titik terang bahwa di balik isme-isme itu ada sebuah proses pencarian tentang jati diri manusia dan kehidupannya. Mereka mencari, mencari, dan terus mencari..  Bukannya kehidupan/ tidak mau memberi/ Tapi engkau tidak sungguh-sungguh mencari.

Pencarian itulah—dengan kultur dan cara pandang masing-masing individu yang berbeda—menghasilkan solusi-solusi tentang problem kehidupan, mulai dari yang abstrak, rumit, praktis, lebay, dan ngawur. Apakah hasil pencarian itu objektif atau subjektif, benar atau salah, indah atau jelek, manfaat atau madarat, mengagumkan atau membosankan, itu urusan lain. Dalam istilah akademik, untuk sampai pada penilaian-penilaian semacam itu dibutuhkan perdebatan panjang. Sebab semua masih dalam batas perkiraan: Tidakkah kebenaran dan kesalahan/ berangkat dari perkiraan, lalu tidak terbantahkan.. tulis Nurel Javissyarqi.     

Merasa “paling keren” memang tak terhindarkan dalam setiap kajian, riset, observasi atau penelitian. Wajar. Apalagi isme-isme yang telah menginspirasi dunia kampus sehingga lahir berton-ton makalah, skripsi, tesis, dan disertasi dari setiap generasi. Terasa paling keren, apalagi, ketika isme-isme itu telah mendarah daging menjadi ideologi dan mazhab. Tambah keren lagi ketika satu sama lain saling sikat untuk menabalkan eksistensinya masing-masing.

Baca juga:  Puasa (Tak) Lupa Berasap

***

Apa yang hari ini sudah terlampau kita anggap keren sehingga kita seolah-olah merasa kurang keren karenanya, apalagi merasa paling keren sejagat raya, mungkin ada baiknya kita pertanyakan kembali: isme apakah gerangan yang membuat hati dan pikiran kita mudah kagum? Mudah kagum pada sesuatu yang “hanya kelihatannya” sehingga memengaruhi pikiran dan tindakan kita adalah pandemi kebudayaan yang jauh lebih berbahaya daripada pandemi covid-19.

Pandemi inilah yang membuat psikologi seseorang kadang merasa minder ketika dihadapkan dengan segala hal yang berbau Barat. Seorang teman mengaku lebih percaya diri menukil tokoh-tokoh Barat dalam setiap diskusi. Bahkan ada yang tugas skripsinya sedikit terbengkalai karena begitu idealisnya mencari referensi dari literatur-literatur Barat.

Bukan maksud saya memandang dengan mata penuh curiga terhadap Barat dengan peradabannya yang modern. Tidak. Saya hanya memberikan suatu perspektif bahwa setiap produk pemikiran manusia, secanggih apa pun ia menjelma konsep dan teori, tetaplah akan menabrak keterbatasannya sendiri. Termasuk dalam konteks ini adalah peradaban modern yang selalu dipuja dan dibangga-banggakan.

Mahatma Gandhi berkali-kali mengkritik peradaban modern yang disebutnya justru sebagai biang kerusakan “Bagi Gandhi,” tulis Bikhu Parekh dalam Gandhi: A Very Short Introduction (1997), “setiap peradaban diilhami dan diberi energi oleh konsepsi manusia yang berbeda. Jika konsepsi itu salah, maka ia akan merusak seluruh peradaban dan menjadikannya kekuatan jahat.”

Baca juga:  Priayisasi Sejarah: Catatan atas Problematik Pelajaran Sejarah

Dalam konteks ini, Gandhi menyoroti peradaban modern. Menurutnya, sebagaimana diuraikan Bikhu Parekh, meskipun peradaban modern memiliki banyak prestasi, namun pada dasarnya cacat ia agresif, imperialis, kejam, eksploitatif, brutal, tidak bahagia, gelisah, dan tanpa arah dan tujuan.

Kenapa Gandhi sampai pada kesimpulan seperti itu? Dalam pandangan Gandhi, peradaban modern mengabaikan jiwa, mengutamakan tubuh, salah memahami sifat dan batasan nalar, salah memahami dan melanggar keseimbangan batin serta hierarki sifat manusia.

Pada akhirnya, dalam hidup ini, yang tampaknya berisi bisa saja kosong; yang kelihatannya sempurna ternyata berlumur lemah. Ribuan teori, konsep, dan isme-isme akan terus lahir seiring zaman bergulir. Namun, tugas kita sebagai manusia tentu bukan men-download begitu saja, apalagi sampai memberhalakannya. Sebab kata Gandhi, “Jika engkau menginginkan sesuatu yang sangat penting dilakukan, engkau tidak boleh hanya memuaskan nalar, engkau juga harus menggerakkan hati. Daya tarik nalar lebih cenderung ke kepala, tetapi penetrasi hati datang dari penderitaan.”

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top