Sedang Membaca
Risalatul Makhid, Kitab Fiqih Wanita Klasik yang Eksotis
Fina Mazida Husna
Penulis Kolom

Staff Pengajar di Sekolah Tinggi Islam Kendal yang menyukai naskah naskah melayu-Arab, alumnus Kajian Timur Tengah UGM, saat ini menjabat sebagai Sekretaris Forum Daiyah Fatayat (FORDAF) Kabupaten Kendal.

Risalatul Makhid, Kitab Fiqih Wanita Klasik yang Eksotis

Risalatul Makhid

Perjumpaan awal saya dengan kitab Risalatul Makhid sudah berlangsung belasan tahun yang lalu, tepatnya ketika saya mulai beranjak remaja, yaitu tahun-tahun di mana saya akan memasuki usia baligh yang oleh ibu saya kitab ini dibacakan di hadapan anak-anak perempuannya termasuk saya.

Menurut ibu saya, kitab ini adalah “sangu”, bekal wajib sebagai anak perempuan menjelang masa baligh-nya supaya  kelak di kemudian hari fisik dan psikisnya lebih siap bila berhubungan dengan (mengalami) haid, istikhadoh, nifas, yang itu semua adalah spesifik problematika (alami) seorang wanita. Juga sekaligus seorang anak perempuan kemudian mengetahui bagaimana cara Islam memandang dan menangani problem-problem yang demikian.

Belakangan saya menyadari apa yang diyakini oleh ibu saya itu benar adanya, karena selaras apa yang ditulis dalam kitab ini, bahwa belajar tentang problematika haid itu kewajibannya sama dengan belajar membaca  surat al-fatikhah.

Beberapa hari yang lalu saya tertarik membaca ulang kitab ini, yang ditulis puluhan tahun yang lalu yaitu kisaran 1940-an.  Bagi kita yang hidup di era masa kini, melihat  kitab ini secara fisik, tentu sangat eksotis.  Kertas yang dipakai dalam penulisan kitab ini buram dan bila dipandang sekilas, kitab ini ditulis dengan bahasa Arab, tapi nyatanya tidaklah demikian. Kitab ini ditulis dalam aksara pegon, khas kitab kitab Jawa kuno yang ditulis para wali/ulama. Bentuk hurufnya Arab, tetapi  huruf Arab yang sudah dimodifikasi untuk menuliskan bahasa Jawa.

Yang menarik, membaca lembar demi lembar dari kitab ini, kita sejenak diajak penulis untuk berdialog sekaligus menziarahi tradisi-tradisi Jawa tempo dulu. Lewat buku ini, penulis tidak hanya memberikan pencerahan berkaitan apa itu darah haid, istikhadoh dan nifas sebagaimana kitab fiqih-fiqih konvensional yang  dipenuhi dengan berbagai pengertian-pengertian dan tata cara yang formal dan hukum-hukumnya. Sebaliknya penulis menyampaikan definisi-defisini dengan gaya bercerita yang mengalir dan dialektis.

Baca juga:  Haidar dan Ulil Sang Apologia Islam

Penulis memulai pembahasan kitab dengan mengupas berkaitan dengan historisitas, yaitu asal usul haid, bagaimana stigma masyarakat Arab tempo dulu (masa jahiliyyah) terhadap wanita yang sedang haid dan bagaimana masyarakat Jawa sendiri  memandang wanita yang sedang haid. Lalu baru kemudian dijelaskan hikmah-hikmah haid menurut Islam, bagaimana Islam memandang wanita (khususnya wanita yang sedang haid). Pun berkaitan dengan cara mendeteksi darah haid, istikhadhoh, nifas beserta cara bersucinya, cara melaksanakan sholat bagi yang istikhadhoh, cara mengqadha (mengganti) sholat, larangan dan amalan-amalan ketika haid  dan  lain-lain dengan sangat gamblang, sederhana, detail dan aplikatif.

Sesuai dengan judulnya Risalatul Makhid (risalah menstruasi), tema-tema problematika darah wanita mendominasi dalam isi kitab ini secara keseluruhan, tetapi tema-tema yang berkaitan dengan problem-problem wanita yang lain juga disinggung seperti seperti seksualitas dalam Islam,  cara berhubungan intim, merawat kandungan, merawat bayi juga menjadi wacana-wacana tersendiri yang menarik  karena selain menjelaskan pengertian dan tata caranya dalam Islam, penulis juga mengkritisi beberapa akulturasi budaya Jawa dengan Islam itu sendiri.  Upacara-upacara siklus kehamilan dan kelahiran misalnya.

Pada masa tingkeban (upacara memperingati kandungan memasuki usia 7 bulan) dalam masyarakat diperingati dengan cara mengundang tetangga-tetangga, membaca doa keselamatan untuk bayi yang ada dalam kandungan yang dipimpin oleh modin. Di samping itu terdapat pula ada prosesi menyirami orang yang hamil tersebut dengan air bunga dan menggelindingkan telur dari atas kepala ibu hamil. Bila telur pecah maka bayi yang akan lahir menandakan bayi perempuan. Menurut penulis kitab ini, prosesi itu tidaklah tepat, mengingat telur yang digelindingkan akan menjadi sesuatu yang muspro, useless, tidak berfaidah sama sekali,. Lebih-lebih telur tersebut sebagai sarana jedek-jedekan, tebak-tebakkan jenis kelamin yang sama sekali itu bukan wilayah manusia untuk mengetahui kebenarannya.

Baca juga:  Sastra (Pesantren), Bukan Sekadar Bercerita

Pun ketika bayi lahir, bayi ketika lahir di bawah tempat tidurnya (amben) ada yang diberi sajen, membakar garam, diberi kunir, bunga,  bahkan ada yang dipasangi pisau dan lain-lain yang tujuannya tidak jelas dan patut dipertanyakan. Jika memang tujuannya untuk mengusir setan agar supaya tidak mendekat, mestinya perlu memeperbanyak doa. Bukan sebaliknya memasang benda-benda seperti itu.

Tidak hanya upacara-upacara saja penulis kitab ini juga meluruskan stigma-stigma yang berkembang di masyarakat Jawa tempo dulu. Di antaranya adalah stigma anak haram atau yang kerap disebut anak Jadah. Dalam masyarakat Jawa tempo dulu, diceritakan oleh penulis kitab, berkembang persepsi bahwa anak haram tidak akan masuk surga keculi membunuh kedua orang tuanya, dan orang lain pun tidak diperkenankan menyentuh anak tersebut.

Melihat fenomena tersebut, lagi-lagi penulis kitab ini mengajak dialog kepada pembaca dengan  cara menumbuhkan consciousness berbasis  logic, yaitu dengan melempar pertanyaan kepada pembaca,Bagaimana mungkin seorang anak akan membunuh kedua orang tuanya sedangkan dalam Islam membunuh saja termasuk dalam kufur? lha kok malah disuruh membunuh kedua orang tuanya?”.  Penulis kitab juga menambahkan bahwa anak haram sama sekali tidak bersalah, yang bersalah adalah orang tuanya. Dan yang berkaitan dengan masuk surga, masuk tidaknya manusia ke dalam surga adalah kersa/kehendak Allah SWT.

Baca juga:  Kuliner Etnik Sunda dalam Naskah Kuno dan Tradisi Keraton

Sayangnya, bagi yang tidak akrab dengan aksara Arab pegon, membaca kitab ini perlu “effort’ yang keras, karena bahasa jawa yang ditulis dalam aksara pegon tidak hanya berupa bahasa jawa halus ataupun bahasa ngoko yang mudah dicari dalam kamus-kamus bahasa Jawa. Kadang kala bahasa Jawa yang ditulis dalam aksara pegon merupakan adopsi dari bahasa Arab, seperti halnya yang bisa ditemukan dalam kitab ini, yaitu kata sirkahan (Patungan), kasab nafkah (mencari nafkah).

Di sisi lain kitab ini bisa dikatakan adalah kitab induk, rujukan kitab-kitab yang ditulis setelahnya, dan dalam terminologi sastra, kitab Risalatul Makhid  bisa disebut teks hipogram (teks yang menjadi latar penciptaan sebuah teks baru) karena dari kitab ini kemudian lahir karya-karya serupa yang membahas darah haid nifas, istikhadoh dan problematikan wanita lainnya seperti kitab Ianatun Nisa, Kifayatun Nisa’, masailun nisa’.

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
2
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top