Pada waktu Rasulullah berhijrah dari Mekah ke Madinah, masjid pertama yang di bangun adalah masjid Quba’. Sederhana sekali fisik masjid ketika pertama kali dibangun, para sahabat Anshar dan Muhajirin bauh membahu terlibat dalam proses pembangunan dan pengumpulan materialnya. Banyak yang mengakui bahwa hijrah nabi merupakan tonggak perubahan mendasar bagi umat muslim secara keseluruhan. Dan masjid Quba’ yang didirikah dengan kerjasama antarsahabat Anshor dan Muhajirin menjadi tonggak awal visi peradaban yang sedang dicita-citakan oleh nabi.
Dikisahkan dalam suatu riwayat dari al-Thabrani dari Jabir, ia berkata: “Tatkala Nabi Muhammad tiba di Madinah, beliau berseru kepada para sahabatnya: Mari menuju ke Bani Quba’ dan bersalam kepada mereka, lalu nabi pun mendatangi mereka dan bersalam, Bani Quba’ menyambut rombongan nabi dengan hangat. Kemudian nabi berkata, wahai Bani Quba’ kumpulkanlah batu-batu di sekitar sini! Setelah itu terkumpullah batu-batu yang banyak di hadapan nabi, dengan tongkat yang dipegangnya, nabi membuat garis persegi yang mengarah ke kiblat (arah Masjid al-Aqsha), lantas mengambil sebuah batu dan meletakkan di garis itu. Lantas beliau menyuruh Abu Bakar agar mengambil batu dan meletakkannya di samping batu yang diletakkan nabi sebelumnya. Begitu juga kepada Umar dan Utsman, nabi meminta keduanya agar melakukan apa yang dilakukan Abu Bakar. Sampai setiap orang yang hadir waktu itu melakukan sebagaimana yang ditunjukkan nabi, sehingga susunan batu membetuk bangunan persegi.”
Itulah narasi dari kisah pembangunan masjid Quba’ yang pertama kali didirikan oleh nabi. Kita melihat bagaimana kebersamaan dan semangat gotong royong sangat lekat waktu itu, diceritakan tidak sampai lewat empat hari, masjid berdiri dengan sederhana tanpa atap, hanya konstruksi dinding persegi dari kumpulan batu sebagai tanda area masjid. Memang di bumi, masjid Quba’ bukan merupakan tempat ibadah pertama. Sebelumnya sudah ada masjid al-Haram di mana di situ terdapat Kabah. Juga masjid al-Aqsha yang menjadi kiblat pertama bagi muslim ketika melaksanakan salat sebelum Allah memerintah agar mengambil Kabah sebagai kiblat. Peristiwa itu terjadi di Quba’. Masjid Nabawi menempati urutan ke empat dari keberadaan masjid yang dikenal oleh umat muslim.
Semakin meluasnya wilayah dakwah Islam, pembangunan masjid kemudian dilakukan oleh negara. Masjid Basrah tercatat sebagai masjid negara pertama yang didirikan oleh Utbah bin Ghazwan pada tahun 637 M. Kemudian menyusul pendirian masjid Kufah oleh Sa’ad bin Abi Waqhas pada tahun 639 M. Di daratan Afrika, masjid pertama kali dibangun oleh Amr bin Ash dengan tentaranya pada tahun 642 M di Fushtat. Selanjutnya di tahun 670 M berdiri masjid negara keempat di Qayruwan yang dibangun oleh Uqbah bin Nafi di era dinasti Umayyah. Tertulis dalam Ensiklopedi Islam (2008) bahwa masjid merupakan simpul pergerakan Islam. Di zaman nabi, masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, namun di masjid pula nabi mendoktrinkan Islam, berdiskusi prihal persoalan sosial, ekonomi, politik dan ihwal keumatan lainnya.
Secara fungsional, masjid di era awal mempunyai peran strategis bagi perkembangan Islam secara keseluruhan. Hampir semua urusan yang bertalian dengan misi keumatan dirundingkan dan diputuskan di masjid. Sayangnya, fungsi ideal itu pernah terciderai di era dinasti Umayyah. Saat itu, masjid dialihfungsikan untuk tujuan-tujuan politik praktis seperti hegemoni kekuasaan. Kemudian, di era dinasti Abbasiyah, masjid dikembalikan pada fungsi idealnya sebagai ruang publik terbuka dan pusat pengembangan keilmuan.
Menilik sejarah masjid mulai awal keberadaan hingga sekarang, kita menemukan dinamika yang terus berkembang pada masjid, baik dari sisi fisik maupun fungsi. Dari sisi fisik, masjid merupakan simbol perpaduan budaya yang terlihat dari gaya arsitektur dan konstruksinya. Di Indonesia sendiri perkembaangan itu dapat terlihat dari kondisi terkini dari masjid yang ada. Unsur budaya dapat ditemukan dari mulai corak bangunan hingga bagian-bagian di dalamnya seperti ornamen, mimbar, bedug dan menara. Selain aspek fisik, perkembangan zaman turut memupuk kesadaran umat bahwa keberadaan masjid tidak hanya diperuntukkan untuk amaliah peribadatan, sehingga berimplikasi pada kemajuan pola organisasi dan fungsi masjid.
Selain fungsi utama sebagai tempat ibadah, masjid sudah seharusnya menyentuh banyak dimensi keumatan sebagaimana yang diterapkan oleh Rasulullah pada zamannya. Setidaknya ada beberapa fungsi yang diperankan oleh masjid dalam pembinaan umat yaitu sebagai pusat pelatihan, pengembangan ilmu, layanan kesehatan, akomodasi, bantuan hukum, pemberdayaan sosial dan ekonomi. Peran fungsional ini tentu tidak berjalan sendiri tanpa ada penggerak dari unsur umat. Oleh karenanya, Alquran menyinggung pada QS. At-Tawbah [9]: 17-18 dengan istilah pemakmuraan atau pemberdayaan (‘imarah) masjid. Aktivitas ‘imarah ini menjadi tonggak dari terpenuhinya fungsi masjid sebagai tempat peribadatan sekaligus fungsi keumatan lainnya.
Akhirnya, sudah waktunya kita tidak hanya bisa marah karena masjid-masjid yang ada dimanfaatkan oleh sekolompok umat yang memiliki kecenderungan berbeda dari yang berlaku umum di Indonesia karena keteledoran kita sendiri. Yang perlu dilakukan dengan segera adalah pengembalian peran strategis santri untuk terlibat langsung dalam misi pemakmuran masjid. Usaha ini bisa dilakukan dengan pelibatan kembali para santri dalam kegiatan-kegiatan di masjid baik untuk memenuhi fungsi peribadatan ataupun fungsi keumatan lainnya. Apa yang telah dilakukan oleh pesantren dulu dengan mengirimkan santri-santri terbaik sebagai tenaga imam salat rawatib, khatib Jumat, pengisi pengajian, dan pendidik al-Quran harus disemarakkan kembali oleh pesantren-pesantren di era sekarang. Utamanya di masjid yang rawan diambil alih oleh oknum yang ingin merebutnya hanya untuk kepentingan golongannya. Mari ngopeni masjid kembali. Wallahu A’lam bi Showab. (RM)