Dewasa ini banyak membicarakan filsafat stoikisme, ajaran filsafat yang membahas tentang kebahagiaan manusia dan berfokus pada hidup yang ideal. Keresahan dan ketidaknyamanan yang dialami dianggap bisa terselesaikan dengan memahami serta menjalankan ajaran filsafat stoik.
Namun bukan berarti filsafat stoik adalah satu–satunya ajaran tentang bahagia. Dari filsuf muslim seperti Al-Farabi dan Imam Al-Ghazali juga membahas tentang bahagia yang selama ini dicari. Dari sekian filsuf muslim, menarik jika Ibnu Sina yang juga sebagai ‘Bapak Dokter’ dikaji pemikirannya tentang bahagia karena kekonsentrasiannya pada “jiwa” sebagai tema kajian.
Jiwa memiliki ikatan yang sangat erat dengan kajian ihwal bahagia. Jiwa pada dasarnya adalah manusia itu sendiri sehingga membahas tentang bahagia berarti membahas tentang manusia, dan jika membahas manusia maka bagian yang paling fundamental dibahas adalah jiwa manusia itu sendiri. Bagi Ibnu Sina yang terpenting bagi seorang adalah mengenal dirinya sendiri: pembahasan diri atau jiwa. Layaknya seperti para filsuf yang beraliran dualisme, Ibnu Sina memandang bahwa jiwa dan raga sekalipun ada keterkaitan di dalamnya. Tentang manusia yang bisa diserap dengan panca indra adalah raga yang berbeda dengan jiwa yang mempunyai potensi untuk berfikir.
Seseorang mampu sadar dirinya sendiri sekalipun apa yang dilakukan oleh raga tersebut tidak lagi ada. Ketika seorang berjalan, berbicara, mendengar, ataupun marah. Maka secara apriori kita mengetahui bahwa dalam diri manusia ada sesuatu yang mengumpulkan cerapan dan perbuatannya. Dan secara pasti juga sesuatu tersebut bukan bagian dari raga, karena tidak mungkin ada seorang yang mendengar dengan lisannya atau berbicara dengan telinganya. Artinya raga yang mampu menyerap tidak lain hanyalah sebuah alat saja. Dari hal ini menurut Ibnu Sina ketika seorang menunjuk dirinya sendiri ia tidak sedang menunjuk raga atau anggota tubuhnya. Melainkan ada sesuatu yang lain dari isyarat “aku”, tidak lain tidak bukan adalah jiwa. Lalu kaitan dengan kebahagiaan?
Kaitan jiwa dengan kebahagiaan menurut Ibnu Sina saling ada keterkaitan. Dalam membahas kebahagiaan, Ibnu Sina telah membicarakan empat taraf kenikmatan, pertama, kenikmatan rasio, kenikmatan indra, kenikmatan rendah dan kenikmatan tinggi. Ibnu Sina memulai dengan meruntuhkan persepsi kenikmatan indra yang dianggap oleh awam sebagai kenikmatan tinggi hingga menjadikannya tujuan dalam hidup seperti kenikmatan berupa kemewahan pangan, sandang, papan dan penyaluran biologis.
Menurut Ibnu Sina ketika seorang menginginkan kebahagiaan dalam hidup ini maka ia harus benar-benar mengetahui tentang kenikmatan yang sebenarnya, bukan dari delusi. Ibnu Sina memberikan definisi tentang esensi kenikmatan sebagai “serapan dan penerimaan untuk sampai pada hal yang baginya adalah kesempurnaan dan kebaikan dari sisi hal yang ia serap”. Bagi Ibnu Sina kenikmatan antara serapan dari fikiran serta mendapatkan harus sama–sama nyata terkumpul. Tentunya hal yang demikian tidaklah dijumpai dalam kenikmatan indra. Kata Ibnu Sina, “terlanjur nyata pada fikiran orang awam bahwa kenikmatan indra adalah kenikmatan yang tinggi bagi mereka. Hal itu jelas khayalan belaka”.
Selanjutnya Ibnu Sina mencoba merobohkan tentang kenikmatan indra yang dipersepsikan sebagai kenikmatan tertinggi yang banyak dicari.
Terkadang potensi yang menyerap kenikmatan itu tidak lagi merasakan kenikmatan akibat ada hal terjadi. Seperti seorang yang sakit tidak lagi bisa menikmati rasa manis dan justru tidak menyukainya karena sesuatu yang terjadi dan keadaan kita tidak mendukung untuk menjumpai kenikmatan yang sebenarnya, karena ada penghalang bagi kita berupa raga kita sendiri, sehingga ketika kita mampu mengabstraksikan raga kita niscaya kita mampu melihat esensi kita yang mengetahui hakikat yang ada, hakikat keindahan, dan hakikat kenikmatan.
Ibnu Sina tidak memungkiri bahwa kenikmatan yang diserap oleh raga. Hanya saja Ibnu Sina memungkiri jika kenikmatan ragawi dikatakan sebagai kenikmatan yang hakiki sehingga jika mendapatkan hal tersebut seseorang akan dikelilingi oleh kebahagiaan, karena kenikmatan bagi Ibnu Sina ada dua macam, kenikmatan ragawi dan juga kenikmatan yang bersifat rasional. Kebahagiaan menurutnya juga ada yang temporal dan juga abadi. Kenikmatan ragawi itu hanyalah kebahagiaan temporal, kebahagiaan yang sesaat. Sedangkan kenikmatan yang luhur dimana Ibnu Sina menyebutnya dengan kenikmatan rasio adalah kunci kebahagiaan yang abadi.
Kenikmatan yang bersifat rasio menurut Ibnu Sina mampu mencapai terhadap hakikat dari objek yang ditangkap sehingga mengetahui kahikat dari objek tersebut dari segala sisinya. Hal ini yang tidak akan pernah bisa dijumpai oleh sesseorang kenikmatan ragawi yang hanya memakai panca indra. Kenikmatan ragawi hanya bisa dilihat dari sisi lahiriah saja, maka cara utama untuk tidak terlena dengan kenikmatan ragawi, seseorang menurut Ibnu Sina seharusnya tidak fokus dengan apa yang ditangkap oleh indra, karena ketika fokusnya jiwa pada apa yang ditangkap oleh pancara indra maka jiwa tidak bisa menangkap objek-objek yang diserap oleh akal.
Kesimpulannya, untuk mendapatkan kebahagiaan yang utuh, Ibnu Sina memulai pijakannya bahwa inti dari “diri” adalah jiwa. Sehingga harus lebih mementingkan jiwa dari pada raga yang kadang kenikmatan tidak lagi menjadi kenikmatan karena ada faktor yang terjadi. Hampir mirip dengan epistemologi stoikisme, hal pertama yang membuat manusia tidak mendapatkan kebahagiaan adalah fikiran yang mengafirmasi hal negatif dari luar diri kita. Persis dengan pendapat Ibnu Sina, penghalang utama kita tidak bahagia adalah ketidaktahuan kita terhadap hakikat dari kenikmatan itu sendiri, sehingga seorang yang ingin mendapatkan kebahagiaan adalah dengan memfungsikan jiwa yang memiliki potensi untuk berfikir dengan semaksimal mungkin.
Pikiran baik akan melahirkan perbuatan baik, perbuatan baik yang terbiasa membentuk karakter jiwa yang baik, akhlaq. Akhlaq utama inilah sebagai sumber dari kebahagiaan. Sekian.
Bahan Bacaan:
Nazariyat Al – Sa’adah Inda falasifah al – islam halaman 65. Penulis . Dr said Murad.
Ibnu Sina Al – failasuf ba’da tis’imiat. Paul peter Massad. Halaman 80. Cetakan Hindawiy.