Ada gejala beragama yang bersifat eksklusif-ekonomistik sekarang. Tanda yang sungguh paling sederhana, mencolok, tapi mungkin tidak mau disadari adalah seperti ini: “Ini agamaku, kamu atau siapa pun tidak boleh mengkritik, tidak boleh merendahkan, dan terutama terlarang menghina agamaku.”
Agamaku adalah agamaku. Agamamu adalah agamamu. Atau, terutama sekali yang tampak disadari sebagai kekuatana sosial, ‘aku’ bertransformasi dan mengeras menjadi ‘kami’.
Dalam pengakuan sederhana ini, kita bisa melihat sikap beragama yang berada di antara ujung ekslusivisme dan inklusivisme.
Kita barangkali sesekali merasakan perlunya perasaan seperti itu. Kita bahkan sudah bersikap toleran, tidak ingin mengkritik, tidak hendak merendahkan, apalagi menghina agama seseorang, entah seagama atau beda agama. Dalam beberapa hal, sikap ‘agamaku agamamu’ adalah sesuatu yang lumrah, bagus, bahkan sangat penting, yang telah kita jalani sejak kita kecil.
Hal ini terutama bisa terjadi dan perlu dipahami dalam suatu lingkungan yang kosmopolitan seperti di Jakarta, Jogjakarta, Surabaya, Surakarta (Solo), Medan, atau kota-kota lain yang keragaman agamanya sangat kuat.
Indonesia, sejak zaman sangat dahulu kala, berada dalam posisi persilangan geografis dan kultural: Benua Asia dan Benua Australia, serta Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, dengan persilangan budaya dari India, Cina, Arab, lalu Eropa. Almarhum sejarawan Prancis, Dennys Lombard (2008), dengan sangat bagus dan tepat sekali memberikan judul bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya.
Semua agama besar yang ada di Indonesia, seperti Hindu, Budha, Islam, Nasrani, Konghucu adalah hasil silang budaya yang singgah dan akhirnya menetap. Termasuk, yang wajib diingat tiap ada pembicaraan perihal agama adalah bahwa agama-kepercayaan yang penganutnya sedikit ada di luar agama-agama besar Ibrahimi.
Persilangan dan persinggungan antarpemeluk agama di negeri dengan posisi geografis dan kultural seperti Indonesia, sekarang dan terutama di masa depan, sudah pasti bakal selalu terjadi dan sering menghadapkan kita pada sikap beragama yang lebih banyak bersifat eksklusif. Belum inklusif.
Dan di situlah masalahnya. Sikap kita dalam beragama hampir persis seperti sikap kita terhadap benda komoditas. Salah satu sifat dasar benda (atau jasa) yang bisa diperdagangkan adalah bahwa ia wajib mempunyai hak eksklusivitas untuk dimiliki.
Angin yang berseliweran di sekitar kita, atau oksigen, tidak bisa diperdagangkan sejauh tidak bisa dikemas, diekslusifkan, dalam satu wadah tertentu. Dengan adanya hak eksklusivitas, suatu benda atau jasa bisa dijadikan dasar kepemilikan secara legal dan sah bagi seseorang, kelompok, bahkan negara.
Pertanyaan yang sering lupa kita ajukan pada diri kita sendiri adalah bisakah kita mengklaim hak eksklusivitas pada suatu agama tertentu, sebagaimana kita mengklaim tanah, benda-benda, atau jasa? Apakah benar kita sebagai manusia bisa mengklaim, agamaku atau agamamu, sebagai klaim kepemilikan yang absah, menurut hukum negara atau hukum Tuhan dalam kitab suci? Siapakah pemilik agama? Semua perselisihan agama, seperti penghukuman seseorang dengan tuduhan mengkritik, menghina, atau mengateiskan atau berkafirkan seseorang dari suatu agama, sewajar dan sewajibnya mempertimbangkan klaim eksklusivitas agama.
Sayangnya, yang kita tahu, yang kita sadari, dan yang selalu diajarkan para nabi-nabi, yang tertulis dalam kitab-kitab suci, atau orang bijak, selalu dikatakan: agama bukanlah milik eksklusif seseorang, kelompok tertentu, atau bahkan negara tertentu. Manusia tidak bisa bahkan mustahil mengklaim kedaulatan suatu agama sebagai agama miliknya, milik seseorang atau milik suatu kelompok atau milik suatu negara. Seberapa besar pun pengorbanannya untuk suatu agama.
Sifat hakiki agama adalah inklusif, bukan hak milik siapa pun apalagi dalam bentuk hak-kepemilikan yang bersifat eksklusif tertutup seperti terhadap benda-benda atau jasa. Jika ada orang mengaku sebagai muslim, nasrani, budhis, misalnya, hal ini bukan berarti bahwa ia memiliki secara ekslusif agama itu. Tidak secuil atau sekata pun si manusia membuat andil atau bisa membeli agama tersebut atau bentuk-bentuk lain yang mensahkan si manusia mempunyai suatu klaim kepemilikan yang penuh kedaulatan mutlak.
Perkatakan ‘agamaku’ atau ‘agamamu’ dan seterusnya tidaklah bisa sampai pada klaim kepemilikan. Manusia hanya sekadar penganut, peyakin, atau pengiman belaka dan mustahil lebih dari itu. Tuhanlah sang pemilik agama secara eksklusif mutlak di atas mutlak.
Sifat inklusif yang hakiki pada agama ini membuat semua penghinaan, pengkritikan, bahkan penolakan terhadap agama tidak mungkin bisa diadili apalagi sampai pada taraf menghukum secara ragawi. Tiap hukum selalu mengasaskan suatu kedaulatan yang bersifat mutlak bagi seseorang atau suatu dzat (Tuhan) atau negara agar bisa dijadikan subjek hukum atau objek hukum, baik berposisi sebagai yang menghukum atau yang dihukum. Ini seperti saat seseorang merusak benda miliki kita, maka seseorang itu berhak diajukan ke pengadilan atas tuduhan pengrusakan hak milik eksklusif dan bisa dikenai hukuman jika terbukti bersalah. Tiap kali kita hendak menghukum seseorang atas tuduhan pencemaran atau penghinaan agama, pertama-tama, sewajibnyalah kita mengadukannya kepada Tuhan sebagai pemilik sah agama: apakah benar telah menghina dan melanggar agama-Nya. Bukan kepada pemeluk, pengiman, atau peyakin agama itu, yang posisinya hanya ‘pengguna jasa’ tanpa bisa terikat hukum hak eksklusif.
Maka, adalah sungguh menyalahi sifat hakiki agama jika sampai terjadi pentersangkaan, perterdakwaan, apalagi penghukuman terhadap seseorang tanpa persetujuan sang Tuhan sebagai “pemilik-sepenuh-daulat” agama. Penghakiman bahkan penghukuman atas hak eksklusif agama oleh Tuhan sudah melanggar hakikat dasar agama itu sendiri!
Tiap hukum manusia yang diadakan untuk menghukumi sifat dasar keagamaan ini pada dasarnya adalah pelanggaran serius terhadap hakikat agama terutama terhadap hak eksklusif Tuhan. Bahkan, si manusia-penghukum sudah mendaulat diri menjadi Tuhan, memosisikan diri sebagai pemilik agama itu sendiri yang dengan posisi itu ia berhak mengadili siapa-siapa yang menurutnya melanggar atau menghina agamanya.
Kita pun sadar diri bahwa Tuhan yang Mahakuasa tidak bisa dibuat berada di posisi objek terhukum dari agama dimiliknya sendiri. Tuhan bisa saja berada di luar semua hukum agama, atau bahkan Tuhan ada di atas hierarki tertinggi agama yang dimilikinya.
Maka, di sinilah tiap pemeluk, peyakin, pengiman suatu agama bisa menyadari posisinya di hadapa agama: ia bukanlah pemilik apalagi sampai mempunyai hak kedaulatan yang eksklusif.
Sikap dalam beragama sewajarnya mengikuti sifat dasar agama: inklusif, yang terbuka untuk diyakini, diimani, dan dipeluk siapa pun.
Kita tidak perlu merasa bakal ada manusia yang mampu menghina, apalagi menistakan agama, yang kita tidak pernah tahu pasti sikap Tuhan sebagai sang pemilik agama itu sendiri. Biarlah itu diurusi Tuhan sendiri. Urusan kita adalah berbuat baik kepada semua makhluk, termasuk kepada alam semesta.