Sedang Membaca
Pesimisme Tohari: Hidup cuma Menunda Kekalahan
Faris Ahmad Toyyib
Penulis Kolom

Santri PP. Annuqayah Latee. Mahasiswa Tasawuf dan Psikoterapi di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA).

Pesimisme Tohari: Hidup cuma Menunda Kekalahan

“Dengar, apa yang terjadi pada Mbok Ralem adalah sakit. Bukan bencana banjir bukan bencana kebakaran. Pokoknya aku tidak bisa memberi pinjaman sebesar yang ia perlukan. Apalagi dana darurat yang kau maksud itu akan diberikan cuma-cuma. Tidak mungkin. Aku punya rencana besar yang pelaksanaannya, akan dibiayai dana itu.”

“Apalagi rencana Bapak?”

“Kau tak perlu tahu! Oh, kau maksudku belum saatnya untuk tahu.”

“Kali ini saya harus tahu. Soalnya saya ingin tahu penting mana rencana bapak itu dengan keharusan kita menolong Mbok Ralem. Maaf Pak, sebenarnya saya merasa sangat masygul. Untuk  membiayai pelantikan bapak beberapa bulan yang lalu, kas dana darurat susut 125.000 rupiah. Sebaliknya, Bapak tidak merelakan sedikit pun uang dana darurat untuk menolong Mbok Ralem. Sekarang terus terang, apalagi rencana Bapak dengan uang milik bersama itu?”

(Di Kaki Bukit Cibalak, Ahmad Tohari)

Di kaki Bukit Cibalak, sebuah tragedi melankolia. Setelah persitegangannya itu, dengan Pak Dirga, Lurah jahiliah, Pambudi harus hengkang dari desa kelahirannya, pergi untuk keselamatan dirinya dan kedua orang tuanya. Dia dengan idealisme dalam dirinya, tidak lagi boleh ada di desa yang dilurahi Pak Dirga itu. kemudian, jalan yang ia pilih ialah sebagaimana nasehat ayahnya pada suatu malam: “Wani ngalah, luhur  wekasane. Berani mengalah, menjadikan kita luhur pada akhirnya.”

Mirisnya, setiadanya ke Jogja, ia masih difitnah dengan tuduhan membawa lari uang kas dana darurat koperasi desa, 125.000 rupiah. Orang-orang desa yang biasanya ramah, sekarang getir dan sinis. Gadis yang hendak dinikahi olehnya pun dirampas sang lurah. Genaplah duka-duka!

Baca juga:  Membicarakan Gus Dur dan Foto-Fotonya

Pam, melanjutkan kuliah. Sebelum itu, ia bekerja di toko jam tangan milik seorang Tionghoa, sekaligus meramu cinta munafik yang dalam—yaitu, cinta yang tidak diungkapkan dengan sikap seolah-olah tidak ada apa-apa—dengan putri pemilik  toko itu, Mulyani. Kemudian, dia berhenti. Sambil lalu kuliah, ia menjadi jurnalis di koran Kalawarta. Tulisan-tulisan Pam yang bernada sinis dan kritik pada daerahnya mulai berserakan dan memunculkan respon publik banyak. Ia sama sekali tidak lupa dengan segala keburukan yang menimpanya. Ia hanya mengambil jarak dari desa, untuk titik tolak yang lebih mantap.

Dia lulus, menjadi doktorandus. Hubungannya dengan Mulyani semakin baik, karena ia menjadi junior Pam di fakultas teknik. Dan lagi, Mulyani sering berkunjung ke kantor Kalawarta. Dia sangat bahagia dan ingin segera memperlihatkan kelulusanya pada kedua orang tuanya. Tapi tiada yang tahu tentang kapan ajal tiba, ia harus berkabung atas ayahnya yang meninggal.

Kisah di atas, menggambarkan bahwa untuk mempertahankan idealisme, taruhannya ialah segala yang dimilikinya, bahkan nyawa. Digulung duka, dan nyaris luka. Butuh keberanian dan pengorbanan yang mungkin sekaliber nabi, atau di atasnya lagi—jika ada. Pambudi adalah contoh naas korban idealismenya: ‘hendak menjadi orang baik ’. Saya kira banyak di antara kita yang bernasib sama. Karena pasti, semua manusia ingin menjadi orang baik bukan?

Perlu disepakati dulu, orang baik itu apa. Bagi saya, ialah ia yang memperjuangkan kemanusiaan dengan cara yang manusiawi pula: berpegang teguh pada humanisme. jika dalam bahasa Pramoedya Ananta Toer: “…yang berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.”

Baca juga:  Apa yang Ditimba Gus Dur dari Kiai Ali Maksum Krapyak?

Tapi, saya masih dilema apakah manusia secara fitrahnya memang baik atau jahat. Hemat saya, ini keputusan sintesis, manusia itu secara bawaannya, potensial bagi keduanya. Kehidupannya di dunia adalah cara dia menampakkan di mana paling dominan di antara dua potensi itu. ketika sudah berada pada ‘baik’—misalkan—itu bukan akhir cukup, untuk menganggapnya baik. Karena hidup berada dalam ‘menjadi’. Terus mengalir dan terombang-ambing di dalamnya. Tapi yang jelas, menjadi orang baik adalah harapan setiap individu.

Dalam kemenjadian manusia, Tohari—melalui novelnya ini—tampak  sungguh pesimis dalam ‘kebaikan pasti menang’. Realitas yang diproyeksikannya menyatakan, kebaikan cukup diperjuangkan saja, tidak lebih. Ia yang semakin di umur senjanya, melihat kebaikan dan orang baik tinggal hitungan jari. Habis dibabat kemodernan, uang dan kekuasaan yang menjangkit hingga lekuk-lekuk desa terdalam. Semuanya terkapar.

Sebagai muslim, Tohari dan pesimsmenya, memperoleh afirmasi dari agamanya: doktrin Islam. Dalam sebuah Hadis: “Dunia adalah penjara bagi muslim.” Di Nada lain, al-Quran menyebutkan, “Kehidupan dunia hanyalah permainan dan tipu daya.” Apalagi, esoterisme Islam  mengecam betul dunia sebagai penghalang salik (orang yang menempuh jalan menuju Allah) mencapai Allah. Pesimisme itu pun, menjadi semakin hingar pada doktrin Hari Akhir atau kiamat, yaitu kehidupan merupakan perjalanan menuju kehancuran. Sebelum mencapai final, pada tiap pergerakan ditandai dengan pengikisan kebaikan. Karena itu, ada sebuah potongan perkataan  Nabi, “Paling baiknya masa, adalah masaku…”

Sebelum mencapai klimaks yang muram. Cita-cita Pam yang tinggal sejengkal:  ia telah doktorandus dan seorang penulis tenar, Pak Dirga telah mendekam di penjara dan penggantinya lurah muda yang tampak bisa diharapkan di mata, Pam—mungkin—akan kembali lagi bekerja di koperasi desa seperti dulu, menjadikannya benar-benar koperasi, badan sosial yang mensejahterahkan warga desa yang sempat tertunda bertahun-tahun karena dikendalikan lurah-lurah jahiliah.

Tiba-tiba sebuah bendungan pecah, menenggelamkan dan menghanyutkan segalanya yang telah dibangun dan ada sejak lama: Mulyani datang, mengajak Pam pergi ke suatu tempat yang menjadi demakrasi antara Tanggir dan menuju jogja, ia melabuhkan segala perasaanya yang sudah akut, dan Pam harus memilih, antara cintanya pada Mulyani atau idealismenya?

Baca juga:  Pengakuan atas Hak-hak Perempuan

Tohari benar-benar mengahirinya dengan pesimis. Pam memutuskan meninggalkan desa. Mulyani dipilihnya. Kemudian, Mobil yang dikendarai mereka berdua pulang ke arah Jogja. Seandainya ia bisa bertutur kata—tulis Tohari—pastilah (bukit) Cibalak akan berseru, “Karena Mulyani, apakah engkau akan meninggalkan aku Pambudi?” seruannya tidak pernah terdengar orang. Dan bukit Cibalak membisu abadi.

Kali ini saya percaya pada yang saya peroleh di bangku Madrasah Diniyah saat itu: para guru mengingatkan bahwa cobaan manusia berada pada harta, tahta, dan wanita. Antara satu dan yang lain merupakan bagian terpisah. Bisa juga ketiganya sekaligus. Atau bisa saja membentuk hierarki. Pada wanita, laki-laki idealismenya tumbang. Seperti yang terjadi pada Pam. Sejatinya, yang sebaliknya, juga terjadi—bukan niat menghindari patriarki. Dimana idealisme wanita juga tumbang. Secara sayup-sayup implisit, Mulyani adalah contoh.

Akhirnya, “Dari setiap peristiwa dalam hidup,” kata Schopenhauer (1788-1860) ”kita dapat mengatakan untuk sesaat bahwa beginilah adanya; sedangkan untuk yang telah berlalu lama, demikianlah adanya.”

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top