Sedang Membaca
Haidar dan Ulil Sang Apologia Islam
Faris Ahmad Toyyib
Penulis Kolom

Santri PP. Annuqayah Latee. Mahasiswa Tasawuf dan Psikoterapi di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA).

Haidar dan Ulil Sang Apologia Islam

Sains Relegius Agama Saintifik

Hari itu, 20 Mei, Hari Kebangkitan Nasional, Goenawan Mohamad (Mas Goen atau GM), tidak sepakat dengan dua penyaji sebelumnya yang pro pada tema webinar IDI (Ikatan Dokter Indonesia) sore itu: “Berkhidmat pada Sains”. Ia yang awalnya akan membicarakan materi dengan judul, “Risalah Sains: Ikhtiar Membangun Pradaban.” judul itu diganti dengan judul yang amat kontras, “Risalah Sains dan Beberapa Masalahnya. Kemudian, Ia pun meng-upload materi itu di FB—awal dari sebab polemik panjang nantinya.

Selanjutnya, beberapa hari kemudian, AS Laksana (Sulak) mengkritkik sikap pesimisme GM itu pada sebuah tulisan dengan judul yang menyentil balik, “Sains dan Hal-hal Baiknya: Catatan untuk Goenawan Mohamad.” GM merespon tulisan itu segera dengan sebuah tulisan, “Sains dan Masalah-masalahnya, Sulak dan dua Kesalahannya.” Polemik itu terus hangat dan belanjut. Banyak tokoh dari berbagai kalangan yang ikut menanggapi, termasuk Ulil Abshar Abdallah dan Haidar Bagir yang sampai menerbitkan buku ini; Sains “Religius”, Agama “Saintifik”: Dua Jalan Mencari Kebenaran.

Sains dan Sedikit Masalahnya

Hemat saya, Ulil dan Haidar tidak menelok sains sepenuhnya, atau anti sains. Mereka hanya tidak suka pada mereka-mereka yang terlalu membanggakan sains dan menafikan lainnya. Ulil menyebut ini dengan “kepongahan saintifik”: hanya sains yang benar mutlak.  Gejala ini hampir sama dengan ekstrimisme dalam agama. Karena pada dasarnya pongah dalam bentuk apapun pastilah salah. Agama dianggap fiksi dan akar dari berbagai perseteruan berdarah berabad-abad sampai hari ini. filsafat juga terlalu sibuk dengan dunia ide yang tidak memiliki sumbangsih apa-apa pada umat manusia. “Lalu apa yang kita harapkan darinya?” kata Saintis.

Baca juga:  Tentang Perasaan dan Hal yang Tabu

Memang tidak ada yang dapat mengalahkan sains dalam perihal kemajuan umat manusia di segi empiris dan praktisnya. Bahkan, mungkin ilmu sains adalah ilmu terbaik yang kita miliki saat ini. Tapi mirisnya, pencapaian kemilau yang terlalu terang membuat para saintis pongah. mereka menganggapnya sebagai kebenaran muntlak yang menafikan lainnya. Agama dan filsafat ditolak mentah. Padahal, “Alam kehidupan manusia bukan alang kepalang jauh lebih ketimbang hanya alam empiris dan kebutuhan pragmatis,” kata Haidar. Maka dari itu, kita butuh filsafat, agama, seni dan sastra. …Semua bisa membawa kita pada kebenaran luhur. Masing-masing hanya punya domain berbeda.”

Sains juga tidak boleh lupa apa yang dicapainya bukan hanya hal-hal baik, tetapi juga membunuh dan membasmi dalam skala yang tidak pernah bisa dilakukan sebelumnya; nuklir dijatuhkan di atas Nagasaki dan Hiroshima yang menjadikan keduanya tak bersisa; perang dingin dari 1950, hingga runtuhnya Tembok Berlin 1991 yang hampir melenyapkan umat manusia sendiri; penjajahan Eropa yang semakin buas ke berbagai belahan dunia untuk eksploitasi, menindas, terkadang membasmi.

Jika mau jujur, sejatinya Sains sama halnya dengan filsafat dan agama, masih bergantung pada imajinasi.  Seorang sainstis tidak mungkin menemukan penemuan baru jika tidak berimajinasi. Kata Enstein, “Saya boleh dibilang seniman juga, yakni dalam hal saya banyak  mengambil dengan bebas dari imajinasi saya. Imajinasi lebih penting dari pengetahuan. Pengetahuan itu terbatas. Imajinasi merangkul dunia.” Karena penemuan baru awalnya dari ketiadaan, dari sebuah imajinasi, lalu dibuktikan apakah mungkin. Misalnya, Dmitri Mandeleev menemukan unsur priodik didapat dari mimpi dalam tidur.

Oleh karena itu, seharusnya, sains tak perlu menghakimi yang lain salah. Setiap pemikiran punya language game-nya (permainan bahasa) tersendiri. Setiap metodologi atau pemahaman tidak mungkin lepas dari permainan bahsa tadi.  Permainan bahasa sebagai upaya mengikat makna. “Maka, menghakimi (metodologi) agama dan filsafat dengan language game yang lain sesungguhnya cuma menunjukka kesempitan wawasan,” tegur Haidar.

Baca juga:  Buku Ajar Sains Berperspektif Gender

 Agama dengan Sains

Tampak hari ini, agama sering dipertentangkan dengan sains. Apakah memang begitu sejak mulanya hingga terus berkelanjutan tanpa henti? Maka pada tulisan ke 13 Haidar: Jangan Lupakan Jejak-jejak Sains Islam dalam Sains Modern. Ia menjelaskan bahwa perolahan sains modern (barat) kini, sebagian besar atau secara keseluruhan akibat ilmuan muslim pada abad 9-14 M; Ibnu Haitsam ahli optika, Ibnu Hayyan ahli kimia, Zakariya ar-Razi ahli kedokteran dan kimia, Ibnu Sina filsuf dan ahli kedokteran pula, al-Khawarizmi perintis aljabar, yang semua dari karya-karya mereka mengilhami—atau diplagiasi—para penemu barat sehingga diterjemahkan keberbagai bahasa dan dicetak berkali-kali.

Ulil menambahkan, “Karena saya kira di Jepang tidak ada masalah hubungan agama dengan sains. Begitu juga di Korea atau di Cina atau di manapun di luar konteks Eropa Barat, tidak ada masalah hubungan agama dengan sains. Di Islam pun tidak ada. Tidak ada masalah saintis itu percaya pada agama tapi juga sekaligus bersains. Hanya di dunia barat masalah sains dengan agama itu muncul.” Atau “… konflik itu sebetulnya khas barat.” Misalnya, Galileo Galilei (1564-1642) dihukum mati oleh inkuisisi (intelijen gereja) dengan dicukil matanya karena  menyebarkan teori heliosentris yang bertentangan dengan doktrin gereja. Ada juga Giordano Bruno (1548-1600), sebab penemuannya tentang keabadian alam  ia harus mati dibakar di alun-alun Campo, di Fiore, Roma.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (89): Tadzkirotu as-Sami’ wa al-Mutakallim, Kitab Pedoman Belajar-Mengajar

Jika demikian, kenapa muslim kini bisa dikatakan masih asing akan sains? Penyebabnya, terletak pada “kemiskinan, kemalasan, dan otoritarianisme”—judul sebuah tulisan Haidar. Negara-negara yang penduduknya mayoritas Islam adalah negara miskin. Jika negaranya kaya tapi muslimnya adalah para pemalas: kerjanya hanya konsumtif belaka. Atau sistem otoritas negaranya yang rigid sehingga mengekang kreativtas. Itulah sebagian faktor yang dijelaskan Haidar. Tapi, dia juga menambahkan bahwa kurangnya sikap kritis diakibatkan pendidikan yang rendah dan lahirnya mental under dog akibat penjajahan Barat yang berabad-abad dan hegemoni sosial-politik pasca era kemerdekaan, juga menjadikan muslim terasingkan atau memusuhi sains.

Di tengah wabah yang menimpa kita kini dan kemelut tadi, Haidar dan Ulil, melalui buku ini berusaha mengurai semua itu dengan nada apologi bahwa tidak ada yang perlu dipermasalahkan dari keduanya. Agama tidak perlu ditanggalkan dan sains pula, hanya keduanya telah punya rekam jejak yang kelam dan memilukan dalam sejarah umat manusia. Bagi mereka,  keduanya memiliki perannya masing-masing; agama pada ranah pengendalian diri dan spiritualitas; sains pada ihwal empiris dan praktis.

Dari satu judul ke judul lainnya, dari semua milik Haidar hingga Ulil, ada sebuah petuah yang tersirat: sombong selamanya tidak pernah baik, meski demi kemajuan.

Judul               : Sains “Religius” Agama “Saintifik”: Dua Jalan Mencari Kebenaran

Penulis             : Haidar Bagir & Ulil Abshar Abdalla

Penerbit           : Mizan

Edisi                : Cet. I, Agustus 2020

Tebal               : 172 hlm.;21 cm

ISBN               :  978-602-441-178-7

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top