Sedang Membaca
Toa Masjid: Dakwah yang Menggema atau Mengganggu?
Eko Yudi Prasetyo
Penulis Kolom

Penikmat sastra, pemuja keindahan.

Toa Masjid: Dakwah yang Menggema atau Mengganggu?

Masjid Wadi Al Husein

Sampai saat ini, keberadaan dan fungsi toa atau pengeras suara masjid menjadi fenomena unik untuk dikupas. Secara fungsi, ia memang berperan sebagai sarana agar informasi atau pesan yang ingin disampaikan kepada khalayak dapat diterima secara massal. Namun, di balik manfaatnya, tak jarang keberadaannya justru menimbulkan masalah baru. Ya, mungkin ini terjadi karena segelintir orang menggunakannya secara berlebihan.

Di banyak tempat, suara azan yang menggema dari pengeras suara masjid adalah bagian dari lanskap akustik yang sudah melekat dalam kehidupan masyarakat Muslim. Ia menjadi panggilan suci yang mengingatkan manusia akan kehadiran Tuhan, memberikan nuansa religius di tengah hiruk-pikuk dunia. Namun, dalam konteks sosial yang lebih luas, penggunaan pengeras suara tidak selalu berjalan tanpa gesekan. Tidak sedikit masyarakat yang merasa terganggu ketika volume suara terlalu tinggi atau ketika penggunaannya berlangsung di luar azan, misalnya untuk tadarus dan ceramah yang berlangsung hingga larut malam.

Fenomena ini kemudian menjadi perbincangan di berbagai kalangan: apakah penggunaan pengeras suara masjid yang berlebihan masih sejalan dengan prinsip Islam yang mengutamakan keseimbangan dan harmoni? Ataukah ini justru menjadi ekspresi keberagamaan yang kurang mempertimbangkan lingkungan sosialnya?

Dinamika Sosial: Antara Tradisi dan Kenyamanan Publik

Dalam masyarakat tradisional, suara azan dan pengajian yang diperdengarkan lewat pengeras suara masjid jarang menjadi sumber perdebatan. Ini karena pola kehidupan masyarakat masih cenderung kolektif, dengan batasan ruang yang luas dan tingkat kebisingan alami yang lebih rendah dibandingkan dengan lingkungan urban saat ini. Namun, ketika populasi meningkat, ruang menjadi lebih padat, dan kehidupan modern menuntut privasi serta kenyamanan, maka suara dari pengeras masjid mulai menjadi isu yang harus dikelola dengan bijak.

Baca juga:  Masdjid Istiqlal, Penanda Keberagaman dan Kemodernan

Beberapa kasus di Indonesia menunjukkan bagaimana persoalan ini bisa berujung pada ketegangan sosial. Di Tanjung Balai, Sumatra Utara, misalnya, seorang warga non-Muslim (Meiliana) pernah mengalami konflik dengan lingkungan sekitarnya karena mengeluhkan suara pengeras suara masjid yang terlalu keras. Sementara itu, di beberapa daerah lain, penggunaan pengeras suara untuk pengajian subuh atau tadarus yang berkepanjangan juga menjadi sumber keluhan bagi sebagian masyarakat.

Jika menengok ke negara-negara Muslim lain, pengaturan pengeras suara masjid sebenarnya bukan hal baru. Arab Saudi, misalnya, telah mengeluarkan kebijakan untuk membatasi volume pengeras suara masjid hanya pada level tertentu dan membatasi penggunaannya hanya untuk azan dan iqamah. Mesir juga menerapkan kebijakan serupa guna menghindari gangguan terhadap masyarakat umum. Pertanyaannya, apakah Indonesia juga perlu mengambil langkah serupa?

Filsafat Suara dan Kebebasan Ekspresi

Dalam perspektif filsafat, suara bukan sekadar gelombang akustik, tetapi juga medium komunikasi dan ekspresi budaya. Al-Farabi dalam Kitab al-Musiqa al-Kabir menekankan bahwa suara memiliki kekuatan psikologis dan sosial yang dapat memengaruhi kondisi jiwa seseorang. Oleh karena itu, suara yang digunakan dalam ruang publik harus mempertimbangkan dampaknya terhadap ketenangan dan harmoni sosial.

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah juga menjelaskan bahwa dalam setiap peradaban, ada aspek-aspek budaya yang harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Ia menekankan bahwa ekspresi keagamaan harus tetap mempertimbangkan konteks sosial dan tidak boleh menjadi faktor yang justru menimbulkan ketidakharmonisan dalam masyarakat.

Baca juga:  Masjid Cheng Hoo Menginspirasi Wisata Religi Indonesia

Di Eropa, pemikir seperti Jürgen Habermas mengembangkan konsep ruang publik yang menekankan bahwa kebebasan berekspresi harus diimbangi dengan kesadaran sosial. Kebebasan tidak boleh dijalankan secara absolut tanpa memperhitungkan hak-hak orang lain. Prinsip ini sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan keseimbangan antara hak individu dan kepentingan kolektif.

Dengan kata lain, penggunaan pengeras suara masjid yang berlebihan bisa menjadi contoh bagaimana kebebasan berekspresi dapat berbenturan dengan hak orang lain untuk mendapatkan ketenangan. Maka, perlu ada mekanisme yang memastikan bahwa fungsi pengeras suara tetap berjalan tanpa mengorbankan kepentingan bersama.

Islam dan Budaya Nusantara: Keseimbangan dalam Tradisi

Islam di Indonesia telah berkembang dengan pendekatan yang harmonis dengan budaya setempat. Wali Songo, misalnya, tidak hanya menyebarkan ajaran Islam melalui ceramah, tetapi juga menggunakan kesenian lokal seperti wayang dan gamelan sebagai media dakwah. Ini menunjukkan bahwa Islam memiliki fleksibilitas dalam menyampaikan ajarannya, tanpa harus berbenturan dengan nilai-nilai yang sudah ada dalam masyarakat.

Sejarawan Kuntowijoyo pernah mengingatkan bahwa Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam yang berbasis pada kesadaran sosial dan kultural. Artinya, ekspresi keagamaan di ruang publik seharusnya tetap memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal, termasuk dalam penggunaan pengeras suara masjid.

Sementara itu, budayawan Emha Ainun Nadjib juga menekankan bahwa agama seharusnya menjadi sumber ketenangan, bukan ketegangan. Jika suara dari masjid menjadi sesuatu yang mengganggu, maka yang perlu dikoreksi bukan esensi ajarannya, tetapi cara penyampaiannya.

Baca juga:  Wilmersdorfer Moschee, Saksi Hubungan Baik Muslim-Yahudi di Era Nazi

Solusi Bijak: Menjaga Spiritualitas Tanpa Merusak Harmoni

Dalam menghadapi dilema ini, solusi yang bijak bukanlah melarang pengeras suara masjid, tetapi menggunakannya dengan penuh kesadaran sosial. Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:

  • Menyesuaikan volume suara agar tetap terdengar jelas tanpa harus mengganggu lingkungan sekitar.
  • Membatasi penggunaan pengeras suara hanya untuk azan dan iqamah, sebagaimana yang diterapkan di beberapa negara Muslim.
  • Mengedukasi masyarakat agar lebih memahami bahwa ibadah juga harus mempertimbangkan hak orang lain.
  • Memanfaatkan teknologi seperti aplikasi pengingat waktu salat yang bisa menjadi alternatif bagi mereka yang membutuhkan informasi waktu ibadah tanpa harus mengandalkan pengeras suara secara berlebihan.

Refleksi: Suara yang Menyatukan, Bukan Memisahkan

Pengeras suara masjid adalah simbol dari seruan ilahi yang mengajak manusia kepada kebaikan. Namun, simbol hanya akan bermakna jika ia diterima dengan lapang dada oleh seluruh masyarakat. Jika keberadaannya justru menimbulkan gesekan sosial, maka yang perlu dikaji ulang bukanlah panggilan ibadahnya, tetapi bagaimana cara menyampaikannya.

Dalam dunia yang semakin plural dan urban, tantangan kita bukan sekadar mempertahankan tradisi, tetapi juga memastikan bahwa tradisi itu tetap relevan dan membawa manfaat bagi semua. Suara yang baik bukanlah yang paling keras, melainkan yang paling menyentuh hati.

Sebagaimana petuah bijak yang mengatakan, “Keindahan suara bukan terletak pada kerasnya, tetapi pada makna yang ia sampaikan dan ketenangan yang ia hadirkan.”

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top