Belakangan linimasa media sosial kita diramaikan dengan hiruk-pikuk pernyataan-pernyataan kontroversial. Kebanyakan pernyataan itu berasal dari lisan para elite, semisal menteri dan komisioner lembaga tertentu. Kenyataan itu tentu membuat kita mengerutkan dahi. Sebab sangatlah aneh, orang-orang sekelas menteri terus-menerus mengeluarkan statement yang memancing gelengan dari publik.
Menko PMK Muhadjir Effendy, yang juga merupakan guru besar dan ketua pimpinan pusat Muhammadiyah, melontarkan usulan janggal. Ia menganjurkan fatwa agar orang kaya menikah dengan orang miskin. Seakan-akan pernikahan antar dua orang dari kelas ekonomi yang berbeda bisa begitu saja menghapuskan kemiskinan di Indonesia.
Kemiskinan sendiri ada tiga jenis, yaitu kemiskinan natural, kultural, dan struktural. Kemiskinan natural adalah kemiskinan yang ada secara alami, misalnya karena tidak adanya kekayaan alam. Sedangkan konsep kemiskinan kultural (culture of poverty) pertama kali diperkenalkan oleh antropolog Oscar Lewis. Sederhananya kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang diakibatkan nilai-nilai dan kebudayaan yang dianut oleh seorang individu, semisal malas bekerja dan tidak adanya gairah untuk hidup maju. Dan terakhir kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang ada karena pengaruh sistem yang tidak mendukung. Jenis kemiskinan terakhir inilah yang mesti diperhatikan baik-baik oleh para elite.
Sungguh naif anjuran orang kaya menikah dengan orang miskin sebagai solusi mengatasi kemiskinan. Selain fakta di lapangan menunjukkan bahwa kemiskinanlah yang kerap jadi sebab seseorang gagal menikah, anjuran itu juga seolah upaya lepas tangan negara untuk memperbaiki sistem dan undang-undang yang menghambat pengentasan kemiskinan. Pemberian upah layak dan pengamalan undang-undang dasar untuk menolong kaum miskin semestinyalah yang harus digaungkan. Bukan anjuran absurd pernikahan orang kaya dengan orang miskin.
Setelah Muhadjir Effendy, giliran Komisioner KPAI Sitti Hikmawatty melontarkan ucapan nyeleneh. Beliau mengatakan bahwa berenang bersama lawan jenis dalam satu kolam bisa menyebabkan kehamilan. “Walaupun tidak terjadi penetrasi, tapi ada pria terangsang dan mengeluarkan sperma, dapat berindikasi hamil,” ujarnya.
Sontak saja, pernyataan itu segera mendatangkan respons dari berbagai pihak. Ada yang menjadikannya olok-olok, ada yang menyayangkan, dan ada pula yang meluruskan.
Seorang dokter spesialis kandungan dari RS Jakarta, dr. Ardiansjah Dara SpOG, mengatakan tidak mungkin seorang wanita bisa hamil hanya karena pria mengeluarkan sperma di kolam renang. “Sperma itu ada suasana tertentunya. Ketika kena udara, nggak bertahan dia. Apalagi kena di air, kolam renang, nggak mungkin (bertahan),” ujarnya sebagaimana dikutip dari Detik.com.
Sitti Hikmawatty memang kemudian mengeluarkan klarifikasi dan permintaan maaf. Namun, itu tetap tak mengubah kenyataan bahwa betapa entengnya para elite negeri ini melontarkan pernyataan-pernyataan yang nyeleneh.
Kenapa Para Elite Mengeluarkan Pernyataan Nyeleneh?
Dalam ajaran Islam, ada banyak sekali ayat dan hadis yang mewanti-wanti kita untuk menjaga lisan. Kita diperintahkan untuk tidak mengucapkan perkataan kotor, fitnah, celaan kepada orang lain, dusta, dan mengatakan sesuatu tanpa ilmu. Saking pentingnya perkara menjaga lisan ini, Imam Al-Ghazali dalam kitab monumentalnya Ihya ‘Ulumu al-Din sampai membuat bab khusus soal lisan.
Salah satu ayat Alquran yang menyoal pentingnya menjaga lisan adalah surat Al-Isra ayat 36: “Dan janganlah kamu mengatakan apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.”
Ayat itu menegaskan agar kita berhati-hati dalam berbicara. Di antaranya dengan tidak mengeluarkan pernyataan yang nyeleneh dan ngawur. Tanpa mengurangi rasa hormat, ucapan Menko PMK Muhadjir Effendy, Komisioner KPAI Sitti Hikmawatty, dan sejumlah elite lainnya termasuk ke dalam ucapan nyeleneh.
Hal itu membuat kita bertanya-tanya, mengapakah para elite yang notabene orang berpendidikan bisa asal bicara?
Tidak ada jawaban pasti untuk pertanyaan itu. Hanya si penutur itu sendirilah yang tahu alasan kenapa ia melontarkan ucapan yang nyeleneh. Namun, dari berbagai indikasi kita dapat menduga beberapa penyebab para elite mudah mengucapkan perkataan yang nyeleneh. Di antaranya karena mereka merasa memiliki kekuasaan (Michel Foucault mencetuskan teori kaitan antara kekuasaan dan pengetahuan), spontanitas menanggapi pernyataan wartawan, kekuranghati-hatian, hingga kesengajaan untuk menimbulkan kontroversi.
Para Elite Seharusnya Menjadi Teladan
Dengan maraknya ucapan-ucapan nyeleneh yang datang dari para elite bangsa ini membuat kita semakin kehilangan sosok teladan. Para pejabat, orang-orang yang diberi mandat untuk mewakili rakyat dan mengurusi persoalan orang banyak, seharusnya menjadi suri teladan yang baik. Namun, ketika hal-hal negatif para elite justru lebih meramaikan linimasa, kita patut bertanya: kepada siapakah kita harus mengambil teladan?
Pada akhirnya, kehebohan-kehebohan ini patut para elite jadikan sebagai pelajaran untuk tak lagi mengulangi kesalahan yang sama di masa depan. Mereka mesti lebih berhati-hati dalam mengatakan sesuatu dan mengambil sikap. Sebab, sebagai tokoh, kata-kata mereka tidak sama statusnya dengan kata-kata orang biasa. Kata-kata mereka bisa memberi pengaruh besar. Di sinilah letak pertaruhannya, apakah pengaruh itu positif atau negatif?
Kita berharap semoga para elite tak lagi menghebohkan dengan pernyataan kontroversial, melainkan dengan gagasan dan terobosan yang inspiratif dan berdampak positif bagi orang banyak. Wallahu a’lam bish-shawab.