Sedang Membaca
Zat yang Maha Membolak-balikkan Hati
Edi AH Iyubenu
Penulis Kolom

Sastrawan, praktisi perbukuan. Tinggal di Jogjakarta

Zat yang Maha Membolak-balikkan Hati

Setelah kita diberi “parameter” oleh Allah Swt untuk menghisab diri sendiri –bukan orang lain—bahwa perbuatan baik kita akan mengundang ijinNya untuk kita bisa beriman kepadaNya, tanda kita telah mempergunakan akal dengan baik (ya’qilun), dan perbuatan buruk akan menghalangi kita mendapat ijiNya untuk beriman, tanda kita tidak mempergunakan akal dengan baik (la ya’qilun), semestinya kita menjadi fokus benar kepada diri sendiri semata dalam rangka terus-menerus tazkiyatun nafs, sembari di sisi lain memandang segala kemajemukan di sekitar sebagai kehendakNya semata.

Pada derajat syiar amar ma’ruf nahi munkar, umpama kita menjadi bagian dari pelakon peran tersebut, berdasar spirit tersebut, kita akan tersadarkan dengan rendah hati untuk selalu menggenggam prinsip tersebut (ijin Allah Swt) dalam segala ejawantahnya. Sehingga kita takkan berani berucap dan bersikap ugal-ugalan kepada siapa pun yang belum seturut dengan ajaran syariat yang semestinya, yang kita syiarkan.

Ini sekaligus mengarsir tebal kalangan pengkhutbah yang tidak mengedepankan spirit tersebut sebagai indikasi bagi tidak benar-benar dijadikannya Kemahaan Allah Swt sebagai pemangku tunggal hidayah dan kebaikan, kendati banjaran ayat dan hadis begitu fasih dideraikannya. Kepada kalangan pengkhutbah jenis ini, mawas dirilah, saringlah sebaik-baiknya, agar Anda tak seturut terseret ke dalam ungkapan-ungkapan dan sikap-sikap yang terjal, rawan terjungkal ke jurang suul akhlak.

Spirit ijin Allah Swt tersebut dalam ungkapan yang sering kita jadikan doa ialah muqallibul qulub, Dzat yang Maha Membolak-balikkan Hati.

Ya muqallibal qulub, tsabittni ‘ala dinik, wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, tetapkanlah aku dalam agamaMu.

Inilah washilah rohani kita untuk senantiasa memasrahkan hati kepada kemahaanNya, termasuk dalam hal keimanan dan peribadatan. Ini pula lah cermin pengakuan mendalam di hati kita kepada dua sifat dasar mukmin yang diajarkan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasahuLlah, yakni raja’ (harap) dan khauf (takut).

Harap kepadaNya dalam rupa kontinuitas memohon pertolongan dan keruniaNya agar kita bisa terus menanjakkan iman, takwa, dan akhlak karimah dalam hidup ini sekaligus dijagaNya dari kemerosotan, kejatuhan, dan keterbalikan derajatnya.

Takut kepadaNya dalam rupa mohon tidak dijatuhkanNya kita kepada kehancuran iman, takwa, dan akhlak karimah sekaligus tidak diangkatNya kita kepada derajat rohani yang lebih baik dan tinggi lagi.

Dengan spirit raja’ dan khauf yang tiada putusnya, kita menisbatkan diri dengan kerendahan hati yang mendalam kepada semata kemahakuasaanNya yang memungkinkan bagi terjadinya apa pun kepada diri ini, baik atau buruk, iman atau ingkar. Tatkala derajat rohani kita sedang cemerlang, tiada berani kita menegakkan kepala kepada keluhungan diri; pun tatkala rohani kita terasa mengendur, tidak putus asa kita terhadap karunia dan pertolonganNya. Semata Allah Swt lah yang terpandang oleh hati kita, bukan diri, entah dalam hal tegaknya iman, dalamnya ilmu, dan gigihnya amal.

Baca juga:  Berguru Pada Ibrahim Bin Adham

Dalam panggung sejarah awal Islam, ada sejumlah nama terkenal yang sungguh mencengangkan dan sekaligus membuktikan bagi betapa mutlaknya kuasa muqallibul qulub di tangan Allah Swt.

Umar bin Khattab. Ia memusuhi siapa pun yang ikut dakwah Rasul Saw. Adik kandung dan iparnya, dihajar hingga terjengkang-jengkang. Ia menjadi musuh dakwah Rasul Saw yang amat merepotkan.

Allah Swt lalu mengaruniakan hidayah kepadanya, jadilah ia singa Rasulullah Saw. Ia membela Rasul Saw dengan jiwa dan raganya. Semua sahabat menyeganinya, semua musuh menggentarinya. Ia memegang kekhalifahan kedua, dan jasadnya dikebumikan bersebelahan dengan Rasulullah Saw dan Abu Bakar ash-Shiddiq.

Bayangkanlah, bayangkanlah betapa Allah Swt benar-benar Maha Membolak-balikkan hati manusia.

Khalid bin Walid. Gara-gara dia, dalam perang Uhud, nyaris saja umat Islam hancur lebur. Islam mengalami kekalahan berkat kejeniusan taktik perangnya yang mengomandani pasukan kafir Quraisy.

Kemudian ia dihidayahi oleh Allah Swt, memeluk Islam, berbaliklah ia menjadi panglima perang Islam paling legendaris yang tak pernah kalah oleh pasukan manapun. Tak pernah kalah! Pasukan Romawi pun tak berkutik. Melalui tangannya lah Islam menyebar begitu luasnya hingga ke negeri-negeri jauh.

Bayangkanlah, bayangkanlah betapa maha kuasanya Allah Swt mengubah hati manusia manapun.

Wahsyi bin Harb, mantan budak Etiophia, yang membunuh Sayyidina Hamzah bin Abdul Muthalib dalam perang Uhud. Seusai Fathu Mekkah, Wahsyi memeluk Islam dan menjadi bagian dari prajurit Rasul Saw. Senjatanya yang dulu digunakan membunuh Sayyidina Hamzah ia gunakan untuk membunuh musuh Islam, Musailamah al-Kazzab.

Sekarang simak sosok bernama Abdullah bin Dzil Khuwaishirah at-Tamimi. Dia bagian dari pasukan Rasul Saw dalam Perang Hunain. Gara-gara pembagian ghanimah yang dianggapnya tak adil, ia memperotes Rasul Saw.

Rasul Saw berkata tegas kepadanya, “Celakalah kamu! Aku tidak mungkin berbuat tanpa bimbingan Allah Swt.”

Peristiwa di tahun 8 Hijriyah ini sekaligus menjadi asbabul wurud bagi lahirnya sejumlah dawuh Rasulullah Saw perihal golongan manusia yang membaca al-Qur’an tetapi hanya sampai tenggorokan dan mereka keluar dari agamanya bagai anak panah yang melesat cepat dari busurnya.

Baca juga:  Adu Konsep Pemikiran Tentang Ego: Antara Sigmund Freud dan Al-Ghazali 

Lalu di tahun 40 Hijriyah, di masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, beliau dibunuh oleh salah satu pemuka Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam at-Tamimi, yang pernah diramalkan Rasul Saw sebagai “pembunuhmu adalah seburuk-buruknya manusia.”

Abdurrahman bin Muljam digambarkan bila malam bersalat malam begitu lamanya, bila siang berpuasa, hafal al-Qur’an, ahli ilmu al-Qur’an, dan pernah diutus oleh khalifah Umar bin Khattab ke Mesir untuk mengajarkan al-Qur’an.

Bayangkanlah, bagaimana Allah Swt menterjadikan keterbalikan hati sedemikian tak terbayangkannya kepada ahli ibadah, ahli al-Qur’an, sekalipun.

Lalu cermatilah nama Umar bin Saad bin Abi Waqash. Ia adalah putra Saad, karenanya sering disebut Ibnu Saad. Bapaknya, Saad bin Abi Waqash adalah salah satu sahabat terkemuka Rasul Saw yang dijamin masuk surga.

Ibnu Saad inilah yang memimpin 4.000 pasukan atas perintah Ubaidillah bin Ziyad, gubernur Kufah, untuk mengepung kafilah Husen bin Ali di Karbala hingga menyebabkan cucu kesayangan Rasul Saw itu terbunuh dengan tragis. Ia dijanjikan jabatan gubernur oleh Ubaidillah bin Ziyad dengan syarat menumpas pergerakan Husein bin Ali, tetapi ia tak pernah mendapatkannya dan bahkan terbunuh di tahun 66 Hijriyah.

Bayangkanlah, Saad bin Abi Waqash, yang dalam Fadhilah Amal digambarkan sebagai panglima perang Islam yang sangat digentari oleh pemimpin pasukan musuh-musuhnya karena ucapannya, “Kematian bagi kami lebih kami cintai daripada dunia dan seluruh isinya yang kalian cintai.”, putranya berakhir dengan amat menyesakkan dada begitu rupa.

Betapa Allah Swt begitu Maha Kuasa membalikkan hati yang begitu dekat dengan hati jernih yang amat dicintai oleh Rasukullah Saw tersebut.

Shimr bin Dzil Jauzan. Dialah panglima 4.000 pasukan penghancur kafilah Husein bin Ali. Dia adalah sahabat Ali bin Abi Thalib, bersama beliau saat perang Shiffin, tetapi dia pula lah yang membantai putra sahabatnya, Husein bin Ali.

Akhir hidupnya dituturkan sangat tragis: kepalanya dipenggal dan tubuhnya dibuang disantap anjing-anjing liar. Kepada Shimr inilah Husein bin Ali berkata, “Benarlah apa yang pernah dikatakan kakekku bahwa kelak aku akan berjumpa dengan anjing hitam berbelang putih dan dia akan meminum darah ahlul bait.”

Ja’dah binti al-Asy’at. Dia adalah cucu menantu Rasulullah Saw sendiri, istri Hasan bin Ali. Dia lah yang meracuni suaminya sendiri, cucu kesayangan Rasul Saw, karena tergiur oleh muslihat Yazid bin Muawiyah yang menjanjikan akan menjadikannya permaisuri bila membantunya ‘menyelesaikan’ Hasan bin Ali. Hingga akhir hayatnya, ia tak pernah dinikahi oleh Yazid.

Baca juga:  Filosofi Tawadhu’ dalam Sebuah Dumbek

Dan, masih ada sejumlah nama lain yang berat betul hati saya untuk menuliskannya lebih lanjut karena nasab mereka begitu dekat, sangat dekat, dengan nama-nama besar sahabat Rasulullah Saw.

Semua catatan sejarah tersebut menerangkan dengan serius betapa keimanan dan peribadatan kita, semenjulang apa pun kini, sama sekali bukanlah jaminan bagi husnul khatimah-nya kita di akhir hayat. Begitupun sebaliknya, tidak otomatis mereka yang kini masih jauh dari tuntunan syariat, dekat dengan kemaksiatan, akan terus tenggelam dalam suul khatimah hingga akhir hayatnya.

Begitulah kemahakuasaan Allah Swt menterjadikan apa pun, membolak-balikkan hati manusia. Dari kezaliman menuju kemukminan atau dari kemukminan menuju kezaliman.

Makanya kita dinasihatkan agar tidak jemawa kepada kualitas iman, takwa, dan akhlak karimah diri sepanjang napas masih berdenyut di dada, sebab boleh jadi hal sebaliknya di suatu kala mengempaskan kita. Sebagaimana pula kita dilarang betul untuk menuding orang lain buruk, sesat, dan kafir sepanjang napas masih berdenyut di dadanya, karena boleh jadi di suatu titik ia diangkatNya begitu tunggi dalam hal iman, takwa, dan akhlak karimahnya. La haula wala quwwata illa biLlah.

Kita sungguh, demi Allah Swt, tidak pernah punya kuasa untuk menjamin masadepan diri sendiri dengan bersandar kepada diri beserta seluruh kekuatan yang ada pada diri dalam konteks ini. Entah itu ilmu, amal, hingga iman, dan takwa. Seluruh bangunan kualitas rohani diri yang kita rintis, kuatkan, dan kafahkan dari masa paling lalu dan lama, sangat boleh jadi di suatu titik berbalik arah sedemikian pejalnya, hingga menjungkalkan kita ke lembah paling tak diinginkan. Maka jangan jemawa, mari jangan pongah….

Apa daya kita?

Kiranya, kini, menjadi terang betapa tiada daya dan kuasa apa pun pada diri ini kecuali semata terus-menerus memohon pertolongan, bimbingan, dan karuniaNya agar hati ini terus ditetapkanNya dalam iman, takwa, dan akhlak karimah hingga akhir hayat.

Ya muqallibal qulub, tsabittni ‘ala dinik, wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, tetapkanlah aku dalam agamaMu. Amin.Wallahu a’lam bish shawab.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
4
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
5
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top