Dilakoni sudah rukun paling agung dari rangkaian rukun ibadah haji oleh para jamaah haji tahun ini, yakni wukuf di Arafah. Kita doakan semoga semua jamaah haji berhasil menjalani rukun wukuf di Arafah tersebut (dan rukun-rukun lainnya) dengan sempurna lahir dan batin, dan kemudian pulang ke negerinya dengan membawa kecemerlangan rohani selayaknya rohani manusia haji atau mabrur.
Apa itu rohani manusia haji?
Kita bisa menguliknya dari dua arah.
Pertama, arah syariat.
Apa yang dimaksudkan syariat, menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam Sirr al-Asrar Fima Yahtaj Ilaihi al-Abrar, bukanlah semata derajat mampu menjalankan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Sebab lelaku syariat yang didesain langsung oleh Allah Swt sekaligus meliputi asah dimensi batiniah manusia, rohaniahnya, yang dapat kita baca dalam bentuk hikmah dan tujuannya.
Tujuan ibadah haji bisa kita lacak dari dua tamsil ini. Pertama, afsyus salam wa ith’amut tha’am. Dikatakan oleh Rasul Saw bahwa ciri haji mabrur ialah manusia yang sepulang berhaji mampu menjadi penebar hal-ihwal keselamatan dan kedamaian hidup (ucapan dan perbuatan) serta memberikan dengan luman derma-derma kepada orang lain. Otoritas diri dan harta difanakan di sini.
Kedua, rambu-rambu la rafatsa wala fusuqa wala jidala selama berhaji (formalnya mengenakan baju ihram) menisbatkan gemblengan rohani untuk mampu menahan gelora syahwat, perbuatan buruk, dan perdebatan antarkita.
Bagian kedua ini menjadi penentu betul pada proses gemblengan rohani haji itu. Dan ini sungguh bukan perkara sederhana. Mari kita kaji bersama.
Larangan memuaskan nafsu syahwat kepada pasangan sah selama berihram mengandung gemblengan rohani bahwa terhadap segala yang kita miliki, yang halal, bahkan yang hukum asalnya sunah, kita dituntut untuk mampu menanggalkannya tanpa kecuali. Ini, misalnya, berhikmah menempa kita untuk melampaui sekat-sekat “kebenaran diri”, dengan semata berpatuh kepada Kehendak Allah Swt dengan batin yang ikhlas dan tawakal.
Kita semua bisa membayangkan betapa beratnya untuk menerima dengan ikhlas dan tawakal kepada apa pun kehendak Allah Swt. Apalagi hal-hal yang dikehendakiNya itu secara lahiriah adalah barang sah dan bahkan sunnah. Bila kepada yang halal dan bahkan sunnah saja kita dimintaNya untuk ikhlas dan tawakal, tanda kita ditempa untuk memfana di hadapan segala kehendakNya, apalagi kepada yang kotor dan haram yang mutlak dilarang syariatNya.
Lalu larangan menguarkan ucapan dan perbuatan buruk (fusuq) menjadi batu ujian kepada kita ihwal seberapa kukuh takwa haq kita kepada Allah Swt. Bahkan di dalam hal yang secara lahiriah nampak baik pun, kita dilarangNya untuk memicu kemungkinan-kemungkinan meletusnya dampak-dampak keburukan. Seperti berceramah sebagai hal yang dasarnya baik, namun bisa menjadi keburukan bila diselipi hoax dan merendahkan pihak lain lintas SARA.
Kemudian larangan berdebat antarkita (jidal) menggembleng rohani kita untuk selalu mampu mengedepankan kerendahan hati, kendatipun boleh jadi ia kita yakini sebagai kebaikan dan kebenaran. Jidal terlarang bila memicu fusuq, mau kita atasnamakan apa pun ia. Menjalankan amar ma’ruf nahi munkar dengan tanpa kemakrufan cum akhlak karimah, misal, bisa kita jadikan contoh nyata bagi larangan itu. Bukankah atas nama kebenaran kita kerap terjatuh pada perdebatan yang merusak ukhuwah antarkita?
Kedua, arah hakikat.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani lalu memberikan pengajaran lebih dalam dari sekadar menjalankan lahiriah perintah dan menjauhi laranganNya serta memahami tujuan syariat haji itu, yakni dengan memasuki “dimensi diri”. Inilah yang disebut Ilmu hakikat atau “ilmu kenal diri” –atau orang Jawa menyebutnya “mulat sarira”.
Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu, tutur Rasul saw, siapa yang telah kenal diriya maka ia telah Tuhannya.
Kita mengerti secara umum bahwa di dalam diri kita ada dimensi lahiriah dan batiniah, ada ranah akal dan ada ranah hati. Keduanya sublim di dalam diri kita, given dan melekat sejak lahir. Keduanya mestilah berjalan seimbang agar keseimbangan Langit (tujuh petala Langit) dan Bumi (tujuh petala Bumi) yang dikandung diri kita bekerja dengan semestinya. Inilah tujuan ilmu kenal diri tersebut.
Kegagalan menyeimbangkan keduanya akan memicu anomali pada Diri Sejati kita, sehingga kemudian memerciklah perilaku-prilaku keburukan (bisa rafats, atau fusuq, atau jidal). Setiap kita melakukan keburukan, semakin kacaulan khittah keseimbangan Diri itu. Semakin dibiasakan, kita lalu menjadi “lupa Diri”, dan wujud nyatanya ialah kita tak lagi malu untuk berbuat keburukan, bahkan menganggapnya sebagai hal biasa saja. “Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang melupakan Allah Swt maka Allah Swt pun akan menjadikan mereka lupa pada diri mereka sendiri, mereka itulah orang-orang yang berbuat kerusakan (fasiq)” (QS. Al-Hasyr 19).
Pengajaran terakhir Syekh Abdul Qadir al-Jailani ialah ilmu makrifatulLah atau ilmu yang mutlak dikaruniakan Allah Swt kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.
Ibadah haji tergolong ke dalam jenis rukun Islam (artinya mahdhah) yang diberiNya “keringanan” sebagai cermin kemahaadilan-Nya. Syarat istatha’a (mampu) untuk mukallaf haji mengandung pemahaman bahwa semua jamaah haji yang telah berangkat pada hakikatnya merupakan manusia-manusia pilihanNya langsung untuk masuk ke derajat istatha’a tersebut. Yang belum istatha’a, tiada dosa baginya. Ini mestinya kondisi kesadaran diri yang amat penting untuk mengerti benar dan syukuri sejak sebelum berangkat haji.
Tidak semua orang kaya bisa berangkat berhaji dan tidak semua orang kurang mampu gagal sampai ke tanah suci. Siapa pun yang bisa berhaji, mestinya kondisi keterpilihan dirinya serentak menghantarnya mampu “memandang” kemahakuasaan Allah Swt. Maka, sungguh disayangkan bila praktik berhaji kita selama di tanah suci tidak mampu selaras dengan prinsip-prinsip “memandangNya” tersebut, sehingga peluang untuk makin meruntuhkan diri (fana) di hadapanNya rawan terlewatkan begitu saja. Semoga para jamaah haji kita tidak berada di posisi kurang ideal begitu.
Jika semua prosesi berhaji itu lalu dijalani dengan kesesuaian syariat lahiriah yang sempurna, kemudian dijiwai sepenuh rasa dan perasaan melalui jelajah rohani yang mendalam, kepada tujuan-tujuan syariat berhaji (seperti hikmah berihram, thawaf, sai, hingga tahallul) hingga posisi “diri wadag” di hadapan keotentikan “Diri rohani”, insya Allah akan terasakan betul makna-makna rahasia “difanakannya” diri olehNya selama di tanah suci.
Saat wukuf di Arafah, misal, mata lahiriah kita menyaksikan jutaan manusia dengan baju putih semua, yang identik dengan helai kain kafan yang akan kita kenakan kelak saat ajal tiba, sungguhlah hikmah rohaninya yang terpandang oleh mata batin kita tiada lain semata “fananya diri” di hadapanNya. Nilai rohani ini bila menghunjam dalam di hati akan semata menguarkan ekspresi saleh, tunduk, dan rendah dalam laku-laku keseharian kita. Larangan rafats, fusuq, dan jidal sungguh sama sekali bukanlah hal yang berat lagi dalam pandangan mata rohani yang telah bisa begitu rupa.
Mudah dipahami kini tatkala kemudian para manusia haji kembali ke kampungnya masing-masing dengan membawa “rohani manusia haji”, ia akan menempiaskan kerendahan diri yang mendalam dalam seluruh aktivitasnya, ‘ubudiyah dan muamalah. Ia boleh jadi secara lahiriah adalah seorang guru, akademisi, pebisnis, ustaz, bapak, istri, anak, dan sebagainya, tetapi pandangan rohaninya yang telah digembleng fana selama berhaji akan menjadikan amal perbuatannya berbeda sama sekali dibanding sebelumnya. Pandangan rohani barunya kepada diri, seluruh ibadahnya, aktivitas sosialnya, dan perannya di lingkungan nyatanya niscaya akan searas dengan semata akhlak karimah. Sebab memang tiada yang lebih adiluhung bagi hidup kita kecuali ekspresi akhlak karimah kepada siapa saja.
Dan inilah yang dimaksudkan Rasul saw sebagai mabrur: afsyus salam wa ith’amut tha’am.