Seorang lelaki muda, mahasiswa, memasuki Kafe Basabasi Sorowajan, Jogja, dengan memanggul ransel besar. Wajahnya tampak berkeringat. Rambutnya panjang. Ia lalu duduk di sisi tengah, meletakkan ranselnya, lantas mengeluarkan laptop, dan menyalakannya. Sembari menunggu laptopnya siap dioperasikan, ia melangkah ke meja kasir yang terletak di tengah.
Terlihat berbincang kecil dengan kasir, menjamah sepotong roti seharga Rp. 2.500, lalu kembali ke mejanya. Sejurus selang, seorang staf kafe mengantarkan segelas air putih yang nampak mengebul. Air panas.
Sembari menatapi layar laptopnya, ia menyobek sachetan kopi yang dikeluarkannya dari sisi depan ranselnya, menuangkannya ke air panas yang diberikan staf kafe tadi, kemudian mengaduk-aduk kopi tersebut dengan menggunakan bungkus kopi sachetannya yang dilinting sedemikian rupa. Dengan tenang, ia pun menyeruputnya dan mulai menarikan jari-jemarinya di tuts laptopnya.
Pagi yang segar, pagi yang benar-benar terjadi di sebuah kafe di kompleks kafe-kafe kelas mahasiswa khas Sorowajan, yang segmen besarnya adalah mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, yang rasanya mustahil Anda dengar bisa terjadi di kafe-kafe lain di kota Anda….
Itu cerita pertama.
Simak cerita kedua berikutnya ini.
Seorang mahasiswi memasuki areal Kafe Basabasi Sorowajan dengan langkah panjang-panjang. Ia langsung menuju ke sisi belakang, berwudhu, kemudian salat Zuhur di musala. Beberapa menit kemudian, usai salat, ia muncul di ruang tengah kafe, dan terus melaju keluar dari kafe ini, dan memasuki kafe sebelah –tentu bergabung kembali dengan teman-temannya.
Betul, ia memasuki Kafe Basabasi hanya untuk menumpang salat Zuhur –dan mungkin buang air kecil di toilet. Tak ada halangan apa pun baginya, juga siapa pun, untuk melakukan hal itu. Sekadar tatapan mata kurang nyaman pun dari para staf kafe, tak ada. Biasa saja. Dan kejadian semacam ini sama sekali tak terhitung lagi jumlahnya. Bukankah dimensi esoteris cum pahala tak mesti berupa feedback finansial, ya?
Cerita ketiga.
Orang-orang telah membludak dengan sangat luar biasa. Mereka yang datang lebih dulu bisa kebagian kursi-kursi. Mereka yang datang belakangan, kebagian duduk di tikar-tikar yang dihamparkan di sisi depan dekat panggung acara atau selasar-selasar yang menjadi jalan lalu lalang orang yang baru datang atau menuju kasir dan toilet.
Selang kemudian, dimulailah acara Kopdar Ngaji Ihya’ Ulumuddin bersama Gus Ulil Abshar Abdalla yang didokumentasikan dengan kesetiaan menakjubkan bagai dongeng oleh istrinya, Ning Ienas Tsuroiya.
Rangkaian acaranya begini: sambutan singkat saya, lalu dendang selawat (asyraqalan) yang dipimpin Kiai Kuswaidi Syafii (Cak Kus), kemudian potong tumpeng, dan doa yang dipimpin Cak Kus dan Gus Ulil, dan tumpeng-tumpeng itu dibagikan ke semua pengunjung –tentu, tak semua orang bisa kebagian. Lalu lanjut acara inti, ngaji Ihya’, hingga berjam-jam kemudian, dan nyaris tak ada satu pun pengunjung yang beringsut dari duduknya. Semua khusyuk menyimak deraian tasawuf ala Imam Ghazali yang diselingi candaan-candaan pengundang kekehan.
Itu semua, dari selawatan asyraqalan hingga taklim kitab magnum opus tasawuf itu, terjadi di malam hari di sebuah kafe.
Fenomena Kafe dan Aktivitas Literasi
Istilah “literasi”, belakangan ini, semakin luas dan ruah digunakan dalam pelbagai konteks. Secara umum kita memahami bahwa maksud “literasi” tiada lain ialah aktivitas pencerahan kognisi (personal dan komunal) melalui kawah akademis formal hingga informal dan non-formal, dalam pelbagai bentuk dan karakternya yang tak terbatas. Dengan semakin tercerahkannya derajat intelektualitas kita, tentulah ia akan semakin memberikan buah positif bagi sistem berpikir kita (lebih metodologis dan analitis) dan fase berikutnya mengangkat derajat moral kita (lebih kenal dan paham tanggung jawab).
Literasi tentulah tak semata terkait dengan sentrum kesusestraan. Ia meliputi segala disiplin, teori, pemikiran, paradigma, world view, dan weltanschauung. Dari tema spiritualitas yang ontologis macam paradigma tasawuf hingga wacana proper name yang teknis macam syariat, fiqh, atau siyasah. Dari wacana poskolonialisme hingga geopolitik, yang kini di antaranya terejawantah dalam tradis baru bernama travelling. Dari paradigma khilafah hingga demokrasi dan bahkan anarkisme. Dan sebagainya.
Saya, misal, membayangkan suatu istilah strategis yang sangat mendesak untuk makin dibumikan dan diluaskan dalam konstelasi kontestasi kebenaran religius (antaragama dan antarmazhab) yang acap membikin bergidik ekspresi-ekspresinya di tengah kemajemukan macam bangsa ini, yakni “urgensi literasi tafsir dan takwil”.
Kita sangat butuh untuk mengkaji dan berdiskusi dengan lebih intens dan luas perihal, misal: “Apakah Islam yang kita anut adalah satu-satunya kebenaran agama di antara agama-agama lainnya, utamanya antaragama Samawi yang notabene kita tahu berakar pada kehanifan Ibrahim As? Lalu, apakah sikap fanatis dalam berislam ala kelompok muslim Kanan dan fleksibel ala kelompok muslim Kiri tidak bisa dicarikan titik-temunya (kalimatun sawa’) secara paradigmatis?” dan sebagainya.
Seiring dinamika zaman dan bentuk-bentuk ekspresinya di era milenial ini, seiring mencairnya ruang-ruang hidup dan cara komunikasi kita, mencair pulalah medan-medan paradigmatis kita, bukan hanya secara tema dan perspektifnya, melainkan juga wadah dan sirkelnya.
Salah satu pergeseran yang semakin nyata ruahnya itu ialah kafe. Betul, kafe yang tak lagi terpostulasikan sebagai “tempat makan minum atau meeting atau kongkow hedonis” –sebagaimana dulu kita memahaminya—karena kini kafe-kafe tumbuh bak jamur dan semakin populer di nyaris semua kelangan sebagai “rumah ketiga” setelah kos/rumah dan kampus/sekolah.
Kafe kini adalah spot publik yang lingkupannya sangat besar, luas, dan majemuk, dan tentulah beragam karakter, latar, dan konteks peradaban hidup ini berdenyar di dalamnya. Maka logis bila kafe pun semakin sering dijadikan pilihan spot untuk suatu kajian, diskusi, bahkan perkuliahan pemikiran.
Sebuah ‘Cara Mengada’
Saya penulis apa saja, utamanya k,arya sastra dalam bentuk novel, cerpen, dan esai. Alamiah bila saya suka sekali pada buku-buku serta acara-acara kesastraan.
Bertahun-tahun silam, saya mengimpikan untuk bisa memiliki sebuah kafe mahasiswa dengan konsep terbuka please welcome, yang di dalamnya saya leluasa sekali untuk menggelar acara-acara apa pun.
Jauh sebeolumnya, saya berkali-kali banyaknya menggelar acara-acara sastra di Jogja dengan menumpang kafe teman atau menyewa gedung dengan budget tak sedikit. Faisal Oddang, Aan Mansyur, Linda Christanty, Agus Noor, Damhuri Muhammad, Putu Fajar, Joko Pinurbo, Seno Gumira Ajidarma, dll., pernah saya datangkan ke acara-acara saya di Jogja. Semua event tersebut saya biayai sendiri, semata karena suka sastra.
Impian lama untuk punya kafe sendiri itu di Agustus 20017 alhamdulillah diijabi-Nya. Saya dapat lahan strategis di kompleks kafe mahasiswa di Sorowajan. Dengan kilat, saya bangun, dan gebrakan acara perdana saya di kafe tersebut langsung terhelat, yakni “Ngobrolin Sastra Bersama Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, dan Faisal Oddang”. Sebulan kemudian, saya ketiban sampur berhasil menghadirkan Mbah Sujiwo Tedjo ke kafe tersebut. Pengunjung membludak lebih seribu orang.
Kemudian terhelat lagi acara bersama Eka Kurniawan, lalu Ivan Lanin yang tampannya tak pernah libur itu, lalu Djenar Mahesa Ayu. Dan terus banyak acara lainnya, dengan menghadirkan banyak akademisi dan tokoh publik, yang kemudian berkembang tak hanya bertema sastra, tapi apa saja, termasuk tasawuf –bahkan ada acara rutin Senandung Cinta (Ngaji Burdah) bersama Cak Kus tiap hari Rabu pukul 20.00-22.00—dan lainnya (selain kampanye politik praktis).
Semua acara di Kafe Basabasi seratus persen free. Anda tak berkewajiban sama sekali untuk sekadar beli kopi atau jajanan apa saja, bahkan boleh jadi Anda lah yang ketiban mujur mendapatkan doorprize atau kebagian kopi gratis dan lainnya.
Ya Ilahi, alhamdulilLah, inilah yang saya dambakan dari tahunan silam! Inilah dasein saya, cara mengada, yang barangkali bisa menjadi sumbangan kami kepada dinamika weltanschauung pemikiran dan intelektualitas generasi muda Jogja khususnya –atau dalam istilah awal kita: “literasi”.
Semakin mujur saya dikarenakan core bisnis saya adalah industri penerbitan, DIVA Press Group dan Penerbit Basabasi, sehingga semakin klop dengan spirit literasi tersebut. Mudah bagi saya untuk mengadakan buku-buku di perpustakaan Kafe Basabasi, yang bisa dibaca siapa saja dengan mudah, dan terus saya up date koleksinya –meski uniknya tak kunjung penuh pula rak-raknya.
Banyak kawan dan kolega bertanya langsung pada saya: “Apa tidak rugi mengadakan banyak acara literasi gratisan begini yang tentunya berbiaya besar itu dan membebaskan para pengunjung sedemikian rupa untuk bahkan tak jajan apa-apa?”
Jawabannya saya kemas dengan bercanda yang serius: “Gusti Allah Swt mboten sare, saya insya Allah haqqul yaqin. Ngono ya ngono ning ojo ngono, ini cara bisnis saya….” (aa)
Sungguh keren ide Kafe Basa basinya