Betapa familiarnya kita dengan ayat dalam al-Qur’an ini, yakni surat al-Baqarah ayat 256: “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama, sungguh telah terang jalan yang benar dari jalan yang sesat….”
Berdasar ayat tersebut, seyogianya telah cukup untuk dimengerti bahwa tidak relevan sama sekali bagi setiap kita untuk memaksakan orang lain untuk memeluk agama Islam yang kita anut ini. Juga, termasuk (apalagi sekadar) pandangan-pandangan, mazhab-mazhab, dan aliran-aliran yang kita ikuti dan yakini kebenarannya dalam perjalanan beriman dan berislam. Apa pun itu.
Ayat tersebut diturunkan di Madinah, bukan di Mekkah, tatkala Rasululullah Saw bersama umat Islam telah kokoh, kuat, dan mapan, dalam pelbagai fondasinya. Baik secara ekonomis, sosial, politik, dan militer.
Anda bisa membayangkan bila Anda sedang berada dalam posisi semapan itu, lalu Anda memproklamirkan larangan memaksa siapa pun untuk sepaham dengan Anda, betapa sungguh demokratisnya sikap tersebut, sungguh ngemong dengan luar biasanya ia pada marwah kebebasan, hak personal, dan kemanusiaan setinggi-tingginya.
Ayat tersebut, dalam jabaran Prof. Quraish Shihab, memiliki latar belakang (konteks diturunkannya) sebagai peringatan dari Allah Swt kepada kaum Anshar yang waktu itu cenderung memaksa anggota keluarganya untuk seturut menerima Islam yang dibawa Rasul Saw.
Ayat tersebut juga sinambung dengan sebab turunnya ayat 272 dari al-Baqarah juga, yang lebih tegas mewartakan perihal larangan paksa-memaksa tersebut.
“Bukanlah kewajibanmu membuat mereka mendapatkan petunjuk (memeluk Islam), tetapi Allah lah yang memberikan petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (kepada mereka), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri….”
Coba lagi Anda bayangkan. Saat ada anggota keluarga Anda yang kebutuhan hidupnya sehari-hari berada dalam tanggungan Anda, telah Anda penuhi dengan baik selama ini, lalu ia menolak untuk sepaham, seiman, dengan Anda, lalu Rasul Saw melalui ayat tersebut melarang Anda untuk menghentikan bantuan nafkah tersebut karena perbedaan keimanan tersebut.
Adakah makna selainnya yang bisa ditimba selain betapa diagungkannya hak personal untuk memilih iman dan agama yang diyakininya sepenuh welas asih? Dan, di sisi lain, betapa sangat nyatanya bahwa perkara hidayah untuk memeluk Islam sungguhlah diyakini dengan haq semata merupakan kuasa mutlak Allah Swt?
Korelasi antara kemahakuasaan Allah Swt untuk menghadiahkan hidayah kepada siapa yang dikehendakiNya dan dijaminnya hak personal untuk berbeda, sedemikian forntalnya bahkan dalam rupa keimanan itu, merupakan cermin nyata perihal sungguh terlarangnya melakukan upaya-upaya paksaan, intimidatif, hegemonik, kepada orang lain.
Jangankan dalam perkara fikih yang notabene majemuk, yang acap betul menjebak kita dalam perselisihan dan ketegangan antarkawan dan saudara, bahkan kepada perkara pokok (ushul) serupa iman pun, dilarangNya.
Maka, apa gerangan kini dalihnya bagi kita untuk masih saja berani melakukan paksaan keimanan dan amaliah kepada liyan, termasuk seperti menguarkan ungkapan-ungkapan kebencian, penghinaan, penistaan, dan pelecehan?
Tak ada. Sama sekali jelas tak ada.
Sayangnya, di masa kini, sebagian orang malah cenderung berbuat sebaliknya dengan mengatasnamakan membela Allah Swt, membela Rasul Saw, membela iman dan Islam.
Kita telah menyaksikan atraksi-atraksi memiriskan berbasis paham teologis ini –yang aslinya tentu saja akan selalu majemuk dan dinamis—yang bukan lagi hanya berskala diskursus atau dialog pemikiran, tetapi bahkan telah sering merambah rongrongan kohesi sosial.
Harmoni sosial kita acap tertaruhkan oleh sikap-sikap hegemonik dan intimidatif atas nama syiar Islam ini.
Sayang, sungguh sangat disayangkan.
Tentu kita semua mafhum bahwa keyakinan bergama, berislam, bahkan menganut suatu mazhab teologis, memiliki watak alamiah untuk disyiarkan. Dalam bahasa William James, “dimisionarikan”.
Islam pun begitu, di dalamnya kita kenal ajaran dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar. Itu hal yang alamiah belaka. Akan tetapi, seyogianya, segala ekspresi dakwah itu mesti senantiasa tak boleh memproduksi kontradiksi apa pun dengan ajaran yang paling mendasar berupa larangan memaksakan paham dan iman kita bahkan kepada liyan.
Segala produksi kontradiksi itu mutlak tidak bisa dibenarkan dari sudut apa pun, mulai dalil naqli, aqli, sampai etika dan asas kemanusiaaan. Sebab ia hanya akan menjadi perusak kohesi sosial kita, menciderai asas kemanusiaan kita, bertabrakan dengan amanat Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, dan cermin langsung dari su’ul akhlak yang sama sekali tak diajarkan oleh Rasulullah Saw.
Sampai di sini, mari mawas diri selalu atas risiko keterjatuhan begitu rupa. Mari rajin-rajin menambah khazanah keilmuan, permenungan, dan pengkajian keislaman dengan makin komprehensif, agar paradigma kita dalam beriman dan berislam makin utuh dan bijak.
Sebab “lubang hitam” terbesar bagi lahirnya perilaku kontraproduktif tadi diakibatkan oleh dangkalnya ilmu, pemahaman, dalam beriman dan berislam itu sendiri, dari seluruh aspeknya.
Wallahu a’lam bish shawab. (SI)