Orang-orang telah membludak dengan sangat luar biasa. Mereka yang datang lebih dulu bisa kebagian kursi-kursi. Mereka yang datang belakangan, kebagian duduk di tikar-tikar yang dihamparkan di sisi depan dekat panggung acara atau selasar-selasar yang menjadi jalan lalu lalang orang yang baru datang atau menuju kasir dan toilet.
Selang kemudian, dimulailah acara Kopdar Ngaji Ihya’ Ulumuddin bersama Gus Ulil Abshar Abdalla yang didokumentasikan dengan kesetiaan menakjubkan bagai dongeng oleh istrinya, Ning Ienas Tsuroiya.
Rangkaian acaranya begini: sambutan singkat saya, lalu dendang selawat (asyraqalan) yang dipimpin Kiai Kuswaidi Syafii (Cak Kus), kemudian potong tumpeng, dan doa yang dipimpin Cak Kus dan Gus Ulil, dan tumpeng-tumpeng itu dibagikan ke semua pengunjung –tentu, tak semua orang bisa kebagian. Lalu lanjut acara inti, ngaji Ihya’, hingga berjam-jam kemudian, dan nyaris tak ada satu pun pengunjung yang beringsut dari duduknya. Semua khusyuk menyimak deraian tasawuf ala Imam Ghazali yang diselingi candaan-candaan pengundang kekehan.
Itu semua, dari selawatan asyraqalan hingga taklim kitab magnum opus tasawuf itu, terjadi di malam hari di sebuah kafe.
Fenomena Kafe dan Aktivitas Literasi
Istilah “literasi”, belakangan ini, semakin luas dan ruah digunakan dalam pelbagai konteks. Secara umum kita memahami bahwa maksud “literasi” tiada lain ialah aktivitas pencerahan kognisi (personal dan komunal) melalui kawah akademis formal hingga informal dan non-formal, dalam pelbagai bentuk dan karakternya yang tak terbatas. Dengan semakin tercerahkannya derajat intelektualitas kita, tentulah ia akan semakin memberikan buah positif bagi sistem berpikir kita (lebih metodologis dan analitis) dan fase berikutnya mengangkat derajat moral kita (lebih kenal dan paham tanggung jawab).
Literasi tentulah tak semata terkait dengan sentrum kesusestraan. Ia meliputi segala disiplin, teori, pemikiran, paradigma, world view, dan weltanschauung. Dari tema spiritualitas yang ontologis macam paradigma tasawuf hingga wacana proper name yang teknis macam syariat, fiqh, atau siyasah. Dari wacana poskolonialisme hingga geopolitik, yang kini di antaranya terejawantah dalam tradis baru bernama travelling. Dari paradigma khilafah hingga demokrasi dan bahkan anarkisme. Dan sebagainya.
Saya, misal, membayangkan suatu istilah strategis yang sangat mendesak untuk makin dibumikan dan diluaskan dalam konstelasi kontestasi kebenaran religius (antaragama dan antarmazhab) yang acap membikin bergidik ekspresi-ekspresinya di tengah kemajemukan macam bangsa ini, yakni “urgensi literasi tafsir dan takwil”.
Kita sangat butuh untuk mengkaji dan berdiskusi dengan lebih intens dan luas perihal, misal: “Apakah Islam yang kita anut adalah satu-satunya kebenaran agama di antara agama-agama lainnya, utamanya antaragama Samawi yang notabene kita tahu berakar pada kehanifan Ibrahim As? Lalu, apakah sikap fanatis dalam berislam ala kelompok muslim Kanan dan fleksibel ala kelompok muslim Kiri tidak bisa dicarikan titik-temunya (kalimatun sawa’) secara paradigmatis?” dan sebagainya.
Seiring dinamika zaman dan bentuk-bentuk ekspresinya di era milenial ini, seiring mencairnya ruang-ruang hidup dan cara komunikasi kita, mencair pulalah medan-medan paradigmatis kita, bukan hanya secara tema dan perspektifnya, melainkan juga wadah dan sirkelnya.
Salah satu pergeseran yang semakin nyata ruahnya itu ialah kafe. Betul, kafe yang tak lagi terpostulasikan sebagai “tempat makan minum atau meeting atau kongkow hedonis” –sebagaimana dulu kita memahaminya—karena kini kafe-kafe tumbuh bak jamur dan semakin populer di nyaris semua kelangan sebagai “rumah ketiga” setelah kos/rumah dan kampus/sekolah.
Kafe kini adalah spot publik yang lingkupannya sangat besar, luas, dan majemuk, dan tentulah beragam karakter, latar, dan konteks peradaban hidup ini berdenyar di dalamnya. Maka logis bila kafe pun semakin sering dijadikan pilihan spot untuk suatu kajian, diskusi, bahkan perkuliahan pemikiran.
Sebuah “Cara Mengada”
Saya penulis apa saja, utamanya karya sastra dalam bentuk novel, cerpen, dan esai. Alamiah bila saya suka sekali pada buku-buku serta acara-acara kesastraan.
Bertahun-tahun silam, saya mengimpikan untuk bisa memiliki sebuah kafe mahasiswa dengan konsep terbuka please welcome, yang di dalamnya saya leluasa sekali untuk menggelar acara-acara apa pun.
Jauh sebeolumnya, saya berkali-kali banyaknya menggelar acara-acara sastra di Jogja dengan menumpang kafe teman atau menyewa gedung dengan budget tak sedikit. Faisal Oddang, Aan Mansyur, Linda Christanty, Agus Noor, Damhuri Muhammad, Putu Fajar, Joko Pinurbo, Seno Gumira Ajidarma, dan lain-lain, pernah saya datangkan ke acara-acara saya di Jogja. Semua event tersebut saya biayai sendiri, semata karena suka sastra.
Impian lama untuk punya kafe sendiri itu di Agustus 20017 alhamdulilLah diijabiNya. Saya dapat lahan strategis di kompleks kafe-kafe mahasiswa khas Sorowajan. Dengan kilat, saya bangun, dan gebrakan acara perdana saya di kafe tersebut langsung terhelat, yakni “Ngobrolin Sastra Bersama Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, dan Faisal Oddang”. Sebulan kemudian, saya ketiban sampur berhasil menghadirkan Mbah Sujiwo Tedjo ke kafe tersebut. Pengunjung membludak lebih seribu orang.
Kemudian terhelat lagi acara bersama Eka Kurniawan, lalu Ivan Lanin yang tampannya tak pernah libur itu, lalu Djenar Mahesa Ayu. Dan terus banyak acara lainnya, dengan menghadirkan banyak akademisi dan tokoh publik, yang kemudian berkembang tak hanya bertema sastra, tapi apa saja, termasuk tasawuf –bahkan ada acara rutin Senandung Cinta (Ngaji Burdah) bersama Cak Kus tiap hari Rabu pukul 20.00-22.00—dan lainnya (selain kampanye politik praktis).
Semua acara di Kafe Basabasi seratus persen free. Anda tak berkewajiban sama sekali untuk sekadar beli kopi atau jajanan apa saja, bahkan boleh jadi Anda lah yang ketiban mujur mendapatkan doorprize atau kebagian kopi gratis dan lainnya.
Ya Ilahi, alhamdulilLah, inilah yang saya dambakan dari tahunan silam! Inilah “cara mengada” yang saya suka, yang barangkali bisa menjadi suatu sumbangan kepada dinamika weltanschauung generasi muda Jogja khususnya –atau dalam istilah awal kita: “literasi”.
Semakin mujur saya dikarenakan core bisnis saya adalah industri penerbitan, DIVA Press Group dan Penerbit Basabasi, sehingga semakin klop dengan spirit literasi tersebut. Mudah bagi saya untuk mengadakan buku-buku di perpustakaan Kafe Basabasi, yang bisa dibaca siapa saja dengan mudah, dan terus saya update koleksinya –meski uniknya tak kunjung penuh pula rak-raknya.
Dalam perjalanannya, kegiatan-kegiatan di Kafe Basabasi meluas dari kotak sastra. Tema kajian, talkshow, bedah buku, dan “seminar” apa saja bisa masuk ke list acara kami –yang yang kami gagas sendiri maupun oleh komunitas-komunitas secara mandiri—selain politik praktis.
Salah satu tema yang saya gemari ialah tasawuf. Saya pernah menghadirkan Buya Husein Muhammad, Gus Ulil Abshar Abdalla, Irfan Afifi, dan lainnya. Beberapa kali Kopdar Ngaji Ihya’ Ulumuddin khas Gus Ulil kami “unduh”. Dalam perjalanannya, tema tasawuf ini coba kami kemas dengan “khas kafe”, yakni memilenialkannya.
Mengapa kajian tasawuf milenial ini saya anggap penting?
Ini terkait dengan perkara strategi literasi itu.
Fenomena keberagamaan, khususnya keislaman, kita hari ini terlihat bagai “kaca retak”. Sebagai kaca ia tetaplah kaca, tetapi retakannya begitu mengkhawatirkan. Dan, gawatnya, ia menempati posisi yang sangat besar, pokok, dan begitu strategisnya. Bila retakannya makin besar, makin besarnya taruhannya bagi semua kita.
Bangkitnya gairah Islam di kalangan umat urban belakangan ini berbeda jauh dengan gerakan puritanisme puluhan tahun silam. Karakternya di hari ini cenderung mengusung elemen paling sensitif bagi kemajemukan kita, yakni mengusik “SARA” dan tradisi.
Situasinya menjadi cukup parah dengan munculnya politisasi agama yang telah sampai pada derajat “tega” dan “pokoknya”.
Gamblang sekali mata kita menyaksikan pekik-pekik Islam yang mengusik kesakralan SARA kita, padahal ia untuk kepentingan politik elektoral belaka. Orang-orang yang berkhidmah kepada Islam dengan apa adanya rentan sekali dimobilisasi dengan slogan-slogan “pemimpin muslim” hingga “kriminalisasi ulama”. Berjlid-jilid demo mengatasnamakan marwah agama dan umat Islam digelar tanpa ampun. Berjilid-jilid ijitima’ ulama digeber sedemikian rupa.
Hasilnya adalah kegundahan dan ketegangan di akar rumput.
Belum lagi fenomena syiar-syiar Islam yang tanpa tedeng aling-aling menabrak bangunan tradisi kita tanpa ampun. Deraslah klaim ini haram, itu haram, ini bidah, itu bidah, ini tak sesuai al-Qur’an dan sunnah Rasul Saw, itu tak sesuai al-Qur’an dan sunnah Rasul Saw, hingga meruahlah polarisasi sosial yang sungguh tak sehat bagi kualitas kemajemukan kita.
Polarisasi ini tercermin vulgar di depan mata semua kita melalui, misal, head to head-nya cebong dan kampret, syar’i dan bidah, kanan dan kiri, Islam dan liberal-sekuler, dan sebagainya.
Memang betul bahwa kondisi ini telah ada sejak dulu kala, akan tetapi situasinya hari ini jauh lebih vulgar, tajam, dan masif –berkat panggung media sosial dan semesta digitalnya.
Hanya karena sebuah aplikasi FaceApps, orang begitu entengnya untuk bersitegang, bertengkar, kafir-mengkafirkan bahkan. Hanya karena beda pilihan politik, orang begitu entengnya bermusuhan, bahkan antarteman dan antarsaudara.
Hanya karena perbedaan “cara ekspresi” iman spiritual, dan tentu karena kurangnya pengetahuan tentang hal tersebut, orang berani betul untuk menyerang dan membubarkan acara-acara tradisi yang adiluhung dengan dalih sesat, bidah, dan haram.
Inilah yang saya maksud kaca retak tadi. Ia bagai menunggu sebuah batu jatuh ke atasnya, lalu meledaklah ia, dengan sangat berantakan. Mengerikan sekali!
Mengapa Islam kita jadi begini tricky-nya, ya?
Kualitas literasi publik akar soalnya. Dalam istilah khas saya, “literasi tafsir dan takwil” kita bukan hanya mengalami kejumudan, tetapi bahkan kemunduran, menjadikan kita tercerabut dari khittah dinamika zaman dan kahanan (zaman wa makan), hingga kita terlihat tak lagi “shalih” atau nyambung, relevan, mengkontekstual dengan realitas hidup kita sendiri. Kita ini bagai orang milenial dengan segala kecanggihan teknologi dan fitur kehidupannya, tetapi berpikir dan berperilaku bagai orang Flinstone –sebuah film animasi lawas yang berlatar era batu.
Saya punya kisah ilustratif terhadap kondisi yang saya maksud tersebut.
Kelelawar yang hidup hanya di malam hari dan terbang jauh ke mana-mana untuk mencari penghidupan tak pernah percaya bahwa di dunia ini ada matahari. Ia yang tak pernah menyaksikan matahari menolaknya dengan sangat keras.
“Aku telah terbang begitu tinggi, jauh, dan luas, tapi apa yang kalian sebut matahari yang bercahaya terang itu tak pernah ada. Kalian hanya para pendusta yang celaka! Apakah ini karena kami terlalu tinggi terbang sehingga matahari berada jauh di bawah kami? Kalian hanya para pendusta perusak kebenaran!”
Saya kerap membayangkan, ihwal jelajah ilmu pengetahuan dan pergaulan bagi kelelawar itu merupakan tragedi literasi yang luar biasa. Mereka sungguh sangat membutuhkan sentuhan literasi agar melek dengan lebih terbuka dan legawa atas keterbatasan-keterbatasan literasi di hadapan keluasan-keluasan kehidupan ini.
Andai serapan literasi tafsir dan takwil semakin meluas seiring dengan limpahan rahmat media sosial dan semesta digitalnya, niscaya kelelawar itu akan berhenti memekik-mekik begitu rupa –niscaya ketegangan polarisasi di tengah kemajemukan kita akan mencair dengan lebih seyogianya.
Dalam konteks menjadikan Islam sebagai agama yang khittahnya penuh kasih sayang dan persaudaraan, tasawuf memainkan peran yang sangat mendasar di hadapan “realitas kelelawar” tadi. Dan wawasan ini mesti diakses dengan mudah dan luas oleh generasi milenial pula. Tentu agar bisa mereka terima dengan senang hati, karakter asali tasawuf yang “serius, khusyuk, dan sunyi” mesti digeser sedemikian rupa menjadi berwarna milenial pula. Inilah yang saya maksud “tasawuf milenial” –salah satu jawaban bagi “kaca retak” tadi bahwa generasi milenial sebagai tulang punggung kemajemukan bangsa ini sangat memerlukan akses dan intensi kepada tasawuf pula.
Mari bayangkan, umpama panorama khas tasawuf semacam “agama adalah cinta dan cinta adalah agama” (al-dinu hubbun wal hubbu dinun) semakin memancari dengan luas atmosfir berislam kita, utamanya generasi milenial, niscaya agama takkan lagi menjadi sumber ketegangan sosial kita. Agama akan menyinari semua bentuk realitas dan relasi setiap kita dengan sejuk dan tenang, sebab Cinta selalu berhasil melampaui sekat-selat apa saja.
Insya Allah, dimulai 1 Muharram ini, 1 September 2019, saya akan meluncurkan seri “Kuliah Umum Tasawuf Milenial Basabasi”. Gelaran pertama mengambil tema “Pengantar Tasawuf: Mengapa Generasi Milenial Perlu untuk Mengenal Tasawuf?”, dan insya Allah akan dilanjutkan pertemuan-pertemuan berikutnya secara berkala setiap dua bulan. Edisi perdana kuliah umum tersebut akan diisi oleh Gus Ulil Abshar Abdalla, Kak Kuswaidi Syafii, dan Mas Hairus Salim.
Edisi-edisi berikutnya telah saya list sejumlah tokoh terkemuka di negeri ini untuk mengisi rangkaian acara tersebut, dari KH Husein Muhammad, Pak Haidar Baqir, Kang M. Jadul Maula, Mas Irfan Afifi, hingga Mas Nur Kholik Ridwan, dan selainnya. Insya Allah.
Bersenang-senang Iya, Berbisnis Iya
Banyak kawan dan kolega bertanya pada saya: “Apa tidak rugi mengadakan banyak acara literasi gratisan begini yang tentunya berbiaya besar itu dan membebaskan para pengunjung sedemikian rupa untuk bahkan tak jajan apa-apa?”
Jawabannya saya kemas dengan bercanda yang serius: “Gusti Allah Swt mboten sare, ngono ya ngono ning ojo ngono, ini cara bisnis saya….”
Sesungguhnya saya ingin mengatakan bahwa Kafe Basabasi dengan segala karakter dan atmosfir yang dibangunnya selama ini sehat sebagai wahana bersenang-senang (pergaulan, spot berkegiatan, hingga mengasah cakrawala literasi kita) dan sekaligus bisnis.
Betul bahwa beragam kegiatan yang saya helat membutuhkan support dana yang tak kecil. Anda bisa membayangkan sendiri berapa budget yang diperlukan untuk mengundang seorang tokoh dari Jakarta, misal.
Tapi, ungkap kaum bijak bestari, “Cinta selalu menemukan jalannya”. Betul, “cara mengada” yang saya tuturkan di atas selalu mampu mengatasi tantangan-tantangan tersebut. Dan, faktanya, ini pun disumbangkan oleh realitas bisnis kafe itu sendiri.
Sebagai bisnis, kafe ini berjalan bagus. Selain karena faktor ingin menjangkau lebih luas spot-spot hidup generasi milenial cum kelompok mahasiswa sehingga rangkaian acara kami tersebar ke banyak individu, faktor bisnis pun menjadi bagiannya. Pola “Satu Realitas dalam banyak realitas; banyak realitas dalam satu realitas”, dalam ungkapan Syekah Ibnu ‘Arabi, saya serap ke dalam bisnis kafe ini.
Tujuan strategis literasi itu adalah satu realitas yang menjiwai Kafe Basabasi dalam banyak gerainya. Walhasil, kepada semua gerai kafe saya terapkan prinsip “satu kantong” (satu manajemen), dan dari satu kantong itulah aspek budget tadi alhamdulillah terselesaikan.
Sebagai bisnis, ia menyenangkan; sebagai kesenangan, ia bisnis. Maka, kejadian-kejadian unik terkait perilaku anak-anak mahasiswa milenial macam tuturan saya di bagian awal itu sama sekali bukan persoalan. Biarlah ia selalu menjadi “ilham dari-Nya”, toh Gusti Allah mboten sare.
Mohon doa panjenengan semua, ya, semoga Kafe Basabasi di tahun depan mulai bisa membuka gerai di luar Jogja. Rencananya akan dimulai dari kota terdekat, yakni Solo. Bismillah….