Keinginan setan adalah agar manusia senantiasa tidak berpikir dengan selalu hidup bersenang-senang. Dengan menjalani kehidupan yang penuh kesenangan seketika akan membawa manusia untuk malas mencari tahu tentang siapa Tuhannya.
Inilah yang menjadi sebab utama munculnya paham nihilism, atheism yang sepertinya sangat kritis dan selalu mengedepankan logika dalam pola pikirnya kendatipun tak pernah menemukan bukti tentang keberadaan Tuhan.
Tujuan utama mengaji adalah mengenalkan seseorang terhadap Allah (Tuhan) dengan akal sehat. Kekeliruan yang kerap dilakukan para ulama adalah memulai dengan mengenalkan sebutan Allah tanpa memberi pemahaman logis tentang esensi Tuhan yang dapat diterima oleh mereka.
KH. Bahauddin Nur Salim atau yang seringkali hanya dikenal dengan sebutan Gus Baha’ dalam suatu pengajian mengatakan bahwa, “Dalam ilmu mantiq yang diajarkan di pondok-pondok pesantren tidak pernah menyebutkan Allah, yang disebutkan adalah bahwa alam ini makhluq (ciptaan), dan setiap makhluk memerlukan Kholik (pencipta) untuk dapat menjadi ada. Alam ini adalah sebuah akibat, dan sebagai akibat akan selalu butuh sebab.”
Lalu Gus Baha’ menjelaskan bahwa ‘Sebab’ ini kita sebut musabibul asbab. Artinya sebuah ‘Sebab’ harus ada sebelum yang disebabi atau ‘Akibat’ itu sendiri ada.
“Wujud yang sekarang kita kenal ini membutuhkan penyebab atau yang kita kenal sebagai Wajibil Wujud atau wujud superior. Semua itu oleh Islam disebut dengan nama Allah”, papar kiai penekun tasawuf ini lebih lanjut.
Akal manusia hanya sampai pada rumusan bahwa alam ini butuh penyebab, yang oleh Einsten dan pemikir-pemikir modern dikenal dengan ‘Causa Prima’.
Maka menurut santri kesayangan Mbah Moen Sarang ini ilmu mantiq ala pesantren sangat penting agar kita tidak sering keliru dalam merekonstruksi bangunan tauhid dalam logika yang menjadi landasan penting dalam mengenal Allah melalui sifat-sifatnya.
Artikel ini pertama kali dimuat di aswajadewata.com