Sedang Membaca
Superioritas Suguhan Hajatan
Daviatul Umam
Penulis Kolom

Penulis kelahiran Sumenep, Madura. Alumni Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa, Guluk-guluk, Sumenep. Kini tinggal dan bekerja di Yogyakarta.

Superioritas Suguhan Hajatan

Fb Img 1644372352532

Sebagai rakyat media sosial, mungkin di antara kita ada yang pernah bahkan kerap menemukan video sebuah acara hajatan, di mana di hadapan para tamu undangan tersuguh berkat yang tampak sangat tak wajar, ataupun video-video lain semacam itu. Saya sendiri pernah melihat sepotong video yang kebetulan lewat di linimasa facebook. Tangkapan kamera itu menayangkan kerumunan orang yang baru saja bergegas dari halaman rumah (shahibul hajah). Masing-masing menenteng kantong plastik bermuatan cukup besar dan memanggul satu karton air mineral.

Tentu saja postingan ganjil seperti itu menuai banyak komentar. Dan seperti biasa, timbul pandangan pro-kontra. Sementara jari saya tidak tergerak untuk ikut nimbrung. Malah saya tidak tahu, apakah harus berdecak kagum atau justru sebaliknya. Saya hanya sempat tercengang sejenak, lantaran merasa geli mendapati sebagian orang dalam video itu, terlihat kerepotan membawa beban rezekinya.

Pernah pula saya menjumpai video suguhan acara Maulid di luar kelaziman. Berjajar bingkisan aneka makanan dan buah-buahan dalam jumlah yang tak sedikit, dilengkapi selembar uang lima puluh ribuan. Tetapi saya tidak begitu terheran-heran. Sebab, di desa saya sendiri, tak jarang saya menghadiri undangan Maulid maupun kenduri arwah yang hidangan serta berkatnya seolah-olah menyamai pesta pora. Baru-baru ini, juga ada tetangga sebelah yang mengeluarkan berkat berisi uang lima puluh ribuan.

Baca juga:  Paradigma Ekonomi Alternatif "Kawruh Beja" di Tengah Pagebluk

Terselamatkannya kondisi ekonomi sebagian besar masyarakat kepulauan Poteran, Sumenep, dengan model usaha baru yang kian cemerlang, sedikit-banyak telah mempengaruhi pola pikirnya. Salah satunya terkait bagaimana cara menghormati tamu hajatan. Terbukti dalam kurun waktu empat tahun terakhir, kurang-lebih, konsep yang sudah lumrah dalam hal menjamu para tamu ditarik ke tingkat yang lebih istimewa.

Menurut cerita saudara tiri saya yang beberapa bulan lalu mengadakan kenduri nyaebu (Madura), konon biaya yang dihabiskannya mencapai sekitar 15 juta. Itupun masih terbilang normal, lumrah. Apalagi tetangga-tetangga yang sebelumnya pernah menggelar acara sejenis dengan jumlah tamu undangan yang jauh lebih banyak dan meriah.

Berkat yang semula cuma dikemas dengan bak plastik mini, kini sudah diganti dengan bermacam wadah yang lebih unik dan nyentrik. Seperti ember, periuk, dan termos nasi. Bisa dibayangkan, butuh biaya berapa untuk membeli wadahnya saja dengan undangan yang secara umum lebih dari seratus orang. Ditambah lagi masakan lauk-pauk yang semakin spesial. Minumannya pun meningkat drastis, dari secangkir kopi seduh dan segelas air mineral, beralih ke minuman botolan/kalengan seharga lima-enam ribuan beserta satu botol air mineral 600 ml.

Tidak cukup di situ. Bahan mentah berupa beras kemasan 3-5 kiloan seakan menjadi kewajiban sebagai pelengkap berkat. Mulanya ini dirintis oleh orang yang memang sangat mampu melakukannya, lalu orang itu dijadikan ‘imam’ oleh mereka yang tak mau kalah saing, bahkan terpaksa harus menjadi ‘kiblat’ bagi kalangan yang nekat memampu-mampukan diri. Toh pada kenyataannya, sering kali saya mendengar keluhan tetangga tatkala kenduri arwah keluarganya sudah di depan mata.

Baca juga:  Omelan Beras

Memang, hal demikian dapat menopang kebutuhan sehari-hari kaum papa di satu sisi. Namun, di sisi lain tentu merupakan beban sosial yang mau tak mau mereka pasti dapat giliran membudi-dayakannya. Semacam tengka (Madura) yang sudah menjadi tuntutan. Nyaris mustahil rasanya kalau ingin memalingkan muka dan bersikap bodo amat. Mereka akan merasa sangat malu sekaligus minder jika mencoba menyimpang dari apa yang sudah telanjur kaprah. Lebih dari itu, mereka tidak siap menerima berbagai cemoohan.

Lantas, jika Islam tidak memberatkan pemeluknya dalam beribadah, mengapa warga NU harus memberat-beratkan diri dengan tradisinya sendiri? Bagi yang ber-uang, barangkali tak jadi soal. Bahkan bisa jadi kepuasan dan kebanggaan tersendiri. Tapi bagaimana dengan mereka yang hidupnya pas-pasan atau tidak berkecukupan? Maka dari itu, demi kebaikan bersama, mungkin perlu adanya musyawarah antara tokoh agama, tokoh masyarakat, serta warga setempat, untuk mencari titik kesepakatan yang benderang.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top