Sedang Membaca
Ludruk, Tetap Lestari di Tengah Kepungan Modernisasi
Daviatul Umam
Penulis Kolom

Penulis kelahiran Sumenep, Madura. Alumni Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa, Guluk-guluk, Sumenep. Kini tinggal dan bekerja di Yogyakarta.

Ludruk, Tetap Lestari di Tengah Kepungan Modernisasi

kesenian ludruk

Dari sekian banyak seni tradisional yang ada di Madura, ludruk adalah kesenian lokal yang paling saya suka. Ketertarikan ini bahkan sudah saya rasakan sejak kecil. Bagaimana tidak, setiap ada pagelaran ludruk di wilayah kepulauan di mana saya tinggal, keluarga saya pasti nonton. Ya, orang tua saya penggemar berat ludruk. Itu sebabnya saya selalu dibawa nonton sehingga saya ketularan candu. Lambat-laun, kesenian ini kian mendarah-daging dalam diri saya sampai sekarang.

Seni ludruk tampaknya memang menjadi primadona masyarakat Madura—khususnya Sumenep—selain seni tayub. Dua panggung kreasi ini bisa dibilang lebih unggul derajatnya dibanding kesenian yang lain. Secara spesifik, ludruk lumrahnya diundang dalam rangka memeriahkan hari pesta pertunangan/pernikahan dan petik laut. Namun, belakangan ada juga hajatan lain yang dirayakan dengan menghadirkan ludruk sebagai bentuk kebahagiaan dan rasa syukur. Seperti ulang tahun buah hati, tim kasti, mobil travel, dll.

Karena ludruk merupakan seni pertunjukan sandiwara, sebagaimana umumnya, para anggotanya menyandang tugas sebagai sutradara, aktor, penata properti panggung, penata busana, penata cahaya, penabuh gamelan, dlsb. Khusus ludruk versi Madura, kendati semua anggota itu cuma terdiri dari laki-laki, sebagian dari mereka berperan sebagai penari dan aktor perempuan. Didukung dengan busana dan tata rias yang apik—penampilan, gerak-gerik, tarian bahkan suara aktor yang seolah-olah aktris ini sangat menyamai wanita tulen.

Baca juga:  Seni Musik Perspektif Al-Farabi (1): Kombinasi Akal dan Pendengaran

Yang membuat saya wajib berbangga diri, Sumenep menjadi gudangnya kesenian rakyat Jawa Timur ini. Setidaknya ada empat grup ketoprak di kota kelahiran saya itu di bawah pimpinan empat orang yang berbeda. Di antaranya ketoprak Rukun Famili, Rukun Karya, Rukun Kemala, dan Cahaya Family. Saat manggung, keempatnya menggunakan bahasa yang sama: Madura. Baik manggung di Pulau Madura sendiri maupun di daerah Tapal Kuda.

Sesi penampilannya pun sama. Dibuka dengan tari-tarian, lalu dilanjutkan segmen dagelan, kemudian drama folklor Nusantara atau babad kerajaan masa lampau sebagai penampilan inti sekaligus penutup. Di segmen drama inilah fungsi bunyi gamelan lebih dominan. Karena aktor, terlebih aktor utama, punya tendensi menembang dengan berbagai macam gending sesuai ekspresi peran yang diperagakannya.

Ada pula ketoprak Rukun Perawas yang menerapkan aliran liyan yang cukup unik. Tidak ada sesi tari-tarian dan lawakan dalam penampilan grup kesenian Sumekar yang satu ini. Melainkan langsung ke acara pertunjukan sandiwara, di mana para pemerannya mengenakan topeng dengan berbagai karakter. Mereka ‘hanya’ dituntut tampil lihai memperagakan gerak-gerik penokohan dengan menyelaraskan apa yang dibicarakan sang dalang sepanjang alur cerita. Inilah yang membuat ketoprak tersebut mirip seni wayang. Sang sutradara pun menyebutnya Wayang Topeng dalam prolognya. Kalau boleh menambahkan, saya akan menyebutnya ludruk rasa wayang.

Baca juga:  Kesamaan Gus Dur dan Al Ma'ari: Mata Terganggu dan Kritis pada Ortodoksi Agama

Tidak hanya menyuguhkan gerakan serta bunyi-bunyian indah belaka. Sebagaimana kata ‘seni’ dan ‘budaya’ yang tak dapat terpisahkan, ludruk tampak sangat memperhatikan warisan budaya yang menjadi kekayaan kultural masyarakat. Dalam segmen tari-tarian, misalnya, tari Muang Sangkal yang merupakan tari tradisional Madura untuk menolak bala, masih terus dilanggengkan oleh para penari ludruk. Contoh lain, tradisi pantun juga melekat dan terus dikembangkan dalam cerita ludruk, utamanya dalam (berbalas) tembang.

Selain itu, lawakan dan sandiwara ludruk selalu berupaya memberi pelajaran atau hikmah kepada penontonnya. Di sini ludruk hadir tidak semata hiburan. Tetapi—mengutip parafrasa usang—ia hadir sebagai tontonan sekaligus tuntunan. Tak sedikit bahkan, sepenggal ungkapan tertentu yang pernah diucapkan seorang pelawak/aktor ludruk dijadikan pemeo oleh masyarakat dalam percakapan sehari-hari, yang demikian punya makna atau menimbulkan pengaruh tersendiri.

Terlepas dari pergeseran bobot ludruk mutakhir, saya tetap senang nonton dan patut berbesar hati sebab sampai kini ludruk masih lestari. Itu artinya, ia mampu bertarung dengan kemajuan teknologi yang mengepungnya. Sebut saja aplikasi YouTube yang menyediakan segala jenis tontonan/hiburan dengan praktis, dan masih banyak aplikasi lain yang serupa, rupanya tak bisa mengerdilkan nyali ludruk yang terus berkobar, tetap percaya diri mengikuti perkembangan zaman.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top