Sudah beredar sangat luas, baik melalui banyak media dalam bentuk tulisan ataupun audio-video cerita tentang Syaikhona Kholil Bangkalan yang pernah mewariskan semacam simbol – simbol yang diwujudkan dalam bentuk barang kepada empat santri terpilihnya.
Satu santri diwarisi pisang emas, dua santri yang lain diwarisi kitab, dan satu santri yang lain lagi diwarisi cincin. Keempat santri beliau tersebut di kemudian hari menjadi cikal-bakal dari kemunculan organisasi dan tokoh-tokoh yang berpengaruh di negeri ini.
Saya tidak memberitahukan nama. Karena pada tulisan ini saya ingin berfokus mencoba “merenungi”, mencari manfaat dari simbol-simbol tersebut khususnya pada tataran nilai.
Ada seorang tokoh yang mengatakan bahwa simbol-simbol tersebut adalah kunci-kunci sejarah negeri ini. Yang bisa jadi solusi atas permasalahan bangsa dan negara yang sedang dialami negeri ini. Dalam hal ini saya tidak bisa berbicara lebih mengingat saya tidak punya hak apa-apa untuk hal tersebut. Juga minimnya pengetahuan sejarah otentik tentang hal tersebut. Terlepas dari itu saya kira kita bisa mengambil maknanya demi kemanfaat untuk peningkatan kualitas hidup kita masing-masing.
Pisang emas adalah simbol dari nafkah jasmani. Kalau menggunakan bahasa modern bisa kita sebut sebagai simbol ekonomi. Kitab adalah simbol ilmu. Dan cincin adalah simbol cinta.
Saya kira jika diurutkan simbol – simbol tersebut bisa menjadi semacam lapisan – lapisan nilai yang susunannya sebagaimana yang berlaku pada buah. Atau bisa juga disusun menjadi semacam hierarki dari yang terrendah sampai tertinggi.
Kalau secara lapisan, pisang emas yang menyimbolkan ekonomi adalah kulit terluarnya. Kitab adalah lapisan di dalam kulit. Dan cincin adalah lapisan inti.
Kalau menggunakan hierarki. Pisang emas yang menyimbolkan ekonomi berada di paling bawah. Kitab yang merupakan simbol ilmu berada di atasnya. Dan paling puncak adalah cincin yang merupakan simbol cinta.
Apapun cara pandang yang dipakai saya kira yang juga perlu digarisbawahi adalah ketiga hal tersebut tidak bisa dipisahkan. Ekonomi sebagai kebutuhan dasar terutama untuk memenuhi kebutuhan fisik dalam rangka mempertahankan kehidupan tidak bisa lepas dari ilmu dan cinta.
Bisa kita lihat, kalau prinsip ekonomi satu-satunya yang kita pakai sebagaimana zaman modern sekarang-sekarang ini kehidupan tidak akan berlangsung dengan baik-baik saja. Banyak terjai ketimpangan, ketidakseimbangan sosial. Cara berpikirnya menjai sebatas untung-rugi. Tidak masalah mengorbankan kemanusiaan yang terpenting adalah mendapatkan keuntungan.
Maka ekonomi harus dibimbing dengan ilmu. Dan ternyata itu juga belum cukup. Kita lihat, kepandaian di zaman modern seringkali berbanding lurus dengan serakah, arogan, merasa paling benar, merasa derjatnya lebih tinggi dibanding yang lain.
Oleh karenanya kedua hal tersebut harus dibimbing oleh cinta. Cinta membimbing manusia menjadi bijaksana dalam menjari nafkah jasmani dan mempergunakan ilmu. Dengan seperti itu semakin pandai seseorang semakin bijaksana hidupnya, beradab, mencintai manusia dan kemanusiaan.
Referensi dalam hal ini bisa kita lihat langsung dalam sejarah hidup Nabi Muhammad. Nabi Muhammad yang oleh Sayyidina Ali dijuluki sebagai “Madinatul Ilmi”, kotanya ilmu tak pernah arogan. Diludahi tak pernah dibalas dengan meludahi. Ketika si peludah sakit, Nabi Muhammad orang yang selalu diludahinya menjadi yang pertama kali menjenguknya.
Ketika diejek pengemis tua yang tuna netra beliau juga tidak lantas marah dan menghardiknya. Beliau memutuskan untuk bersikap yang saya sangat jarang diambil oleh kebanyakan manusia, memuliakan pi pengemis dengan cara memberikan kurma dengan cara menyuapkannya setiap pagi.
Ketiga simbol berupa pisang emas, kitab dan cincin bisa kita jadikan sebagai prinsip hidup yang terimplementasi dalam kehidupan.
Puncak dari ketiga simbol itu adalah cinta, tanpa menafikan ilmu dan ekonomi. Itulah hal yang kini hilang. Entah ketelingsut di pojok-pojok zaman atau sebenarnya berada di depan mata, namun kita enggan untuk mengaisnya. Itu harus segera dicari. Apalagi yang bisa diharapkan dari zaman yang darurat cinta semacam ini?