Dani Ismantoko
Penulis Kolom

Guru dan tinggal di Panjangrejo, Pundong, Bantul.

Tuhan dan Klise

Tuhan dan Hal – Hal yang Tak Selesai – Buku Karya Goenawan Mohammad

Ketika GM (Goenawan Mohammad) membuat judul tersebut, sudah berapa kali kata Tuhan disebut dan ditulis oleh manusia? Ketika saya menulis ulang judul buku GM tersebut, sudah berapa kali kata Tuhan disebut dan ditulis oleh manusia?

Jawaban paling mudah dan nampaknya bisa dipertanggungjawabkan adalah tak terhingga.

Kecenderungan sebuah kata ketika terlalu sering disebut dan ditulis adalah terdengar membosankan dan selanjutnya menjadi klise. Apakah itu terjadi dengan kata Tuhan ?

Manusia, bisa saja tidak menyebutkan dan menuliskan kata Tuhan sama sekali di dalam hidupnya. Tetapi, hal tersebut tidak akan menghilangkan kecenderungan utama manusia untuk bertuhan.

Bertuhan tidak pasti sesuai dengan agama baku yang di dalamnya ada tata cara tertentu. Kita berharap secara penuh, melebihi apa pun, kepada sosok, atau sesuatu sudah bisa dikatakan bertuhan. Apakah itu bertuhan kepada tuhan yang sejati atau bukan itu urusan lain.

Kecenderungan yang lain dari manusia adalah setelah bertuhan kepada siapa pun, atau apa pun manusia ingin mencari sesuatu yang sejati. Kesejatian menimbulkan keinginan untuk melakukan sesuatu yang  berakibat jangka panjang atau kekal, bukan jangka pendek atau sementara.

Maka dalam dunia menulis kreatif, khususnya fiksi tidak jarang muncul ide yang berkaitan dengan hidup abadi. Biasanya supaya menarik, ada proses di mana tokoh cerita mencari barang tertentu yang bisa menimbulkan efek hidup abadi. Misalnya, meminum ramuan tertentu, atau memiliki benda – benda tertentu, atau menguasai ilmu – ilmu tertentu.

Baca juga:  Kisah-kisah Hikmah (5): Seorang Pencuri dan Nelayan

Di dalam proses dari akibat kecenderungan untuk bertuhan dan mencari sesuatu yang sejati ada suatu keadaan di mana manusia ingin menuangkan apa yang sedang terjadi padanya. Pada keadaan inilah muncul berbagai ekpresi dan kreasi. Dalam kebahasaan salah satunya muncul kata Tuhan.

Pada setiap zaman, setiap bahasa mempunyai penyebutannya sendiri, namun substansinya sama.

Di dalam proses-proses tersebut ada berbagai jenis rasa. Sedih, gelisah, bahagia, tenang. Sedih dan gelisah memantik keinginan untuk mencari yang sejati. Bahagia, tenang memelihara hati dan pikiran supaya tidak rusak karena kesedihan dan kegelisahan.

Puncaknya adalah pencerahan. Seseorang mencapai titik spiritualitas tertentu yang biasanya berpengaruh, bukan hanya kepada dirinya pada saat itu, tetapi juga kepada orang lain dan terkadang tidak lapuk di makan zaman.

Misalnya saja, Nabi Muhammad Saw. Terlepas bahwa beliau sudah digariskan menjadi Nabi, takdirnya tertulis di lauhul mahfud, pencerahan terjadi ketika surat al-Alaq 1-5 turun. Setelah beliau mencari, melalui proses panjang —beliau disebut mulai berkhalwat (berkontemplasi) di Gua Hira’ setiap bulan Ramadan, selama satu bulan penuh, dari usia 25 sampai 40 tahun— pencerahan pun tercapai.

Pada proses tersebut, selain melakukan pencarian melalui proses khalwat, beliau juga sudah menunjukkan perilaku sosial yang positif. Bahkan jauh sebelum beliau melakukan proses khalwat itu, seperti dedikasi dan integritasnya dalam berdagang yang jarang dimiliki oleh pedagang lain pada masa itu. Selain itu juga kebijaksanaannya dalam memutuskan siapa yang berhak meletakkan hajar aswad (batu hitam di satu sudut Kabah) di tempatnya. Hal-hal semcam itu juga terjadi pada orang lain yang mencapai titik spiritualitas tertentu seperti Sidharta Gautama, Isa Binti Maryam atau Nabi Isa As, dan Wali Songo.

Baca juga:  Kisah Hikmah Klasik (23): Taubatnya Ibrahim Al-Harawi di Tangan Abu Yazid Al-Busthami

Bukan berarti selain orang-orang tersebut tidak ada yang mencapai titik spiritual tertentu, atau mungkin dianggap tidak ada dinamika spiritual yang dialami oleh orang tersebut. Setiap manusia mengalami dinamika spiritualnya masing – masing. Dan itu unik. Sehingga tidak bisa diperbandingkan satu sama lain. Walaupun dengan penuh kerendahan hati kita harus mengakui bahwa ada orang – orang tertetentu selain kita yang mencapai titik spiritual tertentu.

Saya pernah mendengar dari seorang penceramah, kalau ada orang sudah tidak bisa merasa bersalah berarti iblis telah berhasil melaksanakan tugasnya secara baik kepada orang tersebut.

Selama sedih, gelisah, merasa bersalah masih ada, manusia akan terus mengalami dinamika spiritual yang bermacam-macam. Sesekali membawanya kepada bahagia, tenang. Oleh karenanya, bisa jadi kata Tuhan tidak akan pernah membosankan apalagi klise walaupun sudah disebut dan ditulis, dan akan terus disebut dan ditulis dalam jumlah yang tak terhingga.

Kecuali, revolusi industri 100,0 telah datang dan manusia telah punah, sehingga khalifah di bumi digantikan dengan robot-robot? Wallahu a’lam bissawab….

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top