Nabi Adam dilempar ke Bumi karena mendekati sebuah pohon, kemudian memakan buahnya, yang semua itu sebelumnya sudah dilarang oleh Allah. Secara tegas Allah melarang, “Jangan dekati pohon ini !”. Mendekati saja tidak boleh apalagi memakan buahnya.
Kira-kira seperti itu maksud dari, “Jangan dekati pohon ini !” Buah yang dimakan oleh beliau kini banyak disebut sebagai buah Khuldi.
Iblis menyamar menjadi Malaikat. Mengganti baju keiblisannya dengan baju yang kelihatannya malaikat. Kakek, atau orang Jawa bilang si Mba Adam yang jam terbang hidupnya masih sangat rendah tertipu Iblis yang jam terbang kehidupannya sudah begitu tinggi.
Cerita tersebut sangat populer. Bukan hanya di kalangan umat Islam. Tetapi seluruh agama yang peletakan dasar kokohnya dimulai sejak zaman Simbah Ibrahim. Atau yang kita kenal sebagai agama Ibrahamik. Yahudi, Nasrani (Kristen dan Katholik), Islam. Itu menandakan bahwa cerita tersebut bisa dikatakan legitimate bagi banyak kalangan.
Terlepas bahwa cerita tersebut lebih sering menjadi sekadar dongeng di pengajian-pengajian, TKA-TPA, makna yang tersimpan cerita tersebut bisa dikatakan adalah prinsip dasar dari taqwa.
Secara umum, dalam khutbah Jum’at atau pelajaran agama Islam di pendidikan formal takwa diartikan sebagai menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Jika kita cari kata yang bisa mewakili hal tersebut agaknya waspada dapat dijadikan pilihan yang cukup tepat.
Kalau kita waspada terhadap apa pun saja, baik keburukan atau pun kebaikan, kita bisa benar-benar menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ketika kita akan menjalankan perintah-Nya, entah itu berupa ritual ibadah atau tindakan sosial tertentu yang positif banyak sekali hambatan.
Hambatan paling utama adalah di dalam diri kita. Rasa malas, rasa takut akan rugi dalam banyak sisi. Untuk menjauhi larangan-Nya pun banyak sekali hambatan, salah satunya kebingungan, karena terkadang hal buruk membuat hidup terasa nikmat. Untuk mencapai titik bijaksana dalam relativitas menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya diperlukan sikap waspada.
Dalam Surat al-Baqarah 35 dijelaskan,
“Kami berfirman: tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga dan makanlah dengan nikmat yang ada di sana sesukamu. Janganlah kamu mendekati pohon ini nanti kamu termasuk orang yang zalim.”
Di bagian akhir ayat dijelaskan bahwa akibat dari memakan buah (Khuldi) tersebut adalah menjadi zalim.
Secara umum, zalim ada dua macam. Zalim kepada diri sendiri dan zalim kepada selain diri sendiri. Sebenarnya dua hal tersebut saling berkaitan, zalim kepada diri sendiri bisa merugikan kepada selain diri sendiri, zalim kepada orang lain bisa merugikan diri sendiri.
Bentuknya bisa bermacam-macam. Bagi diri sendiri bisa berbentuk kerugian-kerugian yang membuat hati merasa kecewa, gelisah. Bagi orang lain bisa berbentuk mempersulit orang lain untuk melakukan kebaikan.
Sebenarnya tidak perlu legitimasi Allah melalui kitab suci, dengan common sense saja kita tahu bahwa zalim selalu merugikan. Baik skala kecil atau pun besar.
Sejarah telah menunjukkan bahwa tidak ada satu pun kezaliman mampu bertahan. Biasanya zalim dilaksanakan karena ada kepentingan di baliknya. Misalnya saja Namrud, Fir’aun, Hitler atau yang tidak terlalu jauh Orba. Kezaliman secara umum digunakan untuk mempertahankan kekuasaan.
Mungkin, tujuan utamanya adalah memproklamirkan diri supaya dianggap setara dengan Tuhan. Dari semua sejarah kezaliman, saya kira yang paling gentle adalah Fir’aun. Dia secara tegas mengaku ‘Akulah Tuhan’. Kelihatannya Allah menghormati kegentleannya dengan cara menceritakan banyak tentang Fir’aun di dalam kitab suci.
Ketika Nabi Adam menjalani hidup di awal kehidupan buah Khuldi masih sangat sedikit jumlahnya. Hanya yang berada di pohon yang tidak boleh didekati. Seiring berjalannya waktu, seiring terciptanya sejarah-sejarah yang begitu lama, yang di dalamnya terdapat begitu banyak permasalahan, jumlah pohon yang tidak boleh didekati itu semakin banyak.
Mungkin ketika Nabi Adam memakan buah Khuldi bijinya ikut termakan. Keluar bersama kotoran dan tumbuh di suatu tempat dan lama kelamaan bertambah banyak.
Oleh karenanya buahnya juga semakin banyak. Sampai sekarang bisa dikatakan jumlahnya tak terhingga. Karena tak terhingga ia serupa dengan setan yang bisa mengikuti manusia di mana saja. Bahkan, setiap saat di dalam genggaman manusia ada buah Khuldi yang jumlahnya pun tak terhingga.
Agaknya, itulah mengapa salah satu hal yang wajib disampaikan dalam khutbah Jum’at adalah wasiat taqwa. Wallahua’alam.