Christian Saputro
Penulis Kolom

Nama lengkapnya Christian Heru Cahyo Saputro. Mantan Kontributor indochinatown.com, Penggiat Heritage di Jung Foundation Lampung Heritage dan Pan Sumatera Network (Pansumnet)

Hikayat Bedug, dari Cheng Ho hingga Jadi Ikon Budaya Islam Nusantara

Bedug di Indonesia dikenal dan dikaitkan dengan media panggil peribatan umat Islam. Bahkan bedug di Indonesia merupakan salah satu ikon, penanda atau salah ciri khas Islam di Indonesia. Bedug bisa dijadikan sebagai penanda waktu sholat lima waktu, buka puasa dan kemeriahan hari raya.

Tetapi kalau disigi dari sejarahnya konon bedug berasal dari budaya negeri tirai bambu alias negeri China. Konon bedug masuk ke Nusantara pada masa ekspedisi Cheng Ho abad ke-15. Faktanya, hingga kini di Klenteng atau Vihara juga ada bedug penanda dalam ritual peribadatan.

Laksamana Cheng Ho dari kekaisaran Ming yang menganut agama Islam –sebagai muslim– dia menginginakan suara bedug menggema di masjid-masjid seperti di kuil-kuil Budha di China.

Hal ini diperkuat dengan pendapat, kalau bedug berasala dari tradisi drum di China yang menyebar ke Asia Timur, kemudian masuk ke Nusantara. Kendati demikian, pengaruh China pun tidak bisa dinafikan.

Ditilik dari sisi konstruksi, teknik pemasangan tali atau pasak untuk merekatkan selaput getar ke resonator pada bedug Jawa, mirip pada cara yang digunakan pada bedug di Asia Timur seperti Jepang, China, atau Korea.

Fakta lain yang ditemukan pada penampilan arca Terakota yang ditemukan di situs Trowulan. Arca-arca prajurit berwajah Mongoloid itu tampak menabuh tabang-tabang, sejenis genderang yang terpengaruh budaya Timur Tengah. Kemungkinannya itulah instrumen musik yang dimainkan orang-orang China muslim di ibukota Majapahit.

Bedug di klenteng (foto: penulis)

Menariknya, tabang-tabang sebenarnya merupakan instrumen musik yang sudah ada sejak masa Hindu-Budha. Di dalamnya ada pengaruh kuat dari India dan budaya Semit beragama Islam. Namun diperkenalkan dan dimainkan oleh masyarakat China muslim.

Jadi bisa disimpulkan, bedug merupakan contoh perwujudan akulturasi budaya waditra (instrumen musik membrafon), di mana secara fisiografis terjadi perpaduan antara waditra membrafon etnik Nusantara dengan wadistra sejenis dari luar seperti India, Cina, dan Timur Tengah.

Baca juga:  Sastra Piwulang Menyoal Belajar Sepanjang Hayat

Berdasarkan studi yang dilakukan arkeolog Universitas Negeri Malang Drs M Dwi Cahyono bersama tim Sampoerna Hijau, pada masa pra sejarah, penduduk nusantara sudah mengenal moko dannekara, sejenis gendering dari perunggu. Pemakainnya berkaitan dengan religi minta hujan.

Hal ini diperkuat dalam kidung Mlat yang konon ditulis pada zaman Majapahit sekira 14-16 Masehi kata bedug juga disebut-sebut. Dalam Kidung Malat sendiri instrument music membrafone ini dibedakan antara teg-teg alias bedug besar dan bedug ukuran biasa.

Alat Komunikasi dan Penanda Waktu
Dalam bukunya D’eerste Boek Cornelis De Houtman mencatat dan menjadi saksi keberadaan bedug yang sudah meluas sejak abd ke-16. Ketika ekspedisinya memasuki Banten Houtman mengisahkan di tiap perempatan jalan ditemukan gendering yang digantung dan ditabuh dengan tongkat pemukul yang disediakan. Sedangkan fungsinya sebagai tanda bahaya dan penanda waktu. Kesaksian ini jelas menunjuk pada bedug.

Bedug memang pada masa itu juga berfungsi sebagai alat komunikasi dan penanda waktu seperti perang, bencana alam, atau hal mendesak lainnya. Dibunyikan pula untuk menandai tibanya waktu.

Maka ada istilah dalam bahasa Jawa: wis wanci keteg. Yang berarti ”sudah waktu siang” yang diambil dari waktu saat tegteg dibunyikan. Dalam perkembangannya bedug juga memiliki fungsi sosial sebagai alat penanda kegiatan masyarakat, mulai dari ibadah, petanda bahaya, hingga petanda berkumpulnya sebuah komuntas.

Selain itu juga bedug juga punya fungsi estetika dalam pengembangan dunia kreatif, konsep, dan budaya material musikal.

Foto: Penulis)

Perkembangan Bedug
Eksistensi bedug makin kokoh, karena penggunaan bedug dan kentongan dikukuhkan pada Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin, Kalimanatan Selatan tahun 1936. Pemakaian kedua alat ini sangat diperlukan di masjid-masjid untuk memperbesar syiar Islam. Dengan adanya keputusan itu serangan Islam modernis bisa dieliminir, dan tradisi pemakaian beduk terus dipertahankan.

Tetapi pada perkembangannya para era orde baru ketika organiasi Nahdatul Ulama (NU) ditekan. Sementara Islam modernis mulai mendapat tempat, maka terjadi gerakan “debedukisasi” sehingga banyak beduk-beduk bersejarah yang hilang dan sebagian besar digudangkan.

Baca juga:  Silang Pendapat Bentuk Negara di Era Bung Karno

Kemudian dikembangkan program speakerisasi, sehingga hampir tiap masjid yang sudah dihilangkan beduknya diganti dengan pemasangan speaker di menara atau di kubahnya. Hanya dilingkungan masjid NU dan kelompok Islam bermazhab seperti Perti, Al Washliyah, Mathlaul Anwar dan sebagainya, atau mesjid yang belum diambil oleh kelompok Islam modernis tetap memakai bedug. Hal itu menjadi pembeda masjid yang dikelola oleh Islam bermazhab dengan Islam modernis.

Seni Permainan Bedug:

Seni Ngadulag

Seni Ngadulag berasal dari daerah Jawa Barat. Pada dasarnya, bedug memiliki fungsi yang sama seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun, tabuhan bedug di tiap-tiap daerah memiliki perbedaan dengan daerah lainnya, sehingga menjadikannya khas. Sehingga lahirlah sebuah istilah “Ngadulag” yang menunjuk pada sebuah keterampilan menabuh bedug.

Kini keterampilan menabuh bedug telah menjadi bentuk seni yang mandiri yaitu seni Ngadulag (permainan bedug). Di daerah Bojonglopang, Sukabumi, seni ngadulag telah menjadi sebuah kompetisi untuk mendapatkan penabuh bedug terbaik.

Kompetisi terbagi menjadi dua kategori, yaitu keindahan dan ketahanan. Keindahan mengutamakan irama dan ritme tabuhan bedug, sedangkan ketahanan mengutamakan daya tahan menabuh atau seberapa lama kekuatan menabuh bedug. Kompetisi ini diikuti oleh laki-laki dan perempuan.

Dari permainan inilah seni menabuh bedug mengalami perkembangan. Dahulu, peralatan seni menabuh bedug hanya terdiri dari bedug, kohkol, dan terompet. Tapi kini peralatannya pun mengalami perkembangan. Selain yang telah disebutkan di atas, menabuh bedug kini juga dilengkapi dengan alat-alat musik seperti gitar, keyboard, dan simbal.

Seni Rampak Bedug
Rampak Beduk merupakan sajian instrumen berupa perkusi, yang ditingkahi suara bedug berbagai ukuran. Ada empat bedug diikat kain merah biru, yang dipukul oleh pemain yang berdiri di tengah. Di pinggirannya, kelompok musik menimpali dengan bedug berbagai ukuran. Sesekali suara terdengar dari mulut para pemainnya, mirip suara musik tiup.

Baca juga:  Film dan Biografi

Namun, tak ada sajian instrumen tiup. Yang terdengar, suara harmonis antara bedug dan para vokalis tradisi saling menyahut. Seni Rampak Bedug berawal dari kebiasaan penduduk berkeliling kampung sambil memukul bedug kala sahur di bulan puasa.

Yang kemudian dijadikan ajang untuk beradu keras memukul bedug. Alhasil terjadilah pertemuan antar mereka, saling beradu kekuatan bedug. Tari Rampak Beduk Banten dimainkan oleh secara masal. Sekilas, gerakannya mirip tarian dari daerah Aceh.

Bedug dalam bentuk lain adalah alat musik yang bertemua dengan alat musik lain. (Foto: penulis)

Seni Bedug Kerok
Bedug Kerok adalah Kesenian asli Provinsi Banten dari Kampung Yudha, Desa Mander, Kecamatan Bandung, Kabupten Serang. Asal muasalnya seni Bedug Kerok ini tercipta ketika negara ini sedang gonjang-ganjing oleh krisis, yaitu pada tahun 1998 dimana terjadi peralihan pemerintahan dari masa Orde Baru ke masa Reformasi.

Pada saat itu terjadi kerusuhan dimana-dimana, pembakaran, penjarahan, penculikan dan lain sebagainya. Rakyat dimana-mana panik, resah dan gelisah, masa itu negara dalam keadaan kacau balau, perekonomian Indonesia jatuh, pengangguran dimana-mana, perusahaan-perusahaan bangkrut dan masih banyak dampak negatif lainnya.

Nah, melihat hal itu beliau Bapak M. Jufri Nur mencetuskan suatu ide kesenian dimana supaya rakyatnya menjadi terhibur, sehingga diciptakanlah Bedug Kerok, bedug yang menghibur dengan penari laki-laki berjoged sesuai irama musik bedug dan kohkol/kentongan dengan menggunakan topeng serta mengenakan baju compang-camping. Itulah Bedug Kerok yang kala itu bisa mengalihkan keresahan masyarakat kampung, khususnya Kampung Yudha, Desa Mander. Dan sampai saat ini pun Bedug Kerok masih eksis dan terus dilestarikan dengan berbagai inovasi.

*Artikel ini didukung oleh Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informasi RI

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top