Masjid Hati Beriman dibangun untuk mendekatkan Islam dengan komunitas Tionghoa. Adalah Ustaz Iskandar Abdurrahman alias Chang I Pao yang menggagas dan mulai membangun Masjid Hati Beriman, beberapa tahun lalu. Masjid ini mempunyai langgam arsitektur tiga negeri, yakni Arab, Jawa, dan Cina. Bolehlah dipendekkan menjadi Arwana.
Masjid yang terletak di RT 1 RW 11 Jalan Argoloyo, Kelurahan Ledok, Kecamatan Argomulyo, Salatiga ini, memiliki bangunan yang sangat unik, berbeda dari kebanyakan masjid di Indonesia.
Langgam tiga budaya menyangga masjid itu yakni; Arab, Jawa, dan Cina. Penanda langgam budaya Arab dapat dilihat melalui kaligrafi dan beberapa ornamen lain yang menghiasi masjid ini. Langgam Jawa tercermin melalui ornamen batik di dinding, serta bentuk mahkota di genting.
Adapun langgam budaya Cina dapat dilihat melalui tampilan masjid yang berbentuk pagoda bersisi delapan yang menunjukkan delapan mata angin dan tiang. Selain itu, warna-warni yang mencolok yakni merah, kuning, hijau, pun menjadi warna khas negeri tirai bambu.
Saya berjalan mengelilingi masjid, lalu memasuki gerbang masjid. Saya merasa ada perbedaan dengan suasana ketika memasuki Masjid Demak, misalnya. Bukan karena Masjid Demak adalah masjid tua yang keramat, namun lebih karena warna-warna dinding yang mencolok. Rasanya adem, tapi ceria. Bukan kontradiktif, namun melengkapi. Seru juga.
Menurut Ustaz Iskandar, yang juga ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Jawa Tengah, rencananya masjid tersebut akan diperluas dengan bangunan berbentuk joglo.
Ustaz Iskandar memaparkan bentuk dan makna delapan sisi masjid, yang melambangkan keluasan cara pandang jamaah. Atap masjid dibuat berundak lima yang menggambarkan lima rukun Islam.
“Makna lainnya, adalah tingkatan akhlak manusia yang semakin ke atas atau semakin mulia, jumlahnya semakin sedikit. Sebagaimana sejarah Islam masuk ke Indonesia beberapa abad silam, sarat dengan akulturasi budaya. Termasuk Cina, juga memiliki budaya yang adaptif, yang konon lebih dahulu mengenal Islam dibandingkan Indonesia,” paparnya dalam satu obrolan santai beberapa waktu lalu.
Harapan Iskandar, semua jamaah masjid merasa nyaman beribadah di dalamnya. “Jumlah muslim Tionghoa masih sedikit. Kami ingin membangun masjid yang merupakan akulturasi tiga budaya, termasuk Cina, agar membuat mereka nyaman, sehingga diharapkan semakin dekat dengan Islam,” tuturnya.
Biasanya, setiap bulan Ramadan, Masjid Hati Beriman penuh dengan kegiatan. Apalagi, masjid itu berada di lingkungan Pondok Pesantren Mutiara Hati Beriman, yang santrinya kebanyakan merupakan mahasiswa STAIN dan UKSW. Masjid dan pesantren memang dikelola oleh yayasan yang sama, Yayasan Hati Beriman.
Di dalam kompleks masjid juga berdiri baby school, play group, dan taman kanak-kanak. Ini pula yang menarik. Perpaduan budaya ternyata tidak hanya dari bentuk masjid, namun juga metode pembelajaran.
“Masjid ini tinggal nunggu finishing, siapa tahu ada yang tertarik untuk membantu fundrising, agar “Arwana” dapat dimanfaatkan dengan paripurna juga sebagai pesantren, ” pungkas Ustaz Chang.
Saya belum sempat bertanya mengenai alasan penamaan masjid. Mengapa tidak Babussalam atau Albarokah atau Nurul Iman, mengapa Hati Beriman. Namun, saya berasumsi bahwa nama masjid sengaja dibuat berbahasa Indonesia untuk mengakomodasi narasi “arwana” itu. Sepertinya, asumsi saya ini benar, ya… (SI)
*Artikel ini didukung oleh Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informasi RI