Dalam dunia tasawuf, nama Ibnu Arabi sudah tidak asing didengar. Beliau merupakan salah satu tokoh tasawuf falsafi. Pada awal ia menempuh jalan sufi, ia berguru kepada seorang tokoh sufi besar bernama Abu al-Abbas al-‘Uryubi atau biasa dikenal dengan Syekh al-‘Uryubi. Beliau merupakan sosok yang sangat berpengaruh terhadap Ibnu Arabi mengenai pandangan awalnya atas dunia kesufian.
Banyak pelajaran yang diambil oleh Ibnu Arabi dari gurunya yang satu ini. Di antara pelajaran terpentingnya adalah ketika ia menyangkal pendapat gurunya sampai-sampai ia ditegur oleh Nabi Khidir as. Kisah tersebut sebagai berikut:
Suatu saat Guru Ibnu Arabi, Syekh al-‘Uryubi, mengatakan kepadanya bahwa ia bertemu dengan Nabi Muhammad SAW dan membawa kabar tentang seseorang. Mimpi yang sering dialami Syekh memang kerap terjadi; mimpi yang merupakan anugerah kesufian yang tak terkira indahnya.
Sang Syekh berkata kepada Ibnu Arabi bahwa seseorang yang diberitakan Rasulallah dalam mimpinya sebagai kabar gembira adalah si fulan bin fulan. Syekh Al-‘Uryubi lalu menyebut nama seseorang yang dimaksud. Secara tidak sengaja, Ibnu Arabi telah mendengar nama yang diisebutkan oleh gurunya itu, namun belum pernah bertemu secara langsung. Ia hanya pernah bertemu dengan saudara sepupu si fulan itu.
Apa yang dikatakan gurunya membuat janggal pikiran Ibnu Arabi, seakan ia ragu atas apa yang disebutkan oleh gurunya. Ia merasa mengenal betul seluk-beluk nama yang disebutkan gurunya. Berdasarkan penuturan oleh sepupunya, resanya tidak mungkin jika nama itu merupakan yang dikabarkan Rasulullah SAW. Ibnu Arabi kemudian menanyakan kembali atas pandangan gurunya itu. Tanpa sebab yang jelas, Syekh al-‘Uryubi justru menarik perkataannya kembali. Saat itu mungkin sang guru memiliki maksud lain, namun belum disadari oleh Ibnu Arabi.
Ibnu Arabi hanya menyadari bahwa gurunya terlihat kecewa dengan pendapatnya. Syekh al-‘Uryubi nempaknya sangat menyayangkan sikap Ibnu Arabi, tetapi ia hanya diam tidak berkata apa-apa terhadap Ibnu Arabi. Tidak tahu harus berbuat apa, Ibnu Arabi hanya menduga-duga. Saat itu ia benar masih awam dalam dunia suluk.
Setelah menyangkal pandangan sang guru, Ibnu Arabi kemudian pamit pulang. Tak disangka, di tengah perjalanan ia bertemu dengan seseorang yang tak dikenal, namun memberikan kesan yang begitu agung dan mendalam di benaknya. Lebih terkejut lagi ketika orang itu ternyata mengenal Ibnu Arabi dengan baik. Bahkan, orang tersebut berucap salam padanya. Sebuah salam agung yang memancarkan kedamaian serta kasih sayang yang agung.
Orang itu kemudian berkata pada Ibnu Arabi,
“Muhammad, benarkah apa yang terjadi perkataan Syekh Abu al-‘Abbas al-‘Uryubi kepadamu terkait dengan seseoarang yang dimaksudkan.”
Orang itu kemudian menyebut sebuah nama sama yang disebutkan oleh gurunya, Syekh al-‘Uryubi. Hal ini tentu menambah hebat kekagetan Ibnu Arabi. Seketika itu, Ibnu Arabi sadar ia sedang berhadapan dengan orang saleh dengan berbagai teka-teki yang menyelimutinya. Namun, ia paham dengan apa yang dimaksud orang itu. Ia hanya bisa berkata, “Baiklah.” Setelah itu, ia mengurungkan niat untuk pulang dan kembali kepada gurunya.
Ia sangat ingin menceritakan pengalaman menakjubkan yang baru ia alami. Ia ingin bertanya kepada Syekh al-‘Uryubi siapa gerangan orang saleh itu. Orang itu tahu benar siapa Ibnu Arabi dan mengetahui kejadian yang baru saja terjadi antara dirinya dan gurunya. Bukankah gurunya mengenal banyak tokoh sufi agung?!
Namun, begitu sampai ke tempat Syekh al-‘Uryubi, ia terkejut. Bagaimana tidak? Ia langsung disambut oleh perkataan sang guru,
“ Wahai Abu Abdillah, apakah aku harus membutuhkan Nabi Khidir setiap kali aku harus mengatakan suatu hal kepadamu agar hatimu masyqul untuk menerimanya?” sehingga ia harus menegurmu agar membenarkan apa yang diberitakan kepadamu oleh gurumu? Apakah kejadian ini akan terus berulang setiap hatimu mengganjal untuk menerima sesuatu?”
Mendengar perkataan gurunya, Ibnu ‘Arabi merasa serba salah. Ia merasa dibukakan dengan kebenaran terhadap sesuatu yang sebelumnya ia tepis. Oleh karena itu, ia tidak dapat berkata banyak. Bukti kenyataan tak bisa ditampiknya. Hanya permintaan maaf yang dapat terucap dari bibir Ibnu ‘Arabi.
“Maafkan aku, Guru!” ucapnya
“Iyaa, sudah saya maafkan” ucap Syekh al-‘Uryubi dengan tulus
Kegelisahan Ibnu Arabi akhirnya reda tersiram maaf dari gurunya. Kebekuan dan ketegangan yang sebelumnya menggelayut di antara keduanya menjadi cair. Ibnu Arabi merasa beruntung akan hal itu semua.
Bagi Ibnu Arabi sendiri, peristiwa itu memberikan pelajaran yang sangat berharga baginya. Inti dari peristiwa itu adalah bagaimana seorang murid seharusnya bersikap kepada gurunya. Menampik kebenaran yang disampaikan oleh seorang guru bukan hanya sikap yang tidak patut. Lebih jauh, jika hal itu semua dilakukan, maka sama halnya dengan menelanjangi diri sendiri. Ibnu ‘Arabi menjadi saksi dalam hal ini.