Memasuki abad ke V H, tasawuf mengalami masa pemurnian, yakni memerkuat ajaran tasawuf dengan dasarnya yang asli berupa al-Qu’an dan hadits atau sering disebut dengan tasawuf sunni. Aliran tasawuf dengan istilah ini mengikuti madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang dimotori oleh Abu Hasan al-Asy’ariy (w. 324 H).
Sebelum abad ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap aliran tasawuf sebelumnya yang sudah mulai melenceng dari koridor syari’at atau tradisi (sunnah) Nabi Muhammad SAW. dan sahabatnya. Ajaran tasawuf yang sudah dirasuki gejala penyimpangan ini diistilahkan dengan aliran tasawuf Syibhu al-Falsafi (semi falsafi) yang terkenal dengan paham syathahat-nya. Tokoh ternama dari aliran tasawuf ini adalah Abu Yazid al-Bushthamiy, al-Hallaj, dan Ibnu al-Farid.
Sementara tokoh tasawuf sunni pada fase ini adalah as-Sulamiy (w. 410 H) dengan karyanya yang berjudul ath-Thabaqot ash-Shufiyyah. Beliau termasuk salah satu dari guru Abu al-Qosim Abd al-Karim ibn Hawazin ibn Abd al-Malik ibn Thalhah al-Qusyairiy atau yang lebih dikenal dengan Imam al-Qusyairiy (w. 471 H). Buah karya al-Qusyairiy sebagai tokoh di fase ini yang terkenal adalah ar-Risalah al-Qusyairiyah. Meski al-Qusyairiy hidup di fase ini, namun ia lebih produktif menulis kerangka ajaran tasawuf dan pendapat (maqolah) para sufi di era abad III dan IV H.
Diantara tokoh lainnya adalah al-Hwairiy (w. 481 H) dengan karyanya Kayfu al-Mahjub, Abu Ismail Abdullah ibn Muhammad al-Anshariy al-Harawiy pengikut madzhab Hambali dengan karyanya Manadzil as-Sairin ‘ila Rabbil ‘Alamin. Karakter dari kitab ini lebih menekankan pada pembahasan maqomat para sufi ditinjau dari sisi bidayat (permulaan) samapi pada nihayat (batas akhir).
Berikutnya adalah sang Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazaliy (w. 505 H) dengan buah karyanya yang begitu banyak dari berbagai disiplin ilmu. Khusus dalam fan tasawuf yang sesuai dengan aqidah sunni tersebutlah kitab al-Munqidz Min ad-Dhalal, Minhaju al-‘Abidin, Kimiya’ as-Sa’adah, dll sampai karya monumentalnya yang mengagumkan yaitu Ihya’ ‘Ulumi ad-Din.
Masa Falsafi
Pada abad ke VI H, tampillah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat. Ini merupakan kompromi dalam pemakaian term-trem filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Oleh karena itu, tasawuf yang berbau filsafat ini tidak sepenuhnya bisa dikatakan tasawuf. Juga tidak bisa dikatakan sebagai filsafat. Untuk memudahkan penyebutan, para ahli biasa menyebutnya tasawuf semi falsafi. Sebab, di satu pihak memakai term-trem filsafat, namun di pihak lain pendekatan terhadap Tuhan memakai metode dzauq atau intuisi atau wujdan (rasa).
Pada era ini, mayoritas tokoh tasawuf sunni yang berjuang untuk memurnikan kembali ajaran ahli sunnah adalah para pendiri aliran tarikat. Diantaranya adalah Syeikh Abd Qodir al-Jailaniy pendiri tarikat Qodariyah (w. 561 H), Syeikh Ahmad ar-Rifa’i pendiri tarikat Rifa’iyah (w. 580 H). Diantaranya lagi adalah Syeikh Abi Najib as-Suhrawardi pendiri tarikat as-Suhrawardiyah (w. 623 H). selain itu juga dikenal Syeikh Abu Hasan asy-Syadziliy (w. 656 H) dengan tarikatnya yang populer yang pertama kali muncul di tanah Maghrib (Maroko).
Beliau juga memiliki beberapa murid yang masyhur, diantaranya adalah Abu ‘Abbas al-Mursi dan Ibn Atha’illah yang terkenal dengan karya monumentalnya yaitu kitab al-Hikam. Dan masih banyak lagi kemunculan tarikat-tarikat pada abad ini.
Segaian orang mengatakan, bahwa munculnya tarikat adalah untuk membantu orang-orang awam agar ikut mencicipi tasawuf karena selama ini pengalaman tasawuf hanya dialami oleh orang-orang tertentu saja (khawash). Disamping itu, kehadiran tarikat juga untuk memagari tasawuf agar senantiasa berada dalam koridor syari’at. Itulah sebabnya sistem tarikat sangat kuat.
Abad ini juga ditandai dengan genderang perang Ibn Rusyd terhadap filasat al-Ghazaliy. Polemik begitu panjang sehingga tercampur aduknya tasawuf dengan filsafat menjadikan tasawuf tampak lebih rumit. Oleh karena itu, kemudian dipakailah istilah tasawuf falasafi sebab pada satu pihak ia memakai istlah filsafat dalam rumusan teoritis dan ungkapan-ungkapannya. Sementara itu, dipihak lain, ia memakai metode pendekatan dzauq wujdan atau intuisi.
Tasawuf falsafi merupakan corak tasawuf yang memadukan antara rasa (dzauq) dan rasio (akal), tasawuf bercampur dengan filsafat terutama filsafat Yunani. Pengalaman-pengalaman yang diklaim sebagai persatuan antara Tuhan dan hamba kemudian diteorisasikan dalam bentuk pemikiran seperti konsep Wahdah al-Wujud, yakni wujud yang sebenarnya adalah Allah, sedanga selain Allah hanya gambar yang bisa hilang dan sekedar sangkaan atau khayalan.
Tokoh-tokoh pada fase ini adalah Muhyidin Ibn Arabiy atau yang dikenal dengan Ibn Arabiy (w. 560 – 638 H) yang diklaim pemilik konsep Wahdah al-Wujud-nya. Inti ajaran Ibn Arabiy yang dikenal dengan sebutan wahdatul-wuujud ini berkembang pula ke mana-mana. Dari paham ini, ketegangan yang dulu sudah reda, kembali terjadi antara ulama syariat dan ulama tasawuf. Bahkan dari sebagian ulama syariat, ada yang menuduhnya kafir. Bahkan, sampai pada tahapan bahwa tasawuf yang digagaskannya bukanlah unsur islam, melainkan dari luar islam.
Pada abad ke VII H, ajaran ini berkembang di Mesir melalui sufi penyair Ibn al-Faridl (w. 633 H) dan Ibn Sab’in (w. 669 H) di Andalusia, serta meluas di Persia lewat syair-syair Jalaluddin Rumiy (w. 672 H) dengan konsep Isyraqiyah-nya (illuminatif). Ia di hukum bunuh dengan tuduhan telah melakukan kekufuran dan kezindikan pada masa pemerintahan Shalahuddin al-Ayyubiy. Diantara kitabnya adalah al-Hikamah al-Israq.
Demikian sekilah dari perjalanan perkembangan tasawuf yang berlangsung sampai abad ke VII H. Memasuki abad VIII H, nampaknya tasawuf mulai mengalami kemunduran, bahkan mengalami stagnasi karena sejak abad ini ada lagi konsep-konsep tasawauf yang baru. Yang tertinggal hanyalah sekedar komentar-komentar dan resensi-resensi terhadap karya-karya lama.
Sekian…
Rujukan:
At-Taftazani, Abu Nasr Al-Wafa Al-Ghanamiy, Madkhal ilat Tasawuf Al-Islam, H. 145, 158, 236-241.