Bagi sebagian Muslim saat ini, Ibnu Taimiyah dikenal sebagai salah satu figur penting, panutan bagaimana menjalankan Islam dengan benar, terutama bagi kalangan Salafi dan Wahabi. Kuatnya pengaruh tersebut lebih banyak bukan karena kecermelangan intelektualnya, tapi lebih banyak karena klaimnya yang menganggap bahwa kebenaran Islam yang otentik hanya terdapat pada masa salaf al-shalih. Asumsi ini lebih berpengaruh dari pada bangunan intelektualnya sendiri.
Ini terlihat dari banyaknya orang yang hanya mengikuti anjuran untuk kembali kepada Alquran dan Hadis Nabi, tanpa melihat bahwa Ibnu Taimiyah, tokoh yang menjadi panutan mereka, sebenarnya adalah seorang logikawan. Alih-alih mengkritik filsafat, Ibnu Taimiyah sebagaimana dikatakan Kamali dalam Islamic Thought bahkan menganggapnya sebagai “sangat Aristotelan”. Mohammad Iqbal malah menilainya sebagai seorang empirisis dan sangat menganjurkan induksi, metode pengamatan dan percobaan. Bahkan Syed Sulaiman Nadvi menyebut Ibnu Taimiyah sebagai “pendiri pertama sistem Logika Mill dan pendahulu filsafat induksi, jauh sebelum David Hume.
Para cendekiawan modern memang memiliki pendapat yang berbeda-beda mengenai pencapaian intelektual Ibnu Taimiyah. Ibrahim Madkour mencatat bahwa kritik Ibnu Taimiyah terhadap Helenisme secara umum, dan logika Aristotelian pada khususnya, adalah yang paling panjang dan paling terperinci, namun ia sering dianggap tidak berlandasan kuat; terlebih lagi, ia lebih dogmatik daripada rasional. Namun Montgomery Watt mengatakan bahwa sang kritikus ini “luar biasa tajam dan berlandasan baik, terutama disertasinya al-Radd ‘alā al-Manthīqīyīn atau “Bantahan bagi Para Ahli Logika”. Sementara, Joseph Schact mengatakan tentang Ibnu Taimiyah, dari perspektif pengembangan mazhab Hambali, bahwa sumbangsih intelektualnya adalah salah satu puncak masa cemerlang dalam sejarah mazhab tersebut. Sebagai seorang `ālim ia banyak mengetahui perihal ilmu kalam dan filsafat. Ia bukan cendekiawan mazhab Hambali yang tipikal.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa paradigma Salafi lahir dari Ibnu Taimiyah, meskipun ia tidak menyebut telah melahirkan Salafiyah sebagai sebuah kelompok teologi, ia justru menyebut upayanya sebagai bagian dari komunitas Sunni secara umum. Ia menyebut jalannya sebagai jalan Sunni, yakni kelompok yang dikenal sebagai ahl al-kitāb wa al-sunnah atau ahl al-sunnah wa al-jamā’ah, atau secara sederhana disebut ahl al-jamā’ah. Istilah tersebut tidak hanya menekankan arti penting Sunnah sebagai dasar keaslian dan ortodoksi, tapi juga memperlihatkan keutamaan keselarasan sosial dan solidaritas di antara mayoritas umat Muslim.
Sisi kekakuan Ibnu Taimiyah dalam memandang teks Al-Qur’an dan hadis telah mengilhami cara pandang Salafi terhadap teks Al-Qur’an dan hadis, yang kemudian dilanjutkan oleh kelompok Wahabi. Namun Ibnu Taimiyah sebenarnya tidak tekstualis “harga mati” yang menganjurkan untuk merujuk hanya kepada Al-Qur’an dan hadis Nabi sebagai satu bentuk taklid, ia sebenarnya seperti ditunjukkan dalam disertasi ini, sangat menekankan ijtihad dan menolak taklid. Ia mendorong penggunaan ijtihad, berarti menggunakan spirit intelektualitas yang tinggi. Pandangan Ibnu Taimiyah tentang pentingnya ijtihad, yang kuat dalam disertasi ini, tentu menjadi problem ketika melihat Ibnu Taimiyah melulu dari kaca mata Salafi modern dan Wahabi.
Nurcholish Madjid (selanjutnya Cak Nur, panggilan akrabnya) melalui disertasi ini, mencoba menunjukkan bahwa dibalik kritiknya yang tajam terhadap ilmu kalam dan filsafat, ada bangunan logika baru yang dibangun oleh Ibnu Taimiyah. Meskipun di akhir disertasi ini, Cak Nur memberi catatan kritis terhadap pemikiran Ibnu Taimiyah, tetapi ia tetap memberikan apresiasi dan harapan yang besar terhadap logika baru Ibnu Taimiyah, yang dalam pandangan Cak Nur bisa membawa masyarakat muslim menghadapi tantangan modernitas dan globalisasi.
Cak Nur, bukanlah seorang Salafi ataupun Wahabi, tapi kepiawaiannya dalam membedah tanggapan-tanggapan Ibnu Taimiyah terhadap ilmu kalam dan filsafat dalam disertasi ini melampaui yang telah dilakukan para pengikutnya. Ini dijelaskan mulai Bab I, yang menjelaskan bahwa Ibnu Taimiyah, memulai karyanya dengan menelusuri jejak-jejak problematika ilmu kalam awal yang melahirkan berbagai kelompok teologi yang saling berseberangan, dan juga munculnya para filsuf Muslim yang membawa pemikiran-pemikiran asing bagi tradisi Islam awal.
Menurut Ibnu Taimiyah, tentu dalam pandangan Cak Nur, pada dasarnya, ilmu kalam hanyalah reaksi teologis terhadap sejumlah unsur rasionalistik dan deterministik filsafat Yunani yang mulai memengaruhi kehidupan dan pemikiran Islam. Ilmu kalam maupun filsafat sebenarnya sama-sama bersifat Qur’āni sekaligus Helenistik, hanya saja ilmu kalam lebih Qur’āni daripada Helenistik, sementara filsafat (Islam) sebaliknya.
Pada bab berikutnya (Bab II) Cak Nur menggambarkan bagaimana keterpecahan umat Islam juga dirasakan dalam kehidupan pribadi Ibnu Taimiyah. Sisa-sisa pemikiran Helenistik masih mempengaruhi pola pikir umat Islam dan juga para pemegang kebijakan politik, bahkan situasi ahli fikih tidak mampu memperbaiki keadaan tersebut. Mereka cenderung berlebihan dalam bermazhab dengan kekaguman palsu akan masa lalu, sehingga menutup gerbang ijtihad.
Banyak bentuk-bentuk takhayul dibiarkan secara ijmā’ dan menjadi taklid. Ini mengakibatkan para fuqahā’ semakin tidak toleran, mengulangi mihnah seperti di zaman khalifah al-Ma’mun, atau melakukan persekusi terhadap mereka yang berbeda pandangan.
Cak Nur juga menggambarkan dengan jelas bagaimana konstruksi ilmu pengetahuan bagi Ibnu Taimiyah di Bab III, untuk melacak dasar kritiknya terhadap ilmu kalam dan filsafat, yang masing-masing dibahas dalam Bab IV dan V.
Ibnu Taimiyah, sebagaimana digambarkan oleh Cak Nur dalam disertasi ini, adalah seorang yang sangat piawai dalam berdebat. Ia terlibat dalam berbagai perdebatan, baik tertulis maupun lisan, perdebatan pribadi maupun terbuka (munāzharah). Ia sangat kritis terhadap para ulama yang mengabdi kepada penguasa. Akibatnya ia memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan pemerintah dan beberapa sahabatnya yang menjadi pejabat kerajaan. Karena itu pula ia berkali-kali masuk penjara, hingga kematiannya di Damaskus.
Seperti halnya Imam al-Ghazali, Ibn Taimiyah pun bertarung melawan para ulama yang korup. Pengalamannya dengan para penyerbu dari Mongol telah membuatnya yakin bahwa para pemimpin agama, terutama para ulama, tidak melaksanakan tugas-tugas mereka sebagai penjaga iman dan pembimbing umat. Seperti al-Ghazali dan al-Asy’ari, ia terlibat dalam pergelutan melawan sisa-sisa Helenisme dalam Islam, yang diwakili oleh ilmu kalam dan filsafat.
Kritik Ibnu Taimiyah terhadap ilmu kalam dan filsafat, yang menjadi fokus kajian disertasi ini, bukan disebabkan karena logika yang digunakan untuk menerjemahkan kebenaran-kebenaran Islam. Kritik utamanya adalah pada unsur asing atau Helenisme yang masuk ke dalam dunia Islam. Ia menganggap bahwa Helenisme adalah unsur eksternal yang penuh kesalahan dan kesesatan, sehingga tidak semestinya dicampuradukkan dengan Islam sebagai Kebenaran Sejati.
Sebenarnya tidak hanya ilmu kalam dan filsafat yang ia kritik, tasawuf juga mendapatkan perlakuan yang sama. Bagi Ibnu Taimiyah, praktik-praktik di luar syari’at adalah bid’ah dan kesesatan hasil dari peradaban asing yang jauh dari kebenaran Islam. Oleh karena kebenciannya terhadap Helenisme, filsafat kemudian mendapatkan kritikan yang lebih tajam daripada ilmu kalam. Termasuk logika Aristoteles yang telah lama menghidupi keilmuan Islam terutama filsafat, juga dibantahnya dengan mengungkapkan kesalahan-kesalahan internalnya yang sistematis. Semua itu dilakukan Ibnu Taimiyah, tidak lain adalah demi upaya pemurnian Islam dari segala unsur luar yang membawanya pada bid’ah dan takhayul.
Seperti dikatakan Cak Nur dalam disertasi ini, dalam banyak hal, Ibnu Taimiyah juga dipengaruhi oleh al-Ghazali. Tapi banyak poin pula dalam pemikiran al-Ghazali masih mengandung spirit Helenisasi, terutama logika formal atau silogisme (al-qiyās al-manthiqī), yang membuatnya harus mencela pendahulunya tersebut.
Bagi Ibnu Taimiyah, simpati terhadap silogisme Aristotelan ini menjadikan al-Ghazali gagal mencegah menyebarnya Helenisme. Al-Ghazali adalah pemikir muslim pertama yang menggabungkan ilmu kalam dengan logika (manthiq) dan pemikir Muslim yang pertama juga yang menyajikan fikih dengan metodologi Yunani seperti dalam karyanya al-Mustasyfā. Sehingga Ibnu Taimiyah menyebutkan misalnya dalam al-Qisthās al-Mustaqīm, karya al-Ghazali sebagai sangat berbahaya bagi umat Islam karena mencampuradukkan agama dengan asas-asas logika yang berasal dari Yunani, dengan mengklaim bahwa metode ini berasal dari Sang Nabi.
Karena Helenisme pula, Ibnu Taimiyah memandang filsafat sebagai bid’ah yang berbahaya dan penuh kesesatan (ilhād), yang harus dicela melebihi ilmu kalam. Ia menyebut para filsuf sebagai pembuat bid’ah (mubtadi’ah) dan orang-orang sesat (malāhidah) yang patut dicela.
Sasaran utama serangan Ibnu Taimiyah menurut Cak Nur jelas adalah logika silogistik Aristotelian (al-manthiq). Logika tersebut adalah dasar dari semua metode para filsuf. Ibnu Taimiyah melengkapi serangannya pada filsafat, juga menyerang ilmu kalam, dalam banyak dari karyanya yang berlimpah. Ia sangat sengit menyerang gagasan mutakallim bahwa metode merekalah satu-satunya yang bisa digunakan untuk memahami asas-asas agama.
Dalam Minhāj, menurut Cak Nur, Ibnu Taimiyah melacak bahwa proses Helenisasi ini sudah dimulai sejak era pikiran Mu’tazilah dan Jahmiyah. Merekalah yang membuka jalan bagi masuknya filsafat Yunani ke dalam pemikiran Islam. Para mutakallim, terutama Mu’tazilah dan Jahmiyah, menawarkan doktrin-doktrin yang mereka jabarkan melalui metode Helenisme sebagai doktrin-doktrin Islami. Para filsuf yang muncul kemudian, dalam pandangan Ibnu Taimiyah, sebenarnya berniat membetulkan kesalahan-kesalahan para mutakallim. Dengan memperkenalkan Helenisme yang lebih murni dan orisinal, para filsuf hendak mengembalikan rasionalisme Muslim ke jalur yang benar.
Hasilnya menurut Ibn Taimiyah, jelas bahwa karya-karya filsuf tidak lebih baik, melainkan jauh lebih buruk daripada karya-karya mutakallim. Para filsuf yang ekstremis, seperti para Khurramiyah dan orang-orang Qaramitah, terutama murid-murid Abu Sa’id al-Jannabi, sepenuhnya menurut Ibnu Taimiyah “melecehkan agama Islam dengan tangan dan lidah mereka.”
Ibnu Taimiyah dalam pandangan Cak Nur, menolak semua argumen ilmu kalam, ia bersikeras bahwa metode-metode pembuktian semacam itu tidak pernah digunakan oleh Nabi Allah manapun, dan dengan mengklaim bahwa metode-metode semacam itu tidak diketahui kaum Salaf dari kalangan Sahabat Nabi.
Ibnu Taimiyah percaya bahwa realitas Allah tidak boleh didiskusikan, baik itu dalam istilah-istilah yang bertujuan untuk itsbat ataupun nafy, kecuali bila berkesesuaian dengan teks-teks formal agama (nushūsh). Seperti misalnya teori atom (al-jawhar al-mufrad) yang digunakan sebagai dasar pembuktian bahwa Allah mahakuasa, sebab tidak ada yang bisa ada atau terjadi kecuali Ia menyebabkannya ada atau terjadi.
Argumen semacam itu, bagi Ibnu Taimiyah, adalah semacam argumen yang bertentangan dengan kenyataan. Terlebih lagi teori thafrā’ (lompatan vertikal) dari al-Nazhzham, yang mempercayai bahwa bagian-bagian atom suatu gerakan terkait satu sama lain oleh suatu lompatan vertikal. Ibn Taimiyah mengatakan bahwa thafrā’ dari al-Nazhzham adalah salah satu hal yang paling khayali mengenai ilmu kalam. Teori tersebut bertentangan dengan persepsi indera dan nalar.
Teori-teori lain yang juga sebatas khayali menurutnya adalah gagasan ahwāl dari al-Jubba’i dan doktrin kasb dari al-Asy’ari.
Ibnu Taimiyah sangat keras melawan ekstremisme ilmu kalam dalam doktrin tanzih. Mutakallim, seperti para filsuf, menurutnya telah bersalah menurunkan Allah ke posisi objek spekulasi dan abstraksi intelektual semata. Keberadaan Allah, dalam sistem mereka, menjadi sedemikian abstrak sehingga kehilangan fungsi-Nya sebagai sumber cara hidup yang etis dan bermoral.
Bagi Ibnu Taimiyah, metode tanzih tak pelak mengarahkan kepada sikap ta’thīl, yakni penyangkalan terhadap segenap sifat dan nama Allah, termasuk yang Allah sebutkan dalam Kitab Suci-Nya. Ta’thīl semacam itu akan menjadikan Allah sedemikian mutlak dan murni sehingga menjadi mustahil bagi-Nya untuk ada. Oleh karena itu ta’thīl apa pun terhadap sifat dan nama juga akan berujung pada ta’thīl terhadap keberadaan atau esensi Allah sendiri, yaitu ateisme.
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa Qadariyah telah menggabungkan syirik dan ta’thīl. Syirik tersirat dalam doktrin mereka bahwa sejumlah fenomena, semisal kendali manusia atas tindakan-tindakannya, tidak memiliki pencipta, namun hal ini pada saat yang sama menyiratkan bahwa ada pencipta selain Allah—yaitu manusia sendiri.
Ibn Taimiyah juga mengkritik orang-orang yang membantah kendali manusia atas tindakan-tindakannya, dengan mengatakan bahwa mereka “tidak tahu bahwa Allah telah membuat takaran (taqdīr) atas segala sesuatu dan melaksanakan takaran itu sesuai dengan sebabnya, yang mendasari tindakan manusia dan hal-hal lain.”
Ibnu Taimiyah menurut Cak Nur menolak penerimaan takdir secara pasif. Ia juga menentang gaya hidup tawakal yang pasif sebagai sebuah kekeliruan. Bagi Ibn Taimiyah, menggunakan argumen yang nyaris sama dengan argumen Mu’tazilah, manusia tidak bisa menyadari tindakan-tindakannya kecuali bila ada faktor pendukung (murajjih) atau pengkhususan (mukhasshish). Faktor pendukung atau pengkhususan ini, bertentangan dengan klaim Qadariyyah, bukan berasal dari manusia sendiri, melainkan dari Allah, dalam bentuk kehendak ilahi (irādah). Seperti juga halnya dengan penciptaan dunia, perbuatan manusia juga berdasarkan kehendak dari pilihan bebas-Nya (ikhtiyār) dan irādah mutlak.
Menurut Cak Nur, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa “telah diketahui bahwa Allah menciptakan tindakan yang manusia pilih secara sadar, dan beginilah cara para Ahli Sunnah” Atas dasar inilah Ibn Taimiyah menolak doktrin kasb al-Asy’ari.
Pengikut Asy’ariyah membedakan antara tindakan (fi’l) atau penciptaan (khalq) dan usaha (kasb). Mereka mengatakan bahwa kasb setara dengan gabungan objek kekuasaan (al-maqdūr) dengan kapasitas yang tercipta (al-qudrah al-hāditsah), sementara penciptaan (khalq) setara dengan gabungan objek kekuasaan dengan kekuatan abadi (al-qudrah al-qādimah). Tindakan atau penciptaan adalah milik Allah, sementara usaha adalah milik manusia.
Bagi Ibnu Taimiyah, doktrin kasb sangat irasional sekaligus tidak memiliki dasar agama, terutama karena al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun suatu tindakan diusahakan oleh manusia, kuasa manusia tidak berdampak apapun terhadap hasil tindakan tersebut. Semua ini terjadi dalam bangunan ilmu kalam karena kedekatan mereka dengan sumber-sumber filsafat Yunani, yang menurutnya semakin dekat seorang mutakallim dengan doktrin filsafat, semakin jauh ia dari Kitab Suci dan Sunnah sebagai sumber-sumber kebenaran.
Penutup
Dari sekian banyak kritik keras yang Ibnu Taimiyah kemukakan kepada para ahli ilmu kalam dan filsafat, Cak Nur mencatat bahwa Ibnu Taimiyah tetap menghargai para filsuf dalam keunggulannya dalam ilmu-ilmu seperti matematika dan fisika, seperti para mutakallim yang unggul dari para filosof dalam persoalan teologis.
Ibnu Taimiyah memang menilai positif sebagian ilmu non-agama, seperti yang Ia nyatakan bahwa ilmu kedokteran sangat bermanfaat, sebagaimana fikih dalam persoalan agama. Tapi ia menilai positif matematika hanya pada batas kesesuaian argumen-argumen dasarnya. Sayangnya ia tidak mengakui sumbangsih matematika astronomi (‘ilm al-hisāb) dalam hal kompetensi dan kesahihannya dalam menentukan awal penanggalan bulan untuk mengetahui, misalnya, hari-hari pertama Ramadan dan Syawal. Apalagi bahwa matematika, terlepas dari kesahihan argumen-argumen dasarnya, baginya sama sekali “tidak membawa kesempurnaan kepada jiwa manusia, tidak juga menyelamatkan manusia dari kemurkaan Allah, atau membimbingnya ke kehidupan yang bahagia.”
Sejauh menyangkut pertanyaan-pertanyaan metafisika, Ibnu Taimiyah, seperti al-Ghazali pada masa sebelumnya, memercayai bahwa pencarian yang sepenuhnya rasional dan spekulatif terhadap kebenaran pamungkas sungguh sia-sia. Pada Ibnu Taimiyah, konsep fithrah adalah rasionalitas baru yang lebih Islami menggantikan rasionalitas filsafat Yunani.
Ibnu Taimiyah dalam persoalan teologi juga menekankan kesatuan antara tawhīd al-rubūbīyah, yaitu pengakuan akan Allah sebagai sumber satu-satunya keberadaan, dengan tawhīd al-ulūhīyah, yang ia definisikan sebagai penerimaan tak bersyarat terhadap ajaran-ajaran Allah, perintah-Nya dan larangan-Nya, termasuk penyebutan nama-nama dan sifat-sifat-Nya dalam Kitab Suci.
Cak Nur menilai, bahwa melalui madzhab Hambali, Ibn Taimiyah tampak seperti penafsir harfiah yang militan, yang diperkuat dengan kerasnya penolakan terhadap metode-metode ta’wīl. Bagi Ibn Taimiyah agama Islam hanyalah apa yang telah diajarkan Allah dan Nabi-Nya, dengan contoh-contoh penerapan dalam Sunnah. Penambahan ataupun pengurangan apapun dari fakta-fakta itu adalah bid’ah yang tercela.
Sehingga alih-alih mengafirmasi kesahihan bangunan logika baru dan prospek konsep kebenaran analogis dari Ibnu Taimiyah, Cak Nur pun mempertanyakan akankah metodologinya, bila diikuti dengan penuh dan konsisten, membebaskan kaum Muslim dari hal remeh-temeh soal doktrin agama dan mengembalikan kesederhanaan mulia Islam? Mengingat penekanan Ibn Taimiyah atas ijtihad dan perlawanannya terhadap taqlīd, menurut Cak Nur, jawabannya mestinya adalah “iya”.
Akan tetapi, kesetiaannya yang kuat dan fanatik terhadap Sunnah sangat mungkin membuat orang-orang Muslim yang memedulikan modernitas menjadi khawatir. Berpegangan kepada Sunnah secara kaku bisa jadi baik secara agama, namun menerima seluruh korpus laporan hadis sebagai kodifikasi asli dan suci dari Sunnah, termasuk yang sudah dianggap otentik, menurut Cak Nur, adalah problematis. Pelarangan campur tangan manusia dalam dogma agama, sebagaimana doktrin Ibnu Taimiyah, bila diterapkan kepada kodifikasi Hadis akan membuat kumpulan-kumpulan Hadis itu susah dipertahankan klaimnya sebagai sumber hukum agama.
Terlebih lagi, sistem Ibnu Taimiyah, terutama seperti yang direpresentasikan oleh reformasi Wahabi di Arab, kerap dibandingkan dengan reformasi Protestan yang sama sekali tidak menunjukkan relevansinya dalam membentuk modernitas Islam.
Cak Nur, menambahkan, situasi tersebut diperparah oleh sikap sistem Ibnu Taimiyah yang cenderung negatif terhadap ilmu pengetahuan. Sistemnya akan lebih relevan bagi umat muslim modern, seandainya saja ia bersikap lebih positif terhadap ilmu-ilmu non-agama. Sehingga untuk membuat pemikiran Ibnu Taimiyah lebih responsif terhadap kebutuhan umat muslim saat ini, spiritualitas “ortodoks” Islam itu harus dilengkapi dengan anjurannya akan toleransi dan moderasi.
Tentu saja menurut Cak Nur, dengan spirit ijtihadnya yang sangat tinggi, pemikiran Ibnu Taimiyah memiliki peluang yang besar bagi pengembangan ortodoksi Islam untuk ikut andil dalam perkembangan zaman, pasalnya dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi tidak hanya memuat informasi-informasi teologis semata, tapi juga informasi-informasi ilmiah yang dapat dijadikan premis ilmu pengetahuan modern.
Sebagai catatan terakhir, Cak Nur menunjukkan dalam disertasi ini, bahwa disamping kritiknya yang tajam kepada tasawuf, selain ilmu kalam dan filsafat yang dibahas dalam disertasi ini, Ibnu Taimiyah sebenarnya adalah seorang Sufi. Ia adalah anggota tarekat Qadiriah, sebuah ordo Sufi, yang pendirinya kebetulan penganut mazhab fikih Imam Ahmad bin Hambal. Melalui tarikat inilah ia menyebarkan gerakan pemurniannya dengan menerapkan asas ijtihad kepada tasawuf.
Menurut Cak Nur, Ibnu Taimiyah bahkan dapat dianggap perintis Neo-Sufisme yang akan menghentikan sinkretisme heterodoks dari sebagian besar praktik tarekat, dan menempatkan mereka di bawah kendali intelektualisme Islam yang berdasar kuat, yakni dasar Al-Qur’an dan hadis Nabi.
——–
Catatan: Esai di atas, mudah-mudahan bisa meringkaskan sedikit isi disertasi Cak Nur ini, dan menyemangati Anda membaca lebih jauh pikiran-pikiran Cak Nur tentang Ibnu Taimiyah dalam disertasi ini yang sangat detail, tidak sederhana atau mudah memahaminya secara langsung, tanpa persiapan.