Pada masa Orde Baru, yang diakui oleh pemerintah hanya tiga partai politik — PPP, Golkar, PDI — yang masing-masing tersekat fanatisme identitas yang keras dan sensitif.
Yang berjiwa kerdil dan berwawasan sempit pada masa-masa itu kerap terjangkiti sikap antipati yang kasar dan ekstrim lantaran perbedaan afiliasi partai politik. Partai politik nyaris sejenis agama bagi kalangan pendukungnya.
Muslim tradisional kala itu, khususnya yang menghuni wilayah akar-rumput, pada umumnya menyalurkan aspirasi politiknya ke PPP yang bercorak dan berorientasi Islam.
Di sudut fenomena umum pertentangan tajam antar-simpatisan partai politik yang berbeda di kalangan muslim trasidisional ternyata muncul realitas unik kala itu.
Kiai Mustain Romly adalah pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso, Peterongan, Jombang. Beliau juga mursyid jemaah Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang berpusat di Rejoso.
Pada awal 1970 Kiai Mustain merupakan salah seorang juru kampanye Golkar di Jawa Timur. Ini adalah pilihan kontroversial dan riskan pada saat itu. Jemaah tarekat yang dipimpinnya terdera keterbelahan lantaran beliau dianggap melakukan “kemurtadan politik”.
Kiai Mustain sebagai mursyid dan kiai menghadapi caci-maki, cemooh dan hinaan setelah beliau bergabung ke dalam gerbong politik pemerintah, yaitu Golkar.
Golkar adalah mesin politik pemerintahan rezim Soeharto yang dipandang tak simpatik kepada komunitas muslim kala itu. Golkar selalu menang sepanjang pemilu pada masa Soeharto menjadi presiden RI selama lebih dari 30 tahun.
Antipati yang kasar dan sinis mendera Kiai Mustain dan semua ini disadarinya sebagai akibat pengultusan dan fanatisme partai politik terjadi di masyarakat pada saat itu.
Di tengah suasana pro-kontra dan ketegangan politik, Kiai Mustain yang juga banyak agenda kerjanya sebagai rektor kampus Undar Jombang dan pejabat DPR-MPR RI, beliau tetap istikamah dan menjaga komitmennya sebagai kiai dan mursyid.
Setiap Kamis, meski sedang ada rangkaian jadwal rapat dan sidang parlemen hingga beberapa hari di Jakarta, Kiai Mustain menyempatkan diri pulang ke Jombang memimpin rutinan “khususiyah tarekat” dan kemudian kembali lagi ke Jakarta. Bukan kebiasaannya mewakilkan atau mendelegasikan tugasnya sebagai mursyid kepada yang lain.
Kesibukan di luar kota yang padat dan saat tiba di Jombang telah dini hari atau menjelang fajar, Kiai Mustain menjaga disiplin tak meninggalkan jadwal mengisi pengajian kitab kuning di pesantrennya, meski letih dan terkantuk, dan kadang sekian menit tertidur dalam posisi duduk di hadapan kitab kuning, para santri sabar menunggu hingga beliau terbangun.
Suatu ketika Kiai Mustain naik mobil bersama sopirnya melintas di selatan Jombang di daerah basis PPP. Kendaraannya dihadang massa dari kalangan santri dan didorong beramai-ramai hingga terperosok ke dalam selokan besar.
Kiai Mustain memandang partai politik bukan sebagai agama. Maka beralih dari satu partai politik ke partai politik yang lain bukanlah kemurtadan.
Istri Kiai Mustain, Nyai Djumiatin, adalah putrinya Kiai Abdul Wahab Hasbullah dari Tambakberas. Nyai Tin, demikian sapaan akrabnya, merupakan juru kampanye PPP.
Kiai Mustain, menantu pendiri NU itu, kemudian “dipecat” dari NU lantaran beliau tak bergabung dengan PPP sebagai afiliasi partai politik resmi kalangan NU.
Pada masa-masa kampanye, Kiai Mustain dan Nyai Tin tak jarang sama-sama berada di luar rumah namun berbeda tempatnya, dan mereka melakukan kampanye untuk kemenangan partai politiknyanya masing-masing.
Setiap pagi Nyai Tin menyajikan sendiri sarapan untuk Kiai Mustain berupa minuman hangat dan makanan kecil di meja makan. Nyai Tin menemani suaminya makan pagi tanpa terdengar di antara mereka perdebatan politik di ruang makan.
Kiai Mustain dan Nyai Tin menghuni dan hidup rukun serumah dan berbeda afiliasi partai politiknya. Mereka pasutri yang tak terpengaruh perbedaan dan persaingan antar-partai politik yang keras dan tajam kala itu.
Kiai Mustain bukan sembarang politisi. Para elit pemerintahan rezim Soeharto datang ke kediaman Kiai Mustain secara resmi. Namun lebih sering di antara mereka mampir sebagai teman. Alamsyah Ratu Perwiranegara, menteri agama di kabinet kala itu, bahkan menginap di rumahnya. Sudomo, Ali Moertopo dan nama-nama elit politik lainnya juga kerap bertamu.
Kenapa Kiai Mustain berafiliasi ke Golkar? Bukan tanpa pergulatan dan tanap dasar beliau bergabung ke partai politik pemerintah kala itu.
Konon Kiai Mustain berkonsultasi ke salah seorang kerabatnya di Bangkalan, tempat kakek dan buyutnya berasal, ihwal persoalan beliau bergabung atau tidak dengan Golkar. Sang kerabat itu beliau pandang memiliki kemampuan menjawab persoalan itu.
Setelah sekian waktu bermunajat, sang kerabat menyampaikan kepada Kiai Mustain sebuah isyarat yang diperolehnya melalui mimpi.
Sang kerabat di dalam mimpinya melihat Kiai Mustain dan Kiai Romly Tamim. Kiai Romly Tamim adalah ayahnya Kiai Mustain. Di dalam mimpinya, bumi terbelah dua dan Kiai Romly menyuruh putra melompat ke belahan bumi yang lain.
Sejak itulah Kiai Mustain memantapkan diri bergabung ke Golkar sebagai juru kampanye pada 1970an dan menjadi anggota DPR-MPR RI pada 1980an hingga wafatnya.
Pada masa-masa akhir hidupnya, Kiai Mustain pada suatu hari tampak gelisah. Beliau mondar-mandir di ruang tamu sambil mengarahkan pandangan ke halaman depan rumahnya.
Putri bungsu pasangan Kiai Mustain dan Nyai Tin bertanya, “Kenapa Ayah tampak gelisah?” Kiai Mustain mengaku gelisah karena tak ada lagi orang datang mengolok dan mencaci-makinya.