Jakarta, 1979 (saya lupa tanggal dan bulannya). Saya girang ketika pada satu siang Ibu dan salah seorang tante saya mengajak saya menjenguk ibunda Ahmad Albar yang sedang sakit di rumahnya (saya tak ingat di daerah mana).
Tak ada sang super star di sana. Saya hanya bertahan sekitar 5 menit mendengarkan mereka mengobrol, sebelum akhirnya saya menyelinap keluar kamar dan bermain skateboard yang saya temukan di halaman depan. Usia saya 12 tahun.
Saya sangat menyukai Ahmad Albar. Saat itu lagu “Zakia” tengah booming dan ketampanan Ahmad Albar sedang berada pada tingkat audubillah setan.
“Jubah keren yang ia pakai itu dari Guruh Soekarno Putra.”
Itu yang saya dengar dari mulut ibunda Ahmad Albar saat berbincang dengan tamu-tamunya, sesaat sebelum saya keluar kamar.
Dan saya merasa telah mendapatkan satu rahasia di balik jubah yang dikenakan Ahmad Albar dalam video klip yang diputar di TVRI itu.
Saya merindukan masa-masa itu. Masa ketika saya bermain skateboard dan mendapatkan satu rahasia tentang jubah seorang habib. Jubah merah yang tak pernah bicara soal hijrah, jubah yang memesona siapa pun yang melihatnya, jubah yang mengajak hati berdendang dan tubuh bergoyang.
Jubah yang membuat orang merasa senang. Bukan jubah garang seperti sekarang.