Bukan sekali ini saja kaki Bahar bin Smith membuat masalah. Sebelum geger soal anak-anak mencium telapak kakinya, kaki yang sama pernah membuat heboh; menghajar wajah anak-anak di bawah umur hingga berdarah-darah. Atas perbuatan aniayanya itu, ia ditangkap aparat kepolisian dan dibui selama tiga tahun.
Menghajar wajah anak-anak di bawah umur dengan dengkul, dan menyuruh sejumlah anak lainnya mencium telapak kaki, tentu sama-sama perilaku buruk. Yang pertama merupakan perbuatan brutal yang melanggar hukum pidana, sementara yang kedua tergolong kelakuan yang melabrak etika dan kepatutan sosial.
Dan perangai tak pantas Bahar bin Smith itu, langsung maupun tidak, juga bisa dilihat sebagai bagian dari perkembangan dinamika internal yang sedang terjadi di tubuh komunitas habaib Indonesia, yaitu pergulatan wacana antar habaib tasawuf (keterangan tarekat Alawiyah dalam catatan–red.) di satu sisi dan habaib politik (atau yang kemudian dikenal dengan habaib 212) di sisi lainnya.
Secara ringkas, habaib tasawuf adalah para habib yang menjadikan aspek akhlak dan rahmat dalam Islam sebagai fokus dakwahnya. Mereka memagari diri dari konflik politik dan menghindari ceramah-ceramah agitatif dan provokatif, apalagi dengan kata-kata kasar.
Maka lewat video adegan cium kaki itu, Bahar bin Smith seperti ingin mengirim pesan bahwa habaib politik yang “tegas dan keras melawan kezaliman” akan lebih dicintai dan dihormati umat.
Pergulatan internal di tubuh bani Alawy itu bermula sejak kemunculan Rizieq Shihab dengan FPI-nya tak lama setelah lengsernya Suharto pada Mei 1998. Popularitas dan penerimaan Rizieq Shihab di kalangan bani Alawy terus meningkat seiring dengan kian melebarnya partisipasi politik FPI.
Dari sekadar pelaku aksi sweeping warung remang-remang, FPI meningkat menjadi salah satu ormas yang berperan dalam banyak peristiwa sosial politik. Bersama dengan berbagai elemen Islam kanan atau beraliran Salafi Wahabi di Indonesia seperti HTI, Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia, FPI terlibat antara lain dalam kerusuhan rasial di Jalan Ketapang, Jakarta Pusat, 1998 (yang berbuntut pada meletusnya konflik berdarah antar umat beragama di Ambon), perusakan masjid-masjid milik kelompok minoritas Ahamadiyah dan penyerangan terhadap Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKBB) di Monas, 2008, dan pengerahan sukarelawan kemanusiaan saat bencana tsunami di Aceh, 2004.
Nama Rizieq Shihab dan FPI kian berkibar ketika meledak kasus “Surat al-Maidah” pada 2016 yang berhasil memenjarakan Ahok, yang dilanjutkan dengan keberhasilan memenangkan Anies Baswedan – Sandiaga Uno pada Pilkada DKI 2017, dan kampanye untuk kemenangan Prabowo – Sandi pada Pilpres 2019.
Dengan semua operasi dan investasi aksi sosial politik itu, mereka pada akhirnya berhasil merombak karakter dan praksis sosio religi bani Alawy dari tasawuf yang damai, toleran, pasif, dan apolitis, menjadi aktivisme politik yang konfrontatif dan sarat konflik.
Akhlak dan kekeramatan yang selama ini menjadi warna kultural habaib di Indonesia, berangsur luntur dan digantikan dengan keriuhan teriakan perjuangan Islam politik semacam “bela Islam”, “pilih gubernur Islam”, “menangkan capres Islam”, “tegakkan syariah dan khilafah”, dll.
Nyaris semua sentra otoritas habaib seperti sohibul makam keramat dan haul para tokoh habaib, menyuarakan dukungan untuk gerakan 212. Bahkan, Rabithah Alawiyah (ormas tempat berhimpunnya bani Alawy) yang sebelumnya dikenal berdiri di atas semua golongan bani Alawy tanpa memandang preferensi politik, tak mampu mempertahankan tradisi lama yang berakar pada tarekat Alawiyah itu.
Pada satu titik, para pengurus Rabithah Alawiyah akhirnya menanggalkan amanat tarekat Alawiyah yang telah diemban sekian lama, dan memilih ikut hanyut dalam arus euforia habaib 212. Rabithah Alawiyah mendukung penuh Rizieq Shihab dan FPI dengan segala sepak terjang politiknya.
Keyataan ini membuat warna tarekat Alawiyah semakin memudar. Tokoh-tokoh habaib tasawuf seperti Jindan bin Novel, tak lagi memperoleh banyak tempat. Ia dinilai tak segaris dengan perjuangan Rizieq Shihab. Konon namanya dicoret dari daftar penceramah pada sejumlah acara keagamaan dalam agenda tahunan komunitas bani Alawy.
Umar bin Hafidz, seorang habib pengasuh pondok pesantren Darul Mustafa di Hadramaut, Yaman, yang dikenal sebagai pusat pengajaran tarekat Alawiyah, tak lagi dielu-elukan kedatangannya di Indonesia seperti tahun-tahun sebelumnya.
Beberapa pondok pesantren habaib di Jawa Timur dikabarkan mengurangi dan menghentikan sama sekali pengiriman santrinya ke Darul Mustafa. Posisi Umar bin Hafidz sebagai panutan yang otoritatif di kalangan bani Alawy sepertinya telah merosot tajam, digantikan oleh komando Rizieq Shihab, dan pada ukuran tertentu, oleh Bahar bin Smith.
Ceramah Umar bin Hafidz yang melulu berbicara tentang akhlak, kasih sayang sesama manusia, dan perdamaian, tidak memiliki daya tarik bagi bani Alawy yang telah mengalami transformasi dari sufisme menjadi aktivisme politik keagamaan itu. Maka hanya ceramah-ceramah yang mengandung unsur politik saja yang akan menjadi magnet bagi umat, terlebih jika disampaikan dengan lantang.
Tampaknya kecenderungan ini dipahami betul oleh Bahar bin Smith. Hanya berselang sehari setelah keluar dari penjara terkait kasus penganiayaan anak-anak di bawah umur, penceramah berambut gondrong itu langsung menggebrak dengan aksi “politicking”; mencela musuh-musuh Rizieq Shihab dan mengancam akan mencari dan menghabisinya satu persatu.
Meski berupaya membangun kesan angker dengan cara demonsrtatif tampil memakai jaket kulit hitam dan didampingi para pengawal berseragam militer siap tempur, mudah ditarik kesimpulan bahwa yang diteriakannya itu hanya gertakan politik belaka. Jelas ia tidak akan bisa mencari dan menghabisi musuh-musuh yang abstrak. Yang ia lakukan itu harus dipahami sebagai sekadar upaya merawat citra dirinya: “seorang cucu Nabi yang mewakili sisi ketegasan kakeknya”.
Saat menyebut Nabi Muhammad, Bahar bin Smith kerap menambahi dengan frasa “kakek saya”. Bagi Bahar bin Smith yang membanggakan dirinya sebagai “cucu Nabi ke-29” itu, frasa “kakek saya” diperlukan sebagai penegasan kepada publik perihal hubungan kekeluargaan antara dirinya dan Nabi.
Penegasan semacam itu penting bagi Bahar bin Smith dalam konteks kapitalisasi ajaran kecintaan pada keturunan Nabi Muhammad yang mengakar dalam sanubari sebagian besar umat Islam, untuk kepentingan kariernya sebagai pendakwah politik. Memiliki hubungan darah dengan Nabi Muhammad merupakan modal sangat berharga bagi para habib yang berkecimpung dalam wilayah politik keagamaan seperti Rizieq Shihab dan Bahar bin Smith.
Maka adegan cium kaki yang dipertontonkan Bahar bin Smith musti dilihat sebagai gambar besar keberhasilan habaib 212 dalam mengkapitalisasi nasab mereka, sekaligus kemenangan mereka atas habaib tasawuf dalam perebutan peran ketokohan dan produksi wacana dalam semesta bani Alawy.
Dan kemenangan itu diraih dalam waktu yang relatif cepat. Jika melihat ke belakang, kurang dari satu dekade yang lalu, pembagian peran ketokohan dan ruang kultural bani Alawy antara habaib tasawuf dan habaib 212, belumlah setimpang hari ini.
Saat itu, ketika peran Rizieq Shihab belum sebesar sekarang, dan Bahar bin Smith belum begitu terdengar namanya, Yayasan al-Fachriyah yang diasuh oleh Jindan bin Novel dan adiknya Ahmad bin Novel, dan perkumpulan zikir Majelis Rasulullah yang dipimpin oleh Munzir al-Musawa (ketiganya merupakan alumni ponpes Darul Mustafa, Hadramaut, Yaman, sementara Rizieq Shihab adalah alumni King Saud University, Riyadh, Arab Saudi) berhasil menarik minat anak-anak muda Islam tradisional perkotaan (banyak di antara mereka berasal dari etnis Betawi) untuk bergabung.
Sebagai perkumpulan tasawuf, kedua lembaga itu menitkberatkan dakwahnya pada urusan peningkatan ibadah ritual, zikir, shalawat, penyucian jiwa, akhlak, dan kasih sayang pada sesama makhluk Allah. Mereka jauh dari aksi-aksi kekerasan dan politik. Majelis Rasulullah mengalami kemunduran sejak sang pemimpin, Munzir al-Musawa, meninggal dunia pada 15 September 2013. Meski masih berdiri hingga hari ini, namun gaung Majelis Rasusullah sudah tak sekencang dulu lagi.
Selain Jindan bin Novel dan Ahmad bin Novel, ada beberapa habaib alumni Darul Mustafa lainnya yang juga cukup menonjol dalam merepresentasikan habaib tasawuf, di antara mereka adalah Husein bin Hasyim Baagil (Tuban) dan Jamal bin Toha Baagil (Malang).
Habaib Tarekat Alawiyah Lainnya
Sebenarnya ada beberapa tokoh bani Alawy yang juga tergolong dalam habaib yang masih konsisten dengan adab yang diajarkan oleh tarekat Alawiyah. Hanya saja, berbeda dengan bin Novel bin Jindan dkk yang tradisional dalam konteks pendidikan dan cara berpakaian, mereka cenderung modern dan menempuh pendidikan di perguruan-perguruan tinggi ternama di Mesir, Eropa, dan Amerika Serikat, baik dalam bidang studi agama maupun bidang-bidang lainnya seperti sains, filsafat, sejarah, antropologi, dan ekonomi.
Ciri khas mereka lainnya ialah kecenderungan untuk tak memasang gelar habib di depan namanya. Beberapa nama yang menonjol antara lain adalah Quraish Shihab, Haidar Bagir, Ismail Fajri al-Atas, dan Husein Ja’far al-Hadar. Namun tokoh-tokoh ini tak memiliki basis massa.
Selain itu ada pula habib tasawuf NU, yaitu habaib yang menjadi tokoh Nahdatul Ulama. Yang paling terkemuka adalah Luthfi bin Yahya yang menjabat sebagai Rais Aam Jamiyah Thariqah al-Muktabarah an-Nahdiyah (Ketua Umum Perhimpuan Tarekat yang Diakui).
Klaim Tarekat Alawiyah
Selama ini habaib 212 selalu membantah bahwa Rizieq Shihab dan FPI-nya bertentangan dengan tarekat Alawiyah. Mereka berpendapat bahwa kekerasan merupakan bagian sah dalam penegakkan amar makruf nahi munkar dan bahwa mereka setia pada ajaran tarekat Alawiyah.
Dalam salah satu tayangan video, Bahar bin Smith mencela para habib yang kerap mengkritik gaya dakwah yang keras dan kasar. Ia mengatakan justru para habib pengkritik itulah yang melenceng dari tarekat Alawiyah. Lalu ia memberi contoh beberapa habib pada masa lalu yang menegakkan amar makruf dengan tamparan tangan dan lemparan batu.
Dalam wawancara dengan Rafly Harun belum lama ini, Bahar bin Smith menegaskan bahwa dirinya tak mengenyampingkan tasawuf. Ia bahkan mengajarkan tasawuf di pondok pesantren Tajul Alawiyin (artinya Mahkota Kaum Alawy) yang diasuhnya.
Terlepas dari kesahihan atau kebatilan pengakuan Bahar bin Smith soal kesetiaannya pada tarekat Alawiyah, faktanya keterlibatan sejumlah habaib dalam politik praktis dengan pidato-pidatonya yang agitatif dan provokatif, bahkan cenderung kasar dan kotor, merupakan fenomena baru.
Dalam sejarah habaib Indonesia, paling tidak sejak awal kemerdekaan hingga akhir rezim orde baru, belum pernah terdengar ada tren semacam itu. Juga belum pernah terjadi sebelumnya perselisihan tentang kesetiaan pada tarekat Alawiyah antar habaib seperti yang terjadi sekarang ini.
Perselisihan itu memang tidak terlampau terlihat di permukaan lantaran kedua belah pihak tak menunjukkan secara terang-terangan di depan publik.
Para habib tasawuf tak pernah menyebut langsung nama Rizieq Shihab atau Bahar bin Smith dalam ceramah-ceramah mereka. Mereka hanya berbicara secara umum bahwa menyeret kehabiban dalam poitik tak pernah dicontohkan oleh para salaf, dan hendaknya acara maulid Nabi jangan dijadikan ajang penyampaian agenda politik.
Ali al-Jufri, seorang ulama tasawuf asal Yaman, dalam ceramahnya saat mengunjungi ponpes al-Facriyahah di Jakarta pada 2019, juga mengingatkan umat agar tak mudah terhasut dengan seruan-seruan bela Islam dan penegakkan khilafah. Ia juga menekankan tentang pentingnya dakwah dengan kasih sayang, menjauhi caci maki dan kekerasan. Para habib tasawuf juga menolak keras seruan untuk tidak mensalati jenazah orang muslim yang memilih Ahok dalam Pilkada DKI.
Dalam ceramahnya di Istana Bogor pada acara Maulid Nabi, Jindan bin Novel menyampaikan bahwa Islam tak bisa dibela dengan caci maki, melainkan dengan rahmat.
Walau tak menyebut nama, namun orang paham kepada siapa kata-katanya itu ditujukan. Meski Rizieq Shihab tak pernah terdengar mengomentari ceramah-ceramah para habaib tasawuf, gesekan-gesekan di bawah tanah akhirnya muncul juga ke permukaan.
Pada saat riuh rendah kasus al-Maidah dan pilkada DKI, di media sosial beredar rekaman suara dan video berisi cemoohan dan kritikan pedas untuk Jindan bin Novel, Ahmad bin Novel, dan Umar bin Hafidz dari seorang habib pendukung Rizieq Shihab. Ketiga habib itu dianggap telah menggembosi Rizieq Shihab dan gerakan 212.
Selang satu tahun kemudian, terjadi insiden berupa pembacaan doa untuk Rizieq Shihab oleh salah seorang penceramah dan keributan kecil yang melibatkan Luhtfy bin Yahya dan massa habaib 212 pada acara haul tokoh habaib, yaitu Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, di Masjid Riyadh, Solo.
Luthfy bin Yahya menghardik sekelompok orang yang dengan gaduh meneriakkan “2019 ganti presiden”, tepat saat sang habib NU berjalan melewati mereka. Lutfhy bin Yahya meminta orang-orang itu untuk tidak mencemari acara haul dengan agenda kampanye pilpres.
Tak lama setelah video itu viral, panitia acara memberikan klarifikasi di media massa. Mereka menjelaskan bahwa hanya segelintir orang yang berteriak-teriak, dan tempat kejadiannya berada di luar area Masjid Riyadh. Terkait dengan doa untuk Rizieq Shihab, panitia memastikan bahwa itu inisitaif si penceramah sendiri.
Panitia juga menepis tuduhan bahwa pengamanan haul hanya dilakukan oleh FPI. Mereka mengaku melibatkan ribuan anggota Banser untuk mengamankan acara yang dihadiri oleh cawapres Sandiaga Uno itu. Banser adalah ormas yang dikenal memiliki kedekatan dengan para habaib tasawuf, dan beberapa kali terlibat bentrokan dengan FPI.
Ketika ditanya pendapatnya soal Luthfy bin Yahya, Bahar bin Smith memujinya sebagai seorang ulama besar yang ia kagumi dan hormati. Dalam wawancara dengan Rafly Harun itu, ia mengatakan bahwa antara dirinya dan Luthfy bin Yahya hanya berbeda pada cara dakwah, dan itu tak menjadi persoalan lantaran tujuannya sama. Bahar bin Smith menegaskan bahwa habaib berbeda-beda gaya dakwahnya, ada yang lembut dan ada yang keras, tapi tujuannya sama: menghidupkan Islam.
Melihat rekam jejak sikap Bahar bin Smith pada Jokowi dan jajarannya, orang akan dengan mudah melihat itu sebagai jawaban diplomatis, jika tak ingin disebut hipokrit. Bagaimana bisa ia mengatakan tujuan Luthfy bin Yahya dan semua habib sama, sementara pada menit-menit sebelumnya pada wawancara yang sama, ia mencela ulama-ulama yang mendiamkan “kezaliman pemerintah”? Bagaimana ia bisa mengaku menghormai Luthfy bin Yahya, padahal belum kering benar bibirnya setelah berteriak-teriak akan memburu dan menghabisi habaib yang mengkhianati Rizieq Shihab?
Jika habaib yang mengkhianati (maksudnya yang tak berbuat apa-apa saat Imam Besarnya ditahan) Rizieq Shihab saja hendak ia habisi, lalu bagaimana pula dengan habib yang memiliki hubungan begitu dekat dengan Jokowi, seperti Luthfy bin Yahya itu? Maka sangat wajar jika orang akan menangkap apa yang dikatakan Bahar bin Smith tentang Luthfy bin Yahya itu tak lebih dari basa basi politik dan kegentaran semata.
The Winner Takes All
Dan apa pun yang dikatakan Bahar bin Smith soal Luthfy bin Yahya, itu tak akan menutupi fakta segregasi dan friksi halus dalam peta habaib, di mana habaib 212 berhasil menjadi kubu yang menguasai wilayah aktualisasi paling luas, dan hanya menyisakan lahan sempit bagi habaib tasawuf untuk berkiprah.
Liputan media massa dan perbincangan di media sosial yang sedemikian intens terkait kasus-kasus dan sepak terjang Bahar bin Smith, menjadikan dirinya seolah representasi tunggal bani Alawy, bahkan lebih jauh lagi: etnis keturunan Yaman.
Akibatnya, kegeraman dan cercaan publik sering kali tidak hanya ditujukan kepada pribadi Bahar bin Smith saja, melainkan kepada seluruh habaib dan etnis keturunan Yaman, berupa ujaran-ujaran kebencian rasial anti-Arab.
Ini membuat geram sebagian bani Alawy yang jengah dengan perilaku kontroversial Bahar bin Smith. Mereka berpikir alangkah beruntungnya habaib 212 seperti Bahar bin Smith itu; ia yang mengkapitalisasi nasabnya untuk manuver politik, ia yang menikmati segala keuntungannya; memperoleh lahan untuk pondok pesantren, rumah, mobil, dan yang diciumi tangan dan kakinya, namun semua bani Alawy, bahkan semua etnis keturunan Yaman, diharuskan ikut menanggung getahnya.
Habaib tasawuf, Habaib non-212, bani Alawy profesional yaitu para penyanyi, penulis, presenter, model, arsitek. Bani Alawy aktivis toleransi, anti-rasisme, anti-radikalisme. Bani Alawy yang bekerja sebagai pengemudi ojek online, penjaga toko, buruh pabrik. Bani Alawy “sipil” yaitu bani Alawy sekuler yang menganut paham liberalisme, agnostisisme. Dan semua etnis keturunan Yaman, harus ikut merasakan pedih diolok-olok sebagai bangsa pendatang, bangsa penumpang, bangsa pengacau, bangsa penjajah, dan ujaran kebencian lainnya.
Betapa malangnya nasib habaib non-212; sudah “dikalahkan”, masih harus tertimpa serangan ungkapan-ungkapan kebencian rasial gara-gara ulah kaki Bahar bin Smith. Sementara, celakanya, bagi orang semacam Bahar bin Smith, ejekan-ejekan rasial justru sama sekali tak menyakitinya.
Dan kemenangan kubu habaib 212 kian lengkap dengan terpilihnya Taufik Assegaff sebagai Ketua DPP Rabithah Alawiyah dalam Muktamar Nasional ke-25 yang dibuka oleh Wapres Ma’aruf Amin secara virtual di Jakarta, pekan lalu. Habib pengasuh Pesantren Sunniyah Salafiyah, Pasuruan ini, merupakan pendukung kuat Rizieq Shihab dan FPI.
Taufik Assegaff dikenal sebagai seorang habib yang mengharamkan ucapkan selamat Natal. Pada 2019 ia berceramah mewanti-wanti umat agar tak mengikuti fatwa yang membolehkan ucapan selamat Natal, walaupun fatwa itu datang dari seorang habib. Pengharaman itu ia sampaikan tak lama setelah video ceramah Ali al-Jufri yang membolehkan umat Islam mengucapkan selamat Natal, viral di Indonesia.
Dengan demikian, menjadi lebih jelas bahwa terpilihnya Taufik Assegaff akan kian menguatkan arus dominasi habaib 212 vis a vis habaib tasawuf dalam tubuh bani Alawy. Selain itu, secara strategis, terpilihnya Taufik Assegaff diperkirakan juga bakal kian meningkatkan intensitas keterlibatan Rabithah Alawiyah dalam kontestansi politik pada Pilpres 2024 nanti.
Jika itu yang terjadi, gerbong politik habaib 212 yang ditumpangi Bahar bin Smith akan melaju semakin kencang. Dan tak seorang pun tahu, apa lagi yang akan ia lakukan dengan kakinya.[]
Catatan:
*Tarekat Alawiyah adalah ordo sufi yang didirikan oleh Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Sohib Mirbath Baalawy pada abad 12 Masehi di Hadramaut, Yaman. Tarekat ini secara tradisional diamalkan oleh keturunan Faqih al-Mukadam yang dikenal dengan sebutan bani Alawy (Baalawy), termasuk yang ada di Indonesia, dan oleh para muhibbin, yaitu umat Islam tradisional yang memegang teguh ajaran mencintai dan menghormati keturunan Nabi.
Selain di Yaman, penganut tarekat Alawiyah tersebar di negara-negara di kawasan tanduk Afrika, dan Asia Tenggara seperti Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Brunei. Inti ajaran tarekat ini adalah peningkatan ibadah, wirid, zikir, penyucian diri, uzlah (meditasi), adab, akhhlak, dan penebaran kasih sayang kepada seluruh alam. Selain itu, Faqih Mukadam juga memperkenalkan Manhaj Kasru al-Saif (artinya Jalan Patah Pedang). Faqih Mukadam mematahkan pedang di hadapan pengikutnya sebagai simbol ia dan pengikutnya akan menempuh jalan dakwah spiritual yang menjauhkan diri dari kekerasan dan konflik politik.
Faqih Mukadam merupakan keponakan Imam Alwy bin Muhammad Sohib Mirbath Baalawy atau yang dikenal sebagai Ammul Faqih. Salah seorang putra Ammul Faqih bernama Abdul Malik bin Alwy bin Muhammad Sohib Mirbath Baalawy hijrah ke India, menikah dengan putri bangsawan setempat dan menurunkan klan al-Azzamat Khan. Wali Songo dan sebagian ulama NU berasal dari marga ini.
RALAT: Bukan Muanas Alaidid yg saya maksud, tapi Habib Husein Sihab. Wallohu ‘alam….
Mohon maaf.
Luar biasa tulisannya Habib Ben ini. Saya pendukung semua habaib, baik habaib tasawuf, maupun yg lainnya. Saya sangat sangat mencintai HRS dan Abah Habib Lutfi bin Yahya. Bahkan, saya tidak berani ‘menyerang’ Muanas Alaidid krn katanya beliau jg keturunan Rosululloh. Tak bisa dibenarkan orang Islam (awam) spt saya membenci dzurriyat Nabi Muhammad SAW., siapapun dan apapun preferensi politiknya.
Tulisan yang sangat bagus. Sayangnya, sebagai pembaca, saya terganggu secara redaksional: masih banyak typo. Cacatan untuk redaksi. Suwun.
Panjang sekali, tapi tetap saya baca sampai tuntas. Mungkin karena yang nulis juga habib, maka berasa enteng-enteng saja doi sebut nama-nama yang ada habibnya itu tanpa sebutan “habib” di depannya. Terima kasih telah menulis banyak. Tentang bagaimana komentar atau pendapat saya atas perseteruan ini, kali ini saya diam dulu.