Sedang Membaca
Toko Buku dan Masa Lalu
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Toko Buku dan Masa Lalu

Olympus Digital Camera

Pengamatan di toko buku menguatkan kemauan menguak sejarah dan perkembangan penerjemahan di Indonesia. Toko buku mula-mula dimengerti tempat bisa menjelaskan industri penerbitan buku dan selera publik. Henri Chambert-Loir menjelaskan: “Kalau melihat situasi penerbitan di Indonesia sekarang ini, jika misalnya masuk sebuah toko buku yang besar di Jakarta, kita tidak boleh tidak terkesan dengan proporsi buku-buku terjemahan. Rupanya separuh atau malah lebih dari semua buku yang terbit berupa terjemahan.” Di toko buku, ia melihat dan mungkin menghitung buku-buku terjemahan demi pemastian nasib perbukuan di Indonesia.

Berkunjung ke toko buku itu pembuktian dan menghasilkan dokumentasi. Pengunjung bernama Henri Chambert-Loir serius berpikir dan membuat simpulan: “Bahasa sumber yang pertama tentunya bahasa Inggris, disusul bahasa Jepang (karena jumlah fantastis manga yang diterbitkan), kemudian bahasa Arab (di bidang agama), dan keempat bahasa Prancis. Beberapa di antara terjemahan itu (misalnya Harry Potter, novel-novel populer Amerika seperti karya John Grisham, buku perkembangan diri jenis Chicken Soup for the Soul, atau buku pintar untuk mendadak jadi kaya) merupakan best-sellers yang lebih laris dari buku-buku asli Indonesia yang laku paling baik, seperti Laskar PelangiAyat-Ayat Cinta, atau novel Ayu Utami, Saman.”

Kita berpikiran penerjemahan mutakhir. Penerjemahan dalam industri penerbitan dengan pertimbangan pengetahuan, laba, kemonceran, politik, dakwah, dan lain-lain. Kita mengandaikan ada ratusan penerjemah rajin bekerja untuk ratusan penerbit di Indonesia. Publik membeli dan membaca tapi belum tentu terpanggil menilik sejarah penerjemahan telah terselenggara sejak ratusan tahun lalu.

Di majalah Intisari edisi Mei 2004, kita mengenali penerjemah dan kerja berat. Pengamatan Henri Chambert-Loir bahwa Harry Potter edisi terjemahan bahasa Indonesia laris berkaitan dengan si penerjemah bernama Listiana Srisanti. “Saat membaca naskah asli Harry Potter, aku menyadari di dalamnya ada banyak permainan kata dan sajak berirama,” pengakuan penerjemah. Ribuan orang di Indonesia membaca Harry Potter membuktikan ada penerimaan hasil penerjemahan.

Baca juga:  Kitab Tasawuf: Al-Hikam Jawa ala Kiai Soleh Darat Semarang

Keterangan di Intisari memberi pengesahan: “Sukses novel seri Harry Potter versi bahasa Indonesia tampaknya tak bisa dilepaskan dari peran penerjemah. Lewat penerjemahan yang baik dan benar, cerita dunia sihir itu tetap memikat tanpa tercerabut dari akarnya. Pergulatan mencari dan memilih kata-kata terus membayangi si penerjemah selama dua bulan.” Kita perlu juga mengetahui pengalaman penerjemahan sastra-sastra dunia ke bahasa Indonesia meski bukan termasuk buku-buku paling laris. Koesalah S Toer mengungkapkan: “Sastra itu mengandung nilai seni yang di dalamnya juga terdapat keindahan. Saya menikmati keindahannya melalui proses menciptakan kembali ke bahasa kita.”

Bermula kunjungan ke toko buku dan pemberian keterangan mengenai industri perbukuan Indonesia dimenangkan edisi terjemahan, kita diajak membaca cetak ulang Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (2001) dengan editor Henri Chambert-Loir. Buku mendatangi kita masih dalam situasi perbukuan “dikuasai” buku-buku terjemahan.

Pada 2009, Sadur terbit berukuran besar dan tebal. Orang susah memegang dan membaca buku sambil tiduran. Di tatapan mata, buku itu memukau. Dulu, harga terjangkau berdasarkan mutu dan wujud buku. Orang-orang membeli dan mengoleksi. Tahun-tahun berlalu, Sadur susah dicari. Di pasar buku bekas, Sadur  masih mungkin ditemukan dengan harga mahal, melebihi harga resmi saat buku terbit.

Baca juga:  Persembahan dan Pujian

Buku besar itu merepotkan tapi menjadikan pembaca mengerti beragam hal bertema penerjemahan. Pada 2021, diputuskan cetak ulang dengan bentuk berbeda. Buku terbit dalam empat jilid. Henri Chambert-Loir menerangkan kebijakan berdasarkan nasib buku tebal: “… jilid yang tunggal itu besar ukurannya (ukuran kertas A4) dan amat tebal (1160 halaman) dengan akibat susah disimpan di rak buku, susah ditangani dan susah pula dibawa.” Kini, orang berhak membaca buku dalam ukuran wajar, memilih urut atau acak untuk membaca Sadur.

Para pakar memberikan tulisan-tulisan bakal membuat pembaca merenung (terlalu) lama. Kerja dan pengaruh terjemahan selama ratusan tahun menimbulkan album ingatan sulit terbawa semua untuk membandingkan dengan situasi mutakhir. Dulu, tata cara penerjemahan masih ruwet gara-gara beragam hal: dari ritual sampai propaganda ideologi. Kita membaca dengan terkejut dan kebingungan dalam menandai babak-babak penerjemahan di Indonesia. Kita paling mudah mengerti dalam pesona perbukuan abad XX dan XXI.

Di buku jilid III, kita membaca tulisan Michael Laffan berjudul “Menebar Habis Bayang-Bayang Allah.” Di situ, pembaca menemukan beragam istilah politik dari bahasa Arab berdatangan ke Nusantara. Istilah-istilah kadang mendapat pengertian berbeda dalam lakon kekuasaan di Indonesia dengan babak-babak kerajaan atau kesultanan berlanjut pada masa pergerakan politik awal abad XX. Sekian istilah dari bahasa Arab mudah bercap Islam. Lacakan sejarah jauh mengantar pembaca mengingat (lagi) istilah-istilah dari bahasa Arab dan perumusan Pancasila. Sekian istilah sudah diterima dalam bahasa Indonesia digunakan dalam Pancasila.

 Kita simak pula tulisan di buku jilid II berjudul “Ikhtisar Sejarah Penerjemahan Alkitab di Indonesia” oleh Lourens de Vries. Penerjemahan Alkitab ke bahasa-bahasa Nusantara sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu. Pelbagai kesulitan mengiringi hasil terjemahan dalam beragam bahasa. Kerja besar dan mulia turut menghasilkan kamus-kamus beragam bahasa, tak selalu diharuskan demi agama. Lourens de Vries berpendapat: “Kita mungkin saja berpikir bahwa masalah linguistik dari penerjemahan Alkitab ke dalam berbagai bahasa di Indonesia terutama terletak dalam apa yang tidak dimiliki bahasa-bahasa ini, seperti padanan nama-nama jimat atau sinagoge, namun masalah-masalah yang paling memusingkan sering terbukti berasal dari apa yang sudah dimiliki bahasa-bahasa ini.”

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (46): Al-Istilah, dari Pendidikan Pra Nikah hingga Pendidikan Seks ala Pesantren

Kita bisa mendapatkan keterangan melimpah dengan menambahi bacaan berjudul Mengikuti Jejak Leidjdecker: Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-Bahasa Nusantara (2006) susunan JL Swellengrebel. Sejarah panjang dalam penerjemahan Alkitab dilengkapi pembuatan buku-buku tata bahasa dan kamus-kamus. Penerjemahan memang bermisi iman tapi berdampak dalam pendidikan, sosial, kultural, seni, linguistik, politik, dan lain-lain. Hal terpenting memang dalam sumbangan dalam studi bahasa-bahasa di Nusantara.

Penerbitan lagi Sadur dalam empat jilid terbaca makin penting bila kita mengamati tata cara, siasat, dan teknologi penerjemahan sudah terlalu berubah. Kerja penerjemahan mulai dimudahkan oleh aplikasi atau pemanjaan dari alat-alat teknologi. Sejarah ratusan lalu itu tetap terbaca saat kita mengalami hidup tak terlalu disulitkan dengan kehadiran pelbagai bahasa di keseharian. Di Indonesia, kita makin mengerti penerjemahan “wajib” dipentingkan dalam misi-misi besar meski ada seruan dalam pemuliaan bahasa Indonesia. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top