Masa demi masa, harga rokok naik. Kaum perokok mengeluh sejenak tapi asap terus bertebaran dari mulut dan hidung. Dunia masih berasap. Tangan-tangan itu masih bermesraan dengan batang-batang rokok. Konon, hidup tak berapi dan tak berasap terasa murung.
Pengenalan dan pembesaran kenikmatan merokok dilakukan oleh pelbagai perusahaan dengan iklan. Mereka beriklan di koran, majalah, radio, dan televisi sebelum mendapat ketentuan-ketentuan pelik. Pada masa lalu, iklan-iklan menjadikan rokok dan perokok memuja kenikmatan. Merokok itu tindakan mengikutkan beragam imajinasi, hasrat, dan misi. Iklan-iklan pun bersaing dalam mengajukan bahasa, gambar, tokoh, tempat, benda, dan warna.
Sejarah iklan rokok hampir seabad bila kita membaca buku berjudul Siasat Mengemas Nikmat: Ambiguitas Gaya Hidup dalam Iklan Rokok di Masa Hindia Belanda sampai Pasca Orde Baru, 1925-2000 (2019) garapan Bedjo Riyanto. Judul itu panjang mengalahkan panjang batang rokok. Buku berasal dari disertasi, mengajak pembaca berpikiran serius tapi boleh diselingi cengengesan.
Sejarah teringat: “Produk rokok dan tembakau sebagai industri manufaktur dengan sistem produksi modern telah masuk ke Hindia Belanda sejak akhir abad XIX. liberalisasi ekonomi yang diberlakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda tahun 1870-an telah memberikan peluang bagi pemodal asing untuk menanamkan modalnya di Hindia Belanda.” Kita mengetahui kedatangan pemodal asing dan usaha-usaha diselenggarakan kaum bumiputra. Tanah jajahan pun berasap. Rokok merajalela berbarengan lakon “kemadjoean”.
Iklan-iklan bermunculan mengajak orang-orang di Hindia Belanda merokok. Pelbagai acara bersponsor rokok sudah lazim sejak awal abad XX. Kita pun masih mungkin mengerti perdagangan rokok masa lalu melalui peran toko di pelbagai kota. Toko Liem Wie Tik di Warung Pelem (Solo) beriklan di Retno Doemilah edisi 22 April 1889: “Magzijn besar darie ropea-roepa matjem rokok Olanda, Havana dan Manila njang aloes.” Toko-toko menjual rokok beragam merek, menggoda orang-orang menjadi perokok berimajinasi internasional (Amen Budiman dan Ong Hok Ham, Hikayat Kretek, 2016).
Hari-hari berasap dipengaruhi iklan-iklan. Sejarah dan perkembangan iklan rokok menjadi acuan bagi kita mengerti desain dan keberagaman (tema) visualitas. Masa lalu bisa terlihat dan terbaca dalam iklan-iklan rokok meski mengalami perubahan drastis pada masa 1990-an. Bedjo mencatat: “Iklan rokok berangsur-angsur mengalami perubahan semenjak semakin gencarnya aksi protes dari gerakan pembatasan dan antirokok dunia pada dasawarsa 1990-an. Sejak itu iklan rokok perlahan semakin menjauhi visualisasi penjualan langsung yang menunjukkan produk rokok ataupun merokok. iklan-iklan rokok lebih memilih pendekatan yang bersifat metaforik dan simbolik dalam langkah-langkah penetrasi pasarnya.”
Kita ingin membuktikan dan membandingkan dengan membaca buku berjudul Penebar Rayuan: Iklan Rokok di Majalah Tahun 1990-an (2022) garapan Widyanuari Eko Putra. Buku digarap bermula iseng, girang, dan penebusan dari situasi hidup tak keruan selama wabah. Buku bukan berasal dari tesis atau disertasi. Kita bakal membaca dengan cara enteng dan penggalan-penggalan.
“Ide untuk menyusun buku ini datang saat saya tengah dilanda kebosanan setengah mati,” pengakuan penulis atau juru kliping iklan rokok. Kita dianjurkan untuk membaca buku tanpa harus “kebosanan setengah mati.” Kita justru bergairah mengingat masa lalu dengan temuan dan tafsiran iklan-iklan rokok di puluhan majalah. Kita maklum saja bila pindain iklan tercetak di buku melulu hitam-putih, tak berwarna seperti asal saat termuat di halaman-halaman majalah.
Ketekunan merokok dan mengurusi iklan-iklan rokok menghasilkan keterangan: “Tiap perusahaan rokok ingin punya citra khas terkait produk mereka. Lewat iklan, mereka berupaya membangun citra itu. Djarum Super, misalnya, getol menampilkan diri sebagai rokoknya para petualang. Lalu, ada Sampoerna Mild yang gemar unjuk citra sebagai rokok dengan kandungan tar rendah, disajikan spesial bagi perokok yang mengaku punya mutu hidup tinggi. Juga Wismillak kretek yang gemar membangun citra produknya sebagai rokoknya penyuka seni kelas tinggi. Gudang Garam, pernah dalam salah satu iklannya, menegaskan dirinya sebagai rokoknya para lelaki berselera.” Nama-nama rokok itu terkenal, akrab bagi kita di Indonesia. Iklan-iklan menambahi “ketagihan” memikirkan rokok meski di keseharian kita mudah melihat bapak, saudara, teman, tetangga, atau orang lain sedang merokok “ini” dan “itu”. Mereka mengaku fanatik, setia, dan berpihak.
Pada saat berkumpul, para perokok berbagi pengalaman dan berani berdebat keunggulan rokok dan mengejek selera orang lain. Mereka berargumentasi sambil pamer asap dan bungkusan rokok. Omongan-omongan mereka mungkin dipengaruhi pula oleh iklan-iklan diketahui di koran, majalah, radio, dan televisi. Iklan-iklan di sepanjang jalan makin membuat perokok menentukan sikap dan membahasakan selera di hadapan orang lain. Iklan-iklan terbukti berguna dalam perdebatan, bualan, dan omong kosong. Di kepala mereka, ada iklan-iklan paling mengesankan dan teringat sepanjang masa. Mereka merokok dan memelihara imajinasi-imajinasi dari pelbagai iklan.
Iklan-iklan rokok dicari, ditandai, dan dijelaskan. Ratusan iklan mengajak berpikir beragam hal. Tulisan-tulisan pendek dihasilkan tanpa harus ramai kepustakaan. Kemauan menulis tentang iklan rokok itu keberanian dan kesanggupan dalam mengawetkan masa lalu. Di sela melihat iklan-iklan rokok, ada kejutan saat melihat kartun di majalah Humor edisi Mei 1995. Iklan istirahat dulu, tergantikan kartun bikin penasaran.
Wawancara orang dari majalah Humor bersama Anton M Moeliono memang berkaitan bahasa Indonesia. Ahli bahasa itu menulis buku-buku berpengaruh dalam perkembangan bahasa Indonesia. Berpikir bahasa tak melupa merokok. Anton M Moeliono mungkin memiliki pedoman merokok secara “baik dan benar”.
Kita simak deskripsi dari kartun: “Yang membuat saya agak terhibur ialah kartun yang tertera pada wawancara tersebut. Sosok Pak Anton hadir dalam citra yang berbeda, tak lagi pendekar bahasa. Di kartun, Pak Anton tampak tengah duduk dan di hadapannya ada sebuah meja dengan tumpukan kertas nyaris setengah meter. Ada kopi hitam di situ, tampak masih utuh. Dan, di hadapan Anton persis sebuah asbak besar berisi puntung rokok. Pendekar bahasa itu rupanya perokok berat…” Kita agak bermufakat bahwa para pemikir dan seniman itu terbiasa merokok. Kita menunduk cengengesan sambil berpikir perkembangan bahasa Indonesia masa Orde Baru dipengaruhi rokok. Begitu.
Judul : Penebar Rayuan: Iklan Rokok di Majalah Tahun 1990-an
Penulis : Widyanuari Eko Putra
Penerbit : Beruang Cipta Lestari
Cetak : 2022
Tebal : 314 halaman
ISBN : 978 623 6494 17 2