Lelucon itu mengakibatkan “keseriusan”. Pengutipan lelucon menimbulkan “resah” polisi dan kebingungan publik. Di Indonesia, polisi mulai memiliki “tugas” mengurusi lelucon. Orang berinisial IS mengunggah lelucon Gus Dur bertema polisi. IS dipanggil Polres Kepulauan Sula untuk permintaan klarifikasi, 12 Juni 2020. IS mengaku memperoleh lelucon Gus Dur dari internet. Ia tak membaca buku Gus Dur. Kutipan ditemukan di internet diunggah di media sosial terbaca publik.
Polisi lekas bertindak. Pihak polisi mengabarkan dalam klarifikasi itu IS minta maaf. Pihak polisi memaafkan. Kabar mengesankan IS bersalah. Polisi meminta keterangan pada IS mengenai unggahan lelucon. IS menerangkan tak bermaksud jahat dengan unggahan lelucon dimoncerkan Gus Dur. Pada masa wabah dan suasana tak keruan, polisi menambahi “tugas” mengurusi lelucon. Polisi bertambah sibuk gara-gara menjadi pokok perbincangan orang-orang setelah pemanggilan IS dan permintaan maaf. Kini, orang-orang memberi komentar-komentar atas sikap polisi. Orang-orang pun mengingat Gus Dur.
Kita memilih mengingat Gus Dur melalui iklan buku di masa lalu. Kita mengaku kaum buku, berhak mengingat Gus Dur melalui buku dengan lacakan-lacakan terbatas. Tempo edisi 19-25 Mei 2008 sajikan menu khusus dijuduli “Indonesia yang Kuimpikan: 100 Catatan yang Merekam Perjalanan Sebuah Negeri”. Redaksi menunaikan kerja besar melibatkan kalangan intelektual dalam pemilihan teks. Kita simak penjelasan redaksi: “Sebulan lebih diskusi demi diskusi dilakukan, untuk kemudian kami bisa yakin memilih 100 teks itu. Teks kami kategorikan bukan berdasarkan peringkat, melainkan berdasarkan jenisnya: buku, novel, puisi, maklumat, pidato, surat, catatan harian, polemik, laporan jurnalistik, peta, atlas, ensiklopedia, dan kitab undang-undang.”
Di nomor 79, kita bertemu buku berjudul Melawan Melalui Lelucon (2000). Buku terbitan Pusat Data dan Analisa Tempo. Buku berisi esai-esai garapan Gus Dur, 1975-1983. Gus Dur dalam esai-esai membahas beragam tema. Ia memiliki sikap dan siasat untuk menanggapi ulah rezim Orde Baru. “Kritik terhadap Orde Baru ibarat tabu pada masa itu,” tulis di Tempo. Gus Dur sengaja menaruh humor-humor mengandung kritik dalam esai-esai. Mohammad Sobary memberi pendapat atas buku: “Humor dalm tulisan ini mencairkan kemarahan mereka yang dikritik.” Gus Dur itu humoris. Di Tempo, pembahasan buku cuma 3 paragraf tapi memastikan Melawan Melalui Lelucon adalah buku berpengaruh di Indonesia.
Pada tahun-tahun sebelum pemilihan 100 teks, kita menemukan iklan di Tempo edisi 8 Oktober 2000. Iklan berukuran kecil: “Tersedia kumpulan kolom Abdurrahman Wahid di Tempo.” Iklan untuk buku Melawan Melalui Lelucon. Orang-orang bisa mendapatkan di toko buku terdekat. Harga buku Rp 30.000. Orang gagal mendapatkan di toko buku masih bisa membeli dengan menghubungi bagian sirkulasi majalah Tempo: Jl Penataran 9 Jakarta Pusat. Pada masa 2000-an, tata politik Indonesia masih semrawut. Orang-orang gambang sebar fitnah dan marah. Hidup bergelimang masalah. Buku itu mengingatkan orang-orang agar tertawa untuk apa saja. Tertawa bukan larangan. Ingat, Soeharto sudah turun dari takhta!
Judul buku itu seru dan lucu. Judul mengacu ke esai berjudul “Melawan Melalui Lelucon” dimuat di Tempo, 19 Desember 1981. Esai sehalaman digenapi foto. Dulu, orang membaca mungkin mesem atau tertawa keras mengikuti cara berpikir Gus Dur. Tempo itu bacaan orang-orang “kuliahan”, kaum intelektual, dan manusia-manusia di kota. Kaum politik dan saudagar pasti membaca demi mengerti hal-hal terbaru terjadi di Indonesia. Episode Gus Dur dekat Tempo. Orang-orang gampang mengingat foto khas adegan Gus Dur sedang mengetik di kantor Tempo. Pada masa 1970-an dan 1980-an, Gus Dur keranjingan menulis, memberi “santapan” berpikir dan menghibur bagi pembaca Tempo. Mohammad Sobary lumrah mengatakan tulisan Gus Dur “disesuaikan dengan semangat majalah berita Tempo.”
Gus Dur dan Tempo memiliki masa lalu berjalinan erat demi memuliakan Indonesia. Berjalinan dengan keberanian memberi kritik mengarah ke rezim Orde Baru. Dulu, orang-orang mengingat Gus Dur berarti mengingat Tempo. Pada masa setelah keruntuhan Orde Baru, hubungan Gus Dur dan Tempo masih erat tapi dalam suasana dan tatacara berbeda. Penerbitan buku oleh PDAT Tempo membuktikan Gus Dur dan Tempo saling memiliki. Mereka pun dimiliki publik. Buku terbit memuat tulisan-tulisan lama, tak bermaksud nostalgia saja. Esai-esai Gus Dur tetap terbaca “aktual” dan menjadi referensi memikirkan Indonesia.
Gus Dur (1981) mengingatkan: “Protes dengan lelucon memang tidak efektif, kalau dilihat dari sudut pandang politik…. Akan tetapi, lelucon sebagai wahana ekspresi politis sebenarnya memiliki kegunaannya sendiri. Minimal, ia akan menyatukan bahasa rakyat banyak dan mengidentifikasi masalah-masalah yang dikeluhkan dan diresahkan.” Tulisan lawas berkhasiat, selalu bermakna bila terbaca dan terkutip pada masa-masa berbeda. Tulisan itu mungkin belum dibaca oleh IS atau pihak polisi saat meminta klarifikasi. Mereka tak membaca buku berpengaruh di Indonesia berjudul Melawan Melalui Lelucon (2000). Kini, buku itu mungkin langka dan berharga mahal di perdagangan buku bekas daring. Orang-orang masih mungkin membaca esai-esai Gus Dur dengan membeli edisi terbitan LKiS berjudul Tuhan Tidak Perlu Dibela (1999). Buku terbitan PDAT Tempo dan LKiS kompak menampilkan wajah Gus Dur tertawa di sampul.
Kita ingin mengingat “lelucon” kecil pernah dibuat oleh Tempo dalam membuktikan berjalin erat dengan Gus Dur. “Lelucon” turut bermisi melariskan Tempo dan mengantarkan buku Melawan Melalui Lelucon pada para pembaca terhormat. Di majalah Tempo edisi 25-21 Mei 200, pembaca menemukan kertas tambahan. Kertas penting bagi pembaca Tempo dan pengagum Gus Dur. Kertas itu pengumuman dan “bekal” mendapat buku. Kita membaca: “Anda ingin tahu cara berfikir Gus Dur yang sesungguhnya?” Jawaban dari pihak Tempo meminta mufakat para pembaca: “Tak perlu bertemu langsung dengan Gus Dur untuk mengerti cara berfikirnya. Cukup dengan membaca kolom Gus Dur. Dapatkan gratis dengan mengirimkan 4 buah guntingan barcode majalah Tempo dari enam edisi terakhir: edisi 2906-2911/10 April-15 Mei 2000.”
Para pembaca rutin membeli Tempo berhak mendapat Melawan Melalui Lelucon secara gratis. Petunjuk wajib dilaksanakan pembaca: “Tempelkan di belakang lembaran ini dan dapatkan hadiah langsung sebuah buku kumpulan kolom Gus Dur, Melawan Melalui Lelucon.” Orang diajak berkerja keras demi mendapatkan buku, demi membaca esai-esai ampuh buatan Gus Dur di masa lalu. Pembaca bisa menukarkan “bekal” itu ke studio radio di pelbagai kota: Anita FM (Tegal), Damashinta FM (Pekalongan), RCT FM (Semarang), Sas FM (Solo), Yasika FM (Jogjakarta), Polaris FM (Magelang), Pro 2 FM (Purwokerto), dan Inti Media Agency (Cilacap). Batas waktu penukaran: 20 Mei 2020. Kini, kita mengingat Gus Dur dengan buku dan siasat Tempo dalam menjual atau memberikan buku pada para pembaca. Begitu.