Di sejarah lawak Indonesia, kita mengenali tokoh dengan tubuh tinggi dan gagah. Ia biasa bermain dalam Srimulat. Panggilan untuk si pelawak mirip tokoh dalam film terkenal di dunia. Ia mampu menghasilkan lucu-lucu, bukan teriak atau bergelantungan di pohon. Kita mengingat Tarzan. Ia bernama asli Toto Muryadi.
Sosok lucu tapi tampak memiliki gairah militeristik. Ia kadang berpenampilan mirip tentara. Penampilan memang mengagumkan meski kita selalu mengenali ia tetap pelawak. Kita menduga ada impian masa kecil ingin diwujudkan meski tak mutlak. Pada masa dewasa, ia malah berada dalam industri tawa, bukan berperan sebagai tentara. Lelaki bukan membawa senjata tapi rumus dan keajaiban mencipta tawa untuk ribuan orang di Indonesia.
Tarzan mengingat situasi 1965. Kesadaran tentang nasib Indonesia, peran tentara, dan dampak melawak. Ia menjadi saksi dan ikut ambil peran demi keselamatan Indonesia. Pada masa bergejolak, ia bersama tentara.
Pada masa Orde Baru, tertawa dan tentara cukup akrab. Kita mungkin melupa. Tentara dalam ingatan publik sering galak, ketakutan, marah, atau kekerasan. Tentara mudah teringat berlatar 1965 atau 1998. Di arus perkembangan tentara, tertawa itu ada.
Lakon besar Orde Baru justru membuat anak-anak di seantero Indonesia ingin menjadi tentara. Mereka mengetahui tentara berada di desa-desa demi pembangunan nasional. Tentara sering tampak dalam acara-acara akbar. Impian menjadi tentara melanda sambil berpikiran kelak menjadi pejabat atau presiden.
Pembuat tawa di Indonesia malah ingin menjauh dari gagasan tentara. Di majalah Tempo, 17 November 1979, berita pernikahan Dono (Warung Kopi Prambors) dan Titi Kusumawardhani. Bermula pertemuan di acara kampus (UI), mereka berlanjut mencipta lakon pernikahan. Mereka ingin memiliki dua anak sesuai anjuran pemerintah. Dono berkata: “Tapi, saya tak ingin anak saya jadi tentara.” Di situ, Dono tak memberi argumentasi atau pengisahan. Kita menduga ia mengerti tentara berlatar masa 1960-an dan 1970-an. Sosok lucu itu mungkin ingin memiliki anak-anak memilih tawa ketimbang teriak-teriak militeristik.
Dono mungkin memiliki masalah dengan tentara. Di film-film, ia memang kurang menunjukkan gagasan atau sikap terhadap kaum militer. Di panggung-panggung, ia biasa memberi lelucon tapi penuh perhitungan bila berkaitan pemerintah dan militer. Ia sadar hidup di Indonesia memiliki sejarah rumit mengacu militer.
Pada masa 1970-an, kita berusaha mengingat hubungan tertawa dan tentara. Kita membuka majalah Tempo, 17 April 1976. Foto perempuan gembrot. Ia biasa dikenali sebagai Ratmi B-29. Konon, ia menjadi perintis bagi kaum perempuan tampil sebagai pelawak atau bergerak di arus humor.
Di situ, kita menemukan masalah tertawa dan tentara. Kita mengutip: “Masuk akal kalau Laksamana Muda TNI A Wiriadinata (sekarang Wagub DKI Jaya; ketika itu komandan Kopassus) sampai nyeletuk ‘ini bomber kita’ – setiap kali si gendut muncul di pentas menghibur keluarga TNI-AU Bandung, 1960-an. Bomber atau B-29 adalah jenis pesawat pembom terbesar saat itu. Maka sekalipun nama aslinya Suratmi, sejak itu orang lebih suka memanggilnya dengan Ratmi B-29.” Pelawak dengan tubuh gembrot atau gendut biasa menghibur para tentara. Suratmi (1932-1977) mengajak tentara-tentara tertawa.
Sejak 1955, ia tampil di acara-acara tawa. Ia mendapat nafkah dan ketenaran. Di arus tertawa, Ratmi B-29 pun bertemu jodoh dan bercerai. Hidup tak selalu tertawa. Masalah-masalah sering menimpa tapi janji dipenuhi: mengajak orang-orang tertawa.
Pada masa 1960-an, ia terus melawak. Bandung ditingglkan untuk bertaruh nasib di Jakarta. Nasib itu tertawa. Ia bekerja di panggung hiburan, ia berkelana dalam tawa. Nama makin tenar. Di majalah Tempo, kita membaca: “Sejak itu antara lain ia pernah ikut dalam kegiatan kesenian yang dikoordinir oleh Kodam V Jaya. Bahkan, juga sempat tinggal di asrama Jagamonyet, Jalan Suryopranoto, segala. Pernah pula menghibur bersama almarhum Bing Slamet, Bagyo, dan Tan Tjeng Bok.” Kita memastikan tentara-tentara di Indonesia berhak tertawa. Mereka memerlukan hibura. Ratmi B-29 diakui pemicu tawa tanpa tandingan.
Lakon itu dimulai sejak lama dalam biografi Ratmi B-29. Ia memiliki bapak bernama Salimin asal Jogjakarta. Dulu, bapak ikut KNIL. Ratmi B-29 mengerti suasana hidup militer. Pada saat ia menjadi pelawak, urusan tertawa dan tentara tak terlalu rumit. Ia justru menghendaki para tentara tertawa ketimbang marah-marah dan teriak-teriak bersaing perintah. Begitu.