Sedang Membaca
Pendokumentasian Haji: Agama dan Politik
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Pendokumentasian Haji: Agama dan Politik

Dokumentasi haji penting untuk tersimpan dan terbaca berulang berjudul Perjalanan Ibadah Haji Pak Harto (1993). Buku berisi kliping dari puluhan koran dan majalah. Kita ingin membaca lagi buku tebal terbitan Gunung Agung untuk mengenang masa lalu. Kita mendingan mulai dulu dengan membaca majalah Tempo edisi 6 Juli 1991. Majalah itu pamer gambar di sampul: Pak Soeharto dan Ibu Tien Soeharto. Gambar oleh Oentarto H. judul di sampul: “Umat Islam dan Pak Harto.”

Bey Arifin, ulam dan penulis buku-buku lari, pernah berujar bahwa Indonesia pantas malu gara-gara negara berpenduduk Islam terbesar di dunia tapi Presiden belum pergi haji.” Peristiwa Soeharto dan keluarga naik haji, pulang dengan selamat mengubah anggapan dulu. Bey Arifin berkata: “Bagi saya, Pak Harto dan sekeluarga naik haji merupakan peristiwa paling menggembirakan.” Ibadah haji mengubah tata politik dan gejolak pemahaman Islam di Indonesia. Para tokoh berkomentar dan memberi usulan-usulan. Pengarang dan kolumnis lucu Mahbub Djunaidi gambalng mengusulkan agar Pak Harto diberi gelar amirulmukminin. Imaduddin Abdulrahim menginginkan KH Kosim Nurzeha mendapat bintang kehormatan. Ulama itu dikenali sebagai penasihat rohani Soeharto dan keluarga, mendampingi pula dalam ibadah haji.

Soeharto bergelar haji memicu beragam tanggapan. Indonesia jadi riuh oleh pujian dan kritik gara-gara Soeharto sudah beribadah haji. Orang-orang berharap agar terjalin hubungan mesra antara Soeharto dan umat Islam. Harapan berlebihan di tahun menjelang Sidang Umum MPR dan pemilihan presiden. Gus Dur lekas mengingatkan bahwa Soeharto itu milik seluruh bangsa. Soeharto bukan cuma milik umat Islam. Indonesia itu berdasarkan ideologi Pancasila dan memiliki UUD 1945. Di laporan utama, redaksi Tempo mengingatkan bahwa Soeharto naik haji sebagai pribadi (muslim), “bukan haji politik.” Kita pantas mencatat tanggapan Dawam Rahardjo di kolom berjudul “Mandito”. Ia mengusut sejarah berkaitan hubungan penguasa dan Islam. Pemikir sosial dan penulis cerpen itu merekam situasi: “Kaum muslimin pada umumnya snagat bersyukur karena kepala negara mereka sudah naik haji. Tapi, ada pula orang, yang menurut Pak Probo, yang menafsirkannya sebagai ‘haji politik’. Orang yang berani punya pikiran seperti itu umumnya dijuluki jail methakil alias mengada-ada dan berpikiran jahat.” Tempo edisi itu santun. Catatan pinggir oleh Goenawan Mohamad tak mengaitkan dengan haji. Dulu, Goenawan Mohammad pernah menulis laporan untuk umroh Soeharto (1977).

Baca juga:  Saat Jadi Imam, Ulama Terkemuka Waqidi Salah Baca Alquran

Kini, kita membaca lagi Tempo untuk mengingat situasi Indonesia di masa Orde Baru. Soeharto naik haji sanggup menghebohkan pihak-pihak berpikiran politik dan agama. Peristiwa penting tercatat di sejarah Indonesia. Penerbitan buku dokumentasi dianggap lazim. Soeharto sudah lama berkuasa tapi memilih jadwal naik haji saat usia 70-an tahun. Konon, beliau sibuk berpikir dan bekerja demi Indonesia. Selama ratusan tahun, kekuasaan di Indonesia memang terhubung dengan Tanah Suci. Sejarah para elite politik memerlukan sejenis pengesahan dan kewibawaan di peristiwa naik haji. Soeharto berada di alur sudah terbentuk sejak lama. Pembeda adalah kehebohan opini mengacu ke kebijakan dan sikap Soeharto terhadap gerakan (umat) Islam, sebelum dan setelah bergelar haji.

Kita beralih ke majalah Femina edisi 11-17 Juli 1991. Sehalaman laporan dilengkapi foto hitam-putih. Simpulan bermakna: “Kini Presiden bergelar Haji Muhammad Soeharto, sedangkan Ibu Tien bergelar Hajjah Siti Fatimah Hartinah.” Sejak pulang dari Tanah Suci, orang-orang mengenali penulisan HM Soeharto, tak lagi cuma Soeharto. Peristiwa naik haji mengubah nama dan dampak ke sosial-kultural-politik. Pada masa 1990-an, Indonesia memiliki sejarah dipengaruhi peristiwa dan gelar.

Kita mulai membuka halaman-halaman buku berjudul Perjalanan Ibadah Haji Pak Harto. Berita-berita di puluhan koran dan majalah hampir sama. Kita gampang bosan tapi harus jeli untuk mengenang masa lalu. Pelita, 17 Juni 1991, memberi deskripsi apik mengenai acara sebelum keberangakatan ke Tanah Suci. Di rumah beralamat di Jalan Cendana, Jakarta, ada acara pengajian. Laporan wartawan: Soeharto mengenakan sarung dan kemeja putih. Penampilan itu membedakan pemaknaan politik saat publik melihat Soeharto berpakaian resmi dalam acara-acara kenegaraan. Soeharto bersarung itu bukan kejutan asal kita mengenang beliau dulu berasal dari desa dan mencari ilmu di institusi pendidikan di naungan ormas besar.

Baca juga:  Lie Kim Hok: Tokoh Pers Tionghoa Peranakan

Kebersahajaan Soeharto dan keluarga saat beribadah terdapat di berita Jawa Pos, 22 Juni 1991: “Presiden Soeharto, Ibu Tien, dan keluarga benar-benar memilih wukuf di tenda biasa bersama jemaah haji asal tanah air, tidak di perkemahan khusus tamu Kerajaan Saudi dekat Masjid Namirah.” Berita di Pelita, 24 Juni 1991, mengutamakan makna thawaf: “Bahkan sehabis putaran terakhir, Pak Harto, Ibu Tien, putra-putri, para menantu dan segenap rombongan dapat mencium Hajar Aswad, suatu kesempatan yang sangat didambakan setiap kaum muslimin yang mengerjakan haji atau umrah.”

Pada 27 Juni 1991, HM Soeharto dan keluarga tiba di Indonesia. Kepulangan sudah dinantikan para pejabat dan jutaan penduduk Indonesia. Berita penting dibaca lagi ada di Suara Karya, 27 Juni 1991: “Raja Fahd bin Abdul Aziz dari Arab Saudi memberi nama tambahan ‘Muhammad’ kepada Presiden Soeharto dan nama ‘Siti Fatimah’ kepada Ibu Tien Soeharto. Pemberian nama itu bukan merupakan bagian dari ibadah haji, tetapi sekedar tradisi yang masih berlangsung sampai sekarang.” Kita jadi mengerti bahwa sejak 1991, penulisan nama di pelbagai kertas, spanduk, poster, atau baliho mulai HM Soeharto (Haji Muhammad Soeharto). Ibadah haji dan nama itu menjadikan penguasa Orde Baru memiliki janji ingin memberikan pengabdian lebih besar ke negara dan bangsa. Beliau terus memajukan pembangunan nasional.

Baca juga:  Adu Kecerdasan antara Al-Baqillani dengan Raja Romawi

Penerbitan buku dokumentasi itu memang membuat kita teringat, malu jika lupa. Buku-buku dengan tokoh berbeda di kalangan politik, pengusaha, artis, dan seniman terus terbit: memberi bacaan mengenai ibadah haji. Buku berjudul Perjalanan Ibadah Haji Pak Harto memang menjemukan, kalah seru dengan buku Danarto berjudul Orang Jawa Naik Haji. Kita membaca lagi demi mengawetkan ingatan sambil menunggu buku-buku dokumentasi ibadah haji dari para tokoh besar di Indonesia abad XXI. Dulu, Menteri Agama Tarmizi Taher berpesan bahwa buku itu diharapkan mengajak pembaca “lebih mengenal lebih dekat seluk beluk ibadah haji sekaligus mengenal lebih dekat lagi Bapak H Muhammad Soeharto dan Ibu Hajjah Siti Fatimah Soehartinah serta keluarga.” Begitu. (aa)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top