Di pidato atau penulisan halaman sambutan, salam berbeda nasib. Salam dalam bahasa Arab terdengar dan terbaca memiliki makna tak sama. Di ucapan, kita biasa mendengar salam secara lengkap atau berhenti dalam pendengaran: “assalaamu’alaikum” saja. Di tulisan-tulisan sambutan, salam sering tak ditulis lengkap mungkin ingin ngirit atau kebiasaan belum memiliki argumentasi. Di situ, kita membaca “wr wb”. Singkatan digunakan juga dalam undangan atau pengumuman untuk publik. Kita jarang mau ribut atau menggelar konferensi membahas salam. Pengecualian adalah tafsir atau ulasan salam oleh para ulama terdapat dalam buku-buku agama.
Kemarin, debat sengit justru masalah salam disampaikan para pejabat. Sekian pihak menginginkan salam berbahasa Arab saja. Pihak berbeda memperkenankan mengucap sesuai kaidah sekian agama atau adat. Joko Widodo terus memberikan contoh di awalan pidato atau bicara di depan publik. Debat sudah surut, tak lagi rumit oleh argumentasi agama saja. Tata kehidupan berbangsa-bernegara memungkinkan argumentasi beragam dalam penghormatan dan memberikan doa dalam setiap perjumpaan dan kebersamaan.
Di pengajian-pengajian, penceramah kadang mengulang salam dengan nada bertambah keras, meminta jawaban jemaah: kompak, keras, dan lengkap. Penceramah tak lupa menjelaskan dulu arti salam. Kebiasaan itu belum memicu penulisan disertasi mumpuni kelak menerangkan ke publik. Kita menunggu saja. Cerita berbeda teralami di desa-desa di Jawa. ucapan “kulonuwun” berbarengan atau setelah mengetuk pintu berganti salam berbahasa Arab. Hal itu bersambung ke kebiasaan orangtua mengantar anak sekolah. Turun dari sepeda motor atau mobil, si anak mencium tangan bapak atau ibu disempurnakan mengucap salam. Berjalanlah si anak menuju kelas! Peristiwa agak membingungkan bila para mahasiswa atau kaum muda berkumpul berlagak diskusi, setiap orang mau berpendapat atau menanggapi dimulai dengan mengucap salam.
Kita ingin membuka masa lalu berkaitan salam. Kita tak membuka buku-buku agama atau tata krama. Buku memuat masalah salam berjudul Puisi Mbeling (2004) garapan Remy Sylado. Ia menulis ratusan puisi mbeling, berani memberi kritik atas kebiasaan penulisan salam sering dilakukan para pejabat atau pihak-pihak peniru. Ia memang pakar bahasa, sregep sinau pelbagai agama, menguasai sekian bahasa, memiliki kelucuan, dan keranjingan menggubah teks sastra. Kita membaca untuk mengerti kritik berlatar masa lalu, bersinggungan agama tapi tak perlu menimbulkan hujatan, demonstrasi, atau pengadilan.
Puisi berjudul “Menyingkat Kata”, puisi boleh dibacakan dalam ceramah, pidato, atau pembuka diskusi publik, Puisi boleh juga dibaca dan diobrolkan sambil minum kopi, makan gorengan, dan merokok. Kita simak: karena/ kita orang indonesia/ suka menyingkat kata wr. wb/ maka/ rahmat dan berkah ilahi/ pun/ menjadi singkat/ dan tidak utuh buat kita. Ia menulis puisi itu gara-gara belajar dengan kesungguhan masalah agama dan bahasa. Ia tentu mengerti watak manusia Indonesia terbentuk oleh sejarah, kekuasaan, sosial-kultural, dan pengalaman keberagamaan. Puisi penting dan mbeling. Pada masa sekarang, puisi terbaca terasa lucu tapi membikin kita malu. Puisi meminta kita insaf dan melacak lagi nasib salam dalam kebiasaan penulisan kata sambutan atau pidato klise.
Umat Islam mengerti kepanjangan “wr wb”. Usaha menulis lengkap sering tergoda dengan pesta singkatan dan akronim berlangsung di Indonesia masa awal Orde Baru. Puisi itu digubah Remy Sylado sebelum 1972. Kita mengandaikan Indonesia masa lalu sedang membentuk kesopanan atau kepatutan melalui salam berbahasa Arab. Salam itu “bermasalah” dalam penulisan ketimbang pengucapan. Tafsir oleh Remy Sylado mengejutkan bagi pembaca terbiasa kalem dan menjauhi debat-debat agama. Salam disingkat mengakibatkan “rahmat dan berkah ilahi pun menjadi singkat.” Kita mesem dan malu. Begitu.