Puluhan hari, orang-orang berpredikat murid, mahasiswa, pegawai, atau saudagar cuma bisa memandangi sepatu-sepatu. Kaki sudah kangen ingin bersepatu. Sekian sepatu menganggur lama, tak bergerak ke pelbagai tempat.
Wabah mengajak orang-orang mengistirahatkan sepatu. Pandangilah dan berceritalah sepatu ketimbang bengong dan uring-uringan! Sepatu-sepatu itu bisa memicu ingatan masa bocah.
Dulu, bocah-bocah di desa biasa mendapat duit saat Lebaran. Duit digunakan untuk piknik, membeli sepatu, atau jajan selama setahun penuh. Pilihan membeli sepatu mungkin “bijak”.
Duit menjadi sepatu, pemenuhan impian bocah miskin di desa. Sepatu untuk sekolah. Dulu, ada perintah sepatu harus seragam. Bocah mengingat “warior”.
Pada suatu masa, bocah berada di keluarga mapan alias berduit malah berpikiran sepatu sebelum Lebaran. Ia boleh meminta ke bapak-ibu dibelikan sepatu dikenakan saat Lebaran.
Kunjungan ke rumah-rumah kerabat atau tetangga mengenakan sepatu. Piknik pun bersepatu. Bocah ingin tampil necis. Bapak atau ibu mungkin membelikan sepatu merek Bata.
Selama puluhan tahun, Bata tetap idaman keluarga-keluarga di Indonesia. Di majalah Kartini, 30 Agustus-12 September 1982, keluarga Indonesia dibujuk lekas membeli sepatu sebelum Lebaran.
Sepatu sudah memberi imbuhan arti dalam Idul Fitri. Kita membaca dengan saksama: “Bata ikut bergembira menyambut Idul Fitri bersama Anda. Aneka model sepatu dewasa dan anak-anak disediakan bagi Anda sekeluarga.
Dengan model baru dan warna baru Bata, Lebaran Anda akan lebih meriah. Kunjungi penjual sepatu Bata terdekat. Bata, sepatu Lebaran Anda sekeluarga.”
Pada hari-hari berpuasa, bocah ke masjid mengikuti khotbah-khotbah, ajaran mengenai sepatu dan agama atau sepatu dan Lebaran belum disampaikan para penceramah.
Tema itu teranggap belum penting atau “darurat”. Pengecapan sepatu di hari suci seperti ingin meriah makna “ikutan” dan “terdampak”.
Di majalah National-Geographic Indonesia edisi September 2006, C Newman memberi artikel berjudul “Setiap Sepatu Menuturkan Kisah”. Artikel memikat dan merangang imajinasi saat pembaca melihat foto-foto jepretan Mitchell Feinberg.
“Setiap sepatu menuturkan sebuah kisah. Sepatu bicara tentang status, gender, etnis, agama, profesi, dan politik,” tulis C Newman. Ia mungkin sedang “mabuk” pengertian.
Kurator di Bata Shoe Museum (Toronto) bernama Elizabeth Semmelhack pernah meneliti sepatu tua asal Belanda. Sepatu dibuat dan digunakan pada abad XVI.
Sepatu itu penampakan. Ia bisa mengimajinasikan atau membuat identifikasi pengguna sepatu mengacu ke bentuk, warna, hiasan, dan lain-lain.
Di negeri jauh, riset sejarah sepatu berlangsung tapi belum menular ke Indonesia. Kita terbujuk menjadi penggemar sepatu: membeli dan mengoleksi. Sepatu dipamerkan dalam durasi terbatas, lupa tak bercerita: tercatat dan terjilid menjadi buku.
Bata mungkin telat datang ke Indonesia. Para pengguna sepatu semakin telat memberi makna di sekian peristiwa. Kita menilik sucil sejarah sepatu:
“Dahulu, banyak anak kecil tak suka dibelikan sepatu merek Bata. Mereka hanya khawatir, sampai bosan pun, sepatu itu tidak diganti. Pasalnya, sepatu Bata terlalu kuat sehingga awet dipakai bertahun-tahun.”
Bocah pun bosan. Kodrat bocah itu ingin memiliki pengalaman mengenakan sepatu pelbagai model, merasakan “sensasi” dan sadar permainan gengsi. Sepatu awet justru masalah.
Pengisahan bocah dan sepatu itu dimuat di Tempo, 2 November 1991. Bocah jarang mendapat sejarah. Dulu, sejarah Bata dimulai di Tanjungpriok, 1931. Di sana, ada NV Nederlandsch-Indische, mendatangan sepatu-sepatu dari negeri jauh.
Pada 1939, pembuatan sepatu Bata mulai dikerjakan di Indonesia. Pabrik Bata beralamat di Kalibata, Jakarta. Pada suatu masa, Bata ingin dikenang berkaitan Lebaran. Pemaknaan di sejarah terlambat. Begitu. (RM)