Sejak penerbitan buku puisi berjudul Celana (1999), pembaca sering diajak geli dan tertawa saat membaca puisi-puisi gubahan Joko Pinurbo. Tawa untuk puisi mungkin menjadi bukti penamparan pikiran atau penghajaran imajinasi dari kelaziman kita mengartikan pelbagai hal.
Joko Pinurbo bukan berperan jadi pelawak atau “penggeli hati” melalui rangkaian kata bernama puisi. Tawa tak selalu penghiburan tapi berlaku pula bagi ratapan dan cara menuju Tuhan. Ironi demi ironi dalam puisi sempat membuat tawa tapi reda jika pembaca perlahan ingin mengerti. Puisi-puisi memercik tawa tapi berharap diselesaikan dengan permenungan.
Kini, Joko Pinurbo menjumpai kita bukan untuk selalu tertawa. Buku berjudul Buku Latihan Tidur (2017) menuntun pembaca ke halaman-halaman berisi puisi lucu dan sekumpulan seruan religiositas.
Joko Pinurbo, dalam buku tersebut, memilih membuat seruan-seruan tentang iman, toleransi, kebinekaan, pluralisme, dan tebar kasih dengan puisi-puisi berkurang kadar tawa. Urusan penggubahan puisi tak harus selalu lucu. Joko Pinurbo kadang memilih hening dan menghindari tawa pembaca.
Pada peristiwa penggusuran, Joko Pinurbo menulis puisi berjudul “Elegi”. Puisi berbeda dari berita-berita bentrok berlakon kekerasan, hujatan, dan kekecewaan. Kasus-kasus penggusuran di kota-kota justru mengingatkan pada Tuhan. Pada Tuhan, keluhan dan pengharapan diajukan ketimbang dipaksa kalah oleh peraturan kota atau undang-undang. Joko Pinurbo mengisahkan:
Maukah Kau menemaniku makan?/ Makan dengan piring yang retak/ dan sendok yang patah. Makan,/ menghabiskan hatiku yang pecah.
Tokoh dalam puisi sudah mengaku terusir dan kalah. Perlawanan mungkin sia-sia untuk tetap bertahan di rumah idaman meski suram dan jelek. Ia harus tergusur. Pada Tuhan, ia sempat ingin mendapatkan ketenangan dan kasih demi membatalkan marah dan sesalan sia-sia.
Di Indonesia, peristiwa penggusuran sudah lazim demi tata kota bermutu elok dan bertaraf internasional. Lakon itu bertambah dengan situasi permusuhan atau sengketa berdalih agama, susulan dari dalih-dalih ekonomi, sosial, dan politik.
Konon, sengketa memperalat agama berdampak parah dan mengarah ke brutalisme. Puisi berjudul “Sajak Balsem untuk Gus Mus” menandai seruan agar kita tak menodai agama dengan kekerasan. Gus Mus, pujangga dan ulama, terbiasa berpuisi menggantikan khotbah di pengajian-pengajian. Puisi berisi kritik dan peringatan.
Joko Pinurbo seperti bercakap pada Gus Mus:
Saban hari giat sembahyang./ Habis sembahyang terus mencaci./ Habis mencaci sembahyang lagi./ Habis sembahyang ngajak kelahi.
Kelompok-kelopompok menggunakan cap agama memang sering menimbulkan onar berdalih kafir, penodaan agama, dan pengharaman patung. Sekian dalih digunakan untuk menggerakkan masa. Demonstrasi jadi pameran kekuatan sebagi kaum beragama. Tindakan kekerasan pada pihak musuh sering terbenarkan demi agama. Joko Pinurbo menulis bait itu tanpa maksud mengajak pembaca tertawa. Jadwal tertawa tak selalu hadir dalam bait-bait di buku puisi.
Gelagat tawa hampir muncul di puisi berjudul “Pemeluk Agama”. Pembaca mungkin mau tertawa atau membatalkan setelah mengerti seruan dari si penggubah puisi. Tuhan menegur seseorang: “Halo, kamu seorang pemeluk agama?” Orang itu menjawab lugas: “Sungguh, saya pemeluk teguh, Tuhan.” Teguran berulang sampai orang itu mengaku: “Sungguh, saya pemeluk agama, Tuhan” Joko Pinurbo tampak sedang serius meski masih sisakan kemungkinan tawa bagi pembaca. Teguran dari Tuhan: Tapi Aku lihat kamu gak pernah/ memeluk. Kamu malah menghina,/ membakar, merusak, menjual agama.
Di Indonesia, orang-orang gampang mengaku paling beriman dan memeluk agama paling benar tapi berlaku sembrono, meninggalkan ajaran agama untuk memusuhi dan melukai penganut agama berbeda.
Pada 2016, Joko Pinurbo masih menggubah puisi-puisi berpesan religisoitas, bermaksud turut menanggulangi pengerasan sikap beragama dengan himpitan kekuasaan, ekonomi, dan kekuatan modal. Joko Pinurbo memilih Guis Dur menjadi sandaran berbagi cerita tentang pemaknaan agama. Kita simak bait kedua dalam puisi berjudul “Sebuah Cerita untuk Gus Dur”, bait peristiwa hangat menjadi aneh:
Suatu sore ia mengajak saya ngopi di rumahnya./ Ia menghidangkan kopi tokcer dan kue enak./ Kami berbahagia bersama, berbincang-bincang tentang/ hubungan antara kopi, rindu, dan insomnia. Peristiwa itu masih belum memunculkan kejutan agak wagu dan mengurangi kehangatan minum kopi bersama.
Pada bait ketiga, pembaca mengerti seruan Joko Pinurbo:
Saat saya bersiap pulang, tuba-tiba ia bertanya,/ “Eh, agamamu apa?” Kepala saya tuing-tuing./ Saya berpikirapakah kopi tokcer dan kue enak/ yang membahagiakan itu mengandung agama./ Sambil buru-buru undur diri, saya menimpal,/ “Tuhan saja tidak pernah bertanya apa agamaku.”
Situasi wagu dan tak beres itu mulai menjangkiti Indonesia. Agama malah dijadikan patokan untuk meruncingkan perbedaan dan pemunculan permusuhan. Berbeda agama berarti sengketa atau bersimpangan, bukan saling bergandengan atau saling berpelukan.
Pada puisi-puisi itu, Joko Pinurbo tak mengumbar tawa. Keinsafan bahwa tawa tak harus selalu bermekaran dalam puisi membuat pembaca berhak memungut seruan-seruan berkaitan pemaknaan agama atau religiositas di Indonesia.
Kita mungkin memilih puisi-puisi itu untuk diwartakan ke orang-orang ketimbang turut mengedarkan petisi, fatwa, atau berita memicu perseteruan berdalih perbedaan agama. Begitu.