Koalisi partai politik pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengumumkan nama resmi: Koalisi Indonesia Adil Makmur. Nama agak panjang sulit diserukan dengan bergemuruh. Ada dua kata pilihan: adil dan makmur.
Dua kata di tas lazim teringat oleh publik bereferensi ke Pancasila dan UUD 1945. Penamaan mungkin memang ingin menebar pesona dalam menjalankan misi kekuasaan mencapai adil dan makmur.
Kita ingin mengurusi kata, belum sibuk turut di pertaruhan dan argumentasi demokrasi bertahun 2018. Kita memilih kata adil saja untuk dilacak sejarah penggunaan dan tebaran makna.
Dulu, adil lazim ada di masalah hukum. Kita membuka Boekoe Kaadilan Hoekoeman dengan keterangan panjang di bawah judul: “Atas orang bangsa Djawa dan lain bangsa, jang disamakan dengan bangsa Djawa di India Nederland”. Buku disusun oleh Mr. A.J. Redeker (President Landraad di Semarang). Buku tebal itu diterbitkan G.C.T Van Dorp & Co, Semarang, 1888. Buku sudah berusia melebihi seabad.
Adil menjadi kata terpilih dalam menjelaskan hukum mengacu ke serat-serat lama di Jawa dan pengenalan hukum modern berkiblat Eropa. Adil berasal dari bahasa Arab dianggap memadai dalam berbiak makna di tanah jajahan. Sekian kata atau istilah dalam hukum sering dicomot dari bahasa Belanda tapi adil justru memiliki konsep paling tepat berkaitan pemahaman kejahatan dan hukuman.
Mari kita kutip di buku untuk mengerti makna adil, keadilan, dan pengadilan di masa lalu:
“Djikaloe meliat boekoe kaadilan hoekoeman atas bangsa Djawa sring-sring diprentah didalemnja, djikaloe keroegian tiada lebeh dari doewa poeloeh lima roepiah hoekoemannja misti dikoerangi banjak; tetapi tiada dilarang dimana-mana kapada pengadilan aken menerima djoega perihal kaentengan djikaloe keroegian lebeh dari doewa poeloeh lima roepiah.”
Kita mengalami kesulitan berpikir suntuk mengenai hukum di akhir abad XIX. Adil telah ada di situ dalam penerapan hukum dikendalikan kolonial. Kita lekas saja beralih ke adil bertokoh Tirto Adhi Soerjo dan sejarah pers di Indonesia.
Pramoedya Ananta Toer dalam buku berjudul Sang Pemula (1985) menceritakan episode Tirto Adhi Soerjo melakukan studi serius mengenai hukum Islam pada awal abad XX.
“Dalam mempelajari hukum Islamlah ia mengenal istilah-istilah Arab dengan batasan yang jelas, tanpa menimbulkan pengertian ganda. Di sini ia berkenalan dengan adil sebagai istilah yang telah mempunyai makna tetap: sesuai dengan hukum, pertama-tama dengan yang terkandung dalam Al Quran dan hadits, kemudian ditambah dengan hukum pidana/siksa dan perdata Hindia Belanda dan Belanda, atau ringkasnya hukum adat dan hukum Hindia Belanda,” tulis Pram.
Ketekunan memikirkan hak dan keadilan itu menghasilkan berkala bulanan dinamai Soeloeh Keadilan. Kerja itu agak kurang tenar ketimbang terbitan Medan Prijaji.
Tirto Adhi Soerjo “wajib” berpikiran tentang adil, keadilan, dan pengadilan berkaitan nasib dan posisi bumiputra di hadapan hukum kolonial. Ia malah sering mendapat perlakuan tak adil dalam kerja di pers dan menggubah sastra. Adil perlahan terpahamkan juga dalam pemenuhan hak berpolitik melalui pendirian sarekat, perkumpulan, dan partai politik.
Adil menjadi seruan utama di ejawantah kemajuan dan melawan kolonialisme. Sejarah pendirian dan pembesaran Sarekat Islam dan pelbagai perkumpulan pun berpijak ke pemaknaan adil.
Biografi jurnalis dan pengarang bernama Tirto Adhi Soerjo mengkuhkan pengaruh pilihan adil dari bahasa Arab dalam menjelaskan tatanan hidup di tanah jajahan, sejak akhir abad XIX.
Adil lekas laris terpakai dalam pelbagai penulisan risalah, artikel, berita, dan cerita. Adil pun diserukan dalam pidato dan rapat politik. Tirto Adhi Soerjo tentu masuk dalam daftar orang terpenting dalam penguatan makna adil bersandarkan kitab suci, sebelum mendapatkan penambahan dari pelbagai referensi.
Adil pula menjadi tema besar dalam biografi politik Soekarno sejak mondok dan berguru pada petinggi Sarekat Islam bernama H.O.S. Tjokroaminoto. Pemaknaan adil memuncak pada 1945 melalui Pancasila.
Pemikiran adil telah disusun selama puluhan tahun, sebelum menjadi gagasan pokok sebagai dasar negara. Kita mengingat seruan terkandung dalam Makloemat dari Boeng Karno kepada Kaoem Marhaen Indonesia, setelah keluar dari penjara Sukamiskin, Bandung, masa 1930-an. Soekarno berucap:
“Marilah kita memeras tenaga mendjalankan soeroehan riwajat, soeroehan riwajat jang hanja kaoem Marhaen sendiri bisa melaksanakannja, jakni mendatangkan soeatoe masjarakat adil dan sempoerna. Adil dan sempoerna boeat negeri Indonesia! adil dan sempoerna boeat bangsa Indonesia! Adil dan sempoerna boeat Marhaen Indonesia!”
Pada masa lalu, seruan adil belum bersekutu atau manunggal dengan makmur. Adil terus menjadi gagasan pusat untuk politik, ekonomi, hukum, dan pendidikan.
Pada 1945, adil semakin bermakna di Pancasila dan UUD 1945. Adil membuktikan gagasan utama dari arus melawan kolonialisme dan usaha memuliakan Indonesia di deru revolusi.
Pemaknaan dalam sejarah dan perkembangan sampai abad XXI pantas direnungi dengan membaca buku berjudul Syarah UUD 1945: Perspektif Islam (2013) oleh Masdar Farid Mas’udi. Bermula dari Pembukaan UUD 1945, adil dan keadilan meminta pemaknaan atas kemauan membentuk negara dan menggerakkan demokrasi.
Adil secara harfiah berarti “lurus” atau “seimbang”. Adil dalam fikih mengandung pengertian memperlakukan setiap orang secara setara tanpa diskriminasi berdasarkan hal-hal bersifat subjektif. Bermula dari pengertian itu Masdar sampai ke penjelasan: negara sesuai kehendak Islam tak ditentukan nama, label, atau sebutan. Tujuan negara adalah keadilan.
Di Indonesia, keadilan itu ada di dasar negara dengan pemaknaan saling berkaitan: “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Konklusi dari rentetan sejarah dan pemaknaan keadilan adalah “demokrasi berkiblat pada keadilan sosial”. Kini, kata itu dipilih dalam “pertarungan” politik untuk memikat publik agar memberi suara tanpa jaminan ada penjelasan utuh mengenai adil mengacu pada tokoh dan situasi Indonesia, dari masa ke masa. Begitu.