Dua kejadian, terpisah seribu tahun, menunjukkan pergeseran cara pandang kaum muslim dalam melihat dirinya. Pertama, terjadi di tahun 732 M. Kedua, di tahun 1798. Kedua kejadian tersebut melibatkan kekalahan muslim oleh pasukan Eropa. Dan Perancis, lewat suatu kebetulan yang aneh, atau karena takdir Tuhan, mewakili kedua kejadian itu.
Dalam jangka waktu seratus tahun semenjak wafatnya Nabi Muhammad di tahun 632 M, kaum muslim menguasai wilayah yang membentang dari tepi sungai Oxus di timur sampai semenanjung Iberia di barat.
Di barat, laju penaklukan itu seakan tak terbendung ketika pasukan muslim menyeberangi Pyrenees di wilayah Perancis selatan sekarang dan mengancam seluruh Eropa Barat di bawah pimpinan Gurbenur Andalusia, Abdurahman al-Ghafiqi.
Namun, di tahun yang sama sewaktu Abu Hanifah tengah mempelopori kajian fikih Ibnu Ishaq tengah menulis karya biografi Nabi Muhammad pertama, laju pasukan Muslim terhenti pada 732 M di area antara kota Poiters dan Tours.
Pasukan kaum Frank yang dipimpin oleh Charles Martel mampu menghancurkan tentara muslim dan memupus, untuk selamanya, apapun rencana yang sebelumnya membuat pasukan muslim melakukan percobaan penaklukan ke daratan Eropa Barat.
“Hanya Allah yang tahu apa yang terjadi di wilayah itu!”
Bernard Lewis dalam bukunya The Muslim Discovery of Europe (2001) mengemukakan perbedaan persepsi dalam kesadaran orang-orang Eropa Kristen dan kaum Muslim dalam memandang Pertempuran Poiters atau Tours. Jika di Eropa, kejadian tersebut merupakan pertempuran yang menentukan, sebaliknya di kalangan Muslim kejadian tersebut hampir-hampir tak dikenal dan dilupakan.
Lewis, misalnya menukil tulisan Edward Gibbon, sejarawan Inggris dalam bukunya yang terkenal Decline and Fall of the Roman Empire. Andai saja Charles Martel tak berhasil menghentikan laju penaklukan kaum Muslim “barangkali sekarang yang diajarkan di Oxford adalah ilmu tafsir Koran, dan mimbar-mimbarnya bakal digunakan untuk mengumandangkan kepada orang-orang yang disunat tentang kesucian dan keberanan dari wahyu Mahomet.”
“Untungnya,” lanjut Gibbon, “dari bencana semacam itu Dunia Kristen terselamatkan berkat kejeniusan satu orang.”
Sebaliknya, meski menurut Lewis dalam tradisi historiografi Islam memang ada kesadaran “bahwa di Perancis laju penaklukan kaum muslim telah mencapai batasnya.” Namun, lanjutnya, tentang Poiters, Tours, ataupun Charles Martel para sejarawan Arab abad pertengahan sama sekali tak pernah menyebutnya.
Dalam literatur sejarah Islam, Pertempuran Poiters atau Tours dikenal dengan sebutan Balat al-Syuhada. Tapi sejarawan Muslim hanya mengulasnya dengan sekilas. Lewis, misalnya, menyebut tentang Ibn ‘Abd al-Hakam (803-871), sejarawan Muslim yang menurutnya menulis hampir seluruh karya penting tentang penaklukan kaum Muslimin di Afrika Utara dan Spanyol, namun hanya menulis satu paragraf saja tentang Balat al-Syuhada dalam karyanya Futū Mir wa-akhbāruhā:
“Ubayda [Gubernur Afrika Utara] telah memberikan penguasaan Spanyol kepada Abdurahman al-Ghafiqi. Abdurahman adalah seorang bijaksana yang melakukan ekspedisi melawan kaum Frank. Mereka merupakan musuh Spanyol terjauh. Ia memperoleh banyak harta rampasan perang dan menaklukan mereka … Lalu ia melakukan ekspedisi lanjutan namun ia dan pasukannya mengalami mati syahid. Kematiannya terjadi di tahun 115 [733-34].”
Apa yang menyebabkan kekalahan di Poiters atau Tours tak menjadi ingatan kolektif di kalangan kaum Muslim sebagaimana di Eropa Kristen? Tampaknya karena kaum Muslim saat itu memandang daerah Eropa Barat tak menarik, terbelakang, dan tak memiliki arti penting. Karena itu kekalahan yang diderita kaum Muslim tidak dianggap sebagai hal yang besar.
Dalam Islam and the Destiny of Man (1985) Charles Lee Gai Eaton, misalnya, menyebut tentang seorang penulis Muslim asal Toledo bernama Sa’id ibn Ahmad yang menyusun karya, di era sebelum Perang Salib, mengenai pengelompokan bangsa-bangsa. Sa’id membaginya menjadi dua kelompok: mereka yang memiliki perhatian kepada sains dan mereka yang tidak.
“Bangsa Arab, Persia, Bizantium, Yahudi, dan Yunani termasuk dalam kelompok pertama; sisanya terdiri dari orang-orang barbar di utara dan selatan—orang-orang kulit putih dan kulit hitam,” catat Gai Eaton.
Melihat itu, tidaklah aneh jika kaum muslim melihat apa yang terjadi di Poiters dan Tours secara khusus dan di Eropa Barat secara umum sebagai tak penting. Dan sikap itu terus berlanjut. Masih menurut Gai Eaton, Ibn Khaldun pun, ketika menulis di akhir abad ke-14 M, mengesampingkan daerah Eropa Barat. Selain sekadar menyebut mengenai kabar yang ia dengar perihal perkembangan filsafat sains di sana, ia cuma menambahkan “Hanya Allah yang tahu apa yang terjadi di wilayah itu!”
Tak terpengaruh kekalahan di Poiters dan Tours dan menikmati peradaban tinggi selama berabad-abad berikutnya, kaum Muslim memandang dirinya berada di pusat sejarah. Memandang diri, mengutip Alquran, sebagai “umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” Namun, Alquran pula yang mengingatkan bahwa kekuasaan dunia adalah fana belaka, yang “Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran).”
“Rentetan Kemalangan Besar”
Ironisnya, menurut Gai Eaton, dari apa yang dicibir Ibnu Khaldun sebagai “wilayah itu” itulah pelajaran yang menyakitkan itu muncul. Dan tak ada, dari serangkaian kontak dengan Eropa yang telah bertransformasi, yang lebih menghentak kesadaran kaum muslim akan posisinya dalam percaturan urusan dunia, selain ketika seorang jenderal berusia 28 tahun bernama Napoleon Bonaparte tiba di Aleksandria pada bulan Juli 1798.
Dalam sekejap, Alexandria lalu Kairo jatuh ke tangan Perancis. Saat itu Mesir merupakan bagian dari Kekhalifahan Turki Utsmani dan secara langsung diperintah oleh golongan bekas prajurit-budak, Mamluk. Dalam kampanyenya ke Mesir, Napoleon membawa sekitar 40.000 prajurit, termasuk rombongan ahli filsafat, ilmuwan, seniman, musikus, astronomer, arsitek, ahli binatang, insinyur.
“Semua itu dimaksudkan untuk mencatat fajar abad pencerahan Perancis di dunia Timur yang terbelakang,” tulis Pankaj Mishra dalam From the Ruins of Empire; The Intelectuals Who Remade Asia (2012).
Di Kairo, Napoleon mendirikan Institute d’Égypte (lembaga ilmu pengetahuan), membangun fasilitas penerangan di jalan-jalan Kairo, dan rumah sakit. Napoleon pun berusaha mendirikan pemerintahan berdasarkan Direktorat—lembaga ologarki yang memerintah Perancis setelah revolusi—terdiri dari orang-orang terpelajar Mesir, dalam hal ini kaum ulama.
Entah sebagai pujian atau cemoohan, orang-orang Mesir memanggilnya Ali Bonaparte ketika pada saat perayaan Maulid Nabi, Napoleon mengenakan jubah dan turban.
Terlepas dari semua itu, ketika gerakan pemberontakan atas pendudukan Perancis terjadi di Mesir, prajurit Napoelon tak segan-segan “menyerbu Masjid al-Azhar, mengikatkan kuda-kuda mereka di mihrab, menginjak-injak Alquran, meminum anggur sampai mabuk, lalu kencing di lantai,” catat Mishra.
Masih menurut Mishra, Abdurahman al-Jabarti, ulama yang hidup pada masa kekuasaan Napoleon di Mesir, menulis tentang pendudukan Perancis sebagai “pertempuran besar, peristiwa mengerikan, kenyataan yang membawa bencana, malapetaka, kesengsaraan, penganiyaan, kekacauan terhadap tatanan hidup, teror, revolusi, kehancuran—singkatnya, permulaan dari rentetan kemalangan besar yang datang bertubi-tubi.”
Apa yang ditulis al-Jabarti dengan tepat menggambarkan apa yang terjadi di dunia Islam selama satu setengah abad ke depan. Satu demi satu, daerah Islam jatuh ke tangan Eropa, hingga di akhir Perang Dunia I, hampir semua seluruh kawasan Islam berada di tangan kekuatan kolonial barat.
Kini, hampir seluruh kawasan Islam sudah terlepas dari penjajahan fisik. Meski demikian, tak bisa dikatakan bahwa apa yang digambarkan al-Jabarti di atas telah seluruhnya dipulihkan.