Manusia memiliki sejarah panjang perlawanan terhadap wabah. Ada banyak hal yang telah dilakukan untuk menangkal dan mengobatinya. Satu di antaranya adalah menggunakan vaksin. Yaitu, suatu zat atau subtansi yang berasal dari virus yang telah dilemahkan atau mati yang kemudian direkayasa sedemikian rupa untuk menjadi penangkal virus lain yang berbahaya bagi manusia.
Vaksin sendiri baru ditemukan pada 1796 oleh seorang bernama Edward Jenner. Dokter dari Berkeley, Inggris itu menemukan vaksin pertama kali saat terjadi wabah cacar (smallpox). Ia menyuntikkan materi cacar sapi (cow pox) kepada seseorang. Setelah itu, orang tersebut disuntik dengan materi cacar yang menjangkiti banyak orang kala itu. Dari ujicoba tersebut, ternyata tak virus cacar tak bisa menjangkiti orang yang pernah terjangkit cacar sapi. Dari hasil inilah, vaksin kemudian diproduksi. Untuk mengenang hal tersebut, akhirnya diberi nama vacca yang berasal dari bahasa Latin yang artinya sapi. Sejak itu, vaksin dipergunakan secara luas. Setiap terjadi wabah, para ilmuwan berlomba-lomba menemukan vaksinnya.
Di Nusantara sendiri, vaksinasi pertama kali diperkenalkan pada 1804. Dirk Schoute dalam Occidental Therapeutics in the Netherlands East Indies during Three Countries of Netherlands Settlement, 1600-1900 (1937) menyebutkan jika vaksinasi terhadap wabah cacar air itu, hanya diberikan kepada para pribumi yang bekerja di perkebunan orang Eropa dan para pejabat lokal, terutama keluarga bupati. Seiring dengan semakin mudahnya akses vaksin, penggunaanya pun meluas. Pada 1812, misalnya, telah tercatat vaksinasi ke berbagai elemen masyarakat di berbagai daerah. Seperti di Gresik, Pasuruan, Bangil, Probolinggo, Besuki dan Banyuwangi.
Di tengah proses vaksinasi cacar tersebut digalakkan, tak serta merta langsung diterima oleh masyarakat. Timbul berbagai polemik dan penolakan dengan berbagai dalih. Mulai dari alasan medis sendiri, mitos, gosip hingga berbalut alasan agama. Sebagaimana yang dicatat oleh A.A. Loedin dalam Sejarah Kedokteran di Bumi Indonesia (2005), alasan penolakan vaksin dengan dalih agama menjadi persoalan yang cukup serius. Seperti halnya yang terjadi di Bawean pada 1821. Masyarakat menolak divaksin karena adanya larangan dari para ulama, serta mendapat dukungan dari penguasa setempat. Alasan yang dikemukakan karena hal tersebut dianggap menolak takdir Tuhan.
Selain karena menganggap menolak takdir Tuhan, dalih agama yang juga digunakan adalah proses penyuntikannya. Gugatan dengan alasan sebagaimana dalih tersebut, terjejak dalam majalah Swara Nahdlatoel Oelama (SNO) edisi Ramadan 1346 H atau sekitar Februari 1928.
Dalam SNO tersebut, ada pertanyaan yang dikirim ke meja redaksi oleh seorang kiai di Banyuwangi berinisial Ra-Fa. Ia mempertanyakan tentang proses penyuntikan vaksin cacar yang sedang digalakkan oleh Pemerintah Kolonial saat itu. Pertanyaan tersebut menganggap adanya kesamaan antara proses vaksin lewat jarum suntik dengan aktivitas menyakiti tubuh. Sebagaimana diketahui, menyakiti tubuh adalah hal yang dilarang oleh Islam. Lantas pertanyaan tersebut, kemungkinan besar dijawab oleh KH. Mas Alwi Abdul Aziz yang merupakan pihak redaktur yang kerap menjawab berbagai persoalan keagamaan yang masuk ke meja redaksi. Pertanyaan tersebut dijawab secara gamblang dengan menggunakan bahasa Jawa dan aksara Pegon. Dalam terjemah bebasnya, kurang lebih demikian redaksi jawabannya:
Dari penglihatan saya terhadap vaksin (Jawa: cukit) dapat disamakan dengan proses mengeluarkan darah pada bekam. Hal tersebut menjadi obat yang bisa menolak penyakit. Yang mana hal tersebut telah maklum diketahui oleh kalangan dokter, baik yang muslim atau non-muslim, tentang khasiat bekam sebagai pengobatan. Jadi, jika vaksinasi tersebut diqiyaskan dengan bekam, maka dapat diterima. Adapun jika tidak sah upaya menyamakan (qiyas) kedua hal tersebut, maka vaksinasi yang merupakan medium untuk memasukkan obat atau cairan melalui suntik itu, sudah diakui kemujarabannya. Sehingga, sebagaimana lumrah diketahui, melakukan sesuatu terhadap anggota badan yang bertujuan untuk menyembuhkan itu diperbolehkan.
Selain itu, gugatan yang kerap dilontarkan adalah proses vaksinasi yang juga kerap melibatkan petugas lawan jenis yang bukan muhrim. Hal tersebut juga dijelaskan oleh KH. Mas Alwi Abdul Aziz dengan seksama. Ia merujuk kepada pendapat seorang Grand Syekh Al-Azhar, Mesir, Syekh Ibrahim Bajuri (w. 1860) yang dimuat dalam kitab Hasyiyah `Ala Syarhi Ibni al-Qasim al-Ghazzi `Ala Matni asy-Syuja`I atau yang popular disebut dengan Hasyiyah Bajuri. Dalam kitab tersebut, seorang perempuan yang sakit diperkenankan untuk diobati oleh dokter laki-laki ketika memang kesulitan untuk mencari dokter perempuan. Petugas vaksin cacar, dalam pandangan Kiai Mas Alwi, tak ubahnya status dokter tersebut. Ia diperkenankan malukan vaksinasi kepada lawan jenis selagi tidak ada petugas yang perempuan.
Persoalan penolakan vaksin dengan dalih agama sebenarnya, bukan hanya terjadi di nusantara. Tapi, juga menjadi persoalan global. Juga tidak hanya terjadi di kalangan umat muslim saja. Tapi, juga muncul di kalangan agama dan kepercayaan lainnya. Persoalan tersebut juga tak hilang seiring waktu dan akses informasi yang mudah seperti dewasa ini. Gerakan anti-vaksin dengan dalih agama juga terus bermunculan hingga hari ini. Jadi, tugas para ulama untuk mendudukkan proses vaksinasi dalam pandangan syariah masih perlu untuk digencarkan, bukan? (*)