Sebagaimana diketahui, proses berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) tak semata sebagai sebuah perwujudan dari gairah pergerakan. Yang mungkin hanya berkutat pada serangkaian rapat dan kajian. Mendirikan NU lebih komplek dari itu. Ada serangkaian konfirmasi spiritual yang harus dilakukan oleh para pendirinya.
Tidak hanya melibatkan Syaikhona Kholil Bangkalan yang sudah teramat populer. Namun, juga terdapat sejumlah laku spiritual lainnya. Di antaranya adalah dengan bertirakat di makam Sunan Ampel di Surabaya. Hal ini sebagaimana dimuat dalam majalah Mimbar No. 7 Tahun I, 26 Juli 1971. Majalah besutan Nurcholis Madjid tersebut menurunkan artikel kecil dari laporan utamanya tentang Muktamar NU pada tahun 1971. Artikel tersebut berjudul “Mimpi di Makam Sunan Ampel”.
Saat hendak mendirikan NU, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Chasbullah dan KH. Ridwan Abdullah berziarah ke makam salah satu Walisongo itu. Setelah membaca serangkaian doa dan tawasul, mereka kerawuhan Sunan Ampel. Layaknya sebuah mimpi. Sang Sunan membawa sapu lidi dan mengenakan blangkon. Lantas, Sunan Ampel menghampiri ketiganya.
Sapu di tangan Sunan Ampel diserahkan kepada mereka. Begitu pula dengan blangkon yang dikenakannya. Dilepas dan diserahkan pula.
Peristiwa ini, oleh ketiganya ditafsiri, bahwa upaya untuk mendirikan NU telah mendapat restu dari Walisongo, dalam hal ini diwakilkan oleh Sunan Ampel. Sapu dimaknai sebagai lambang persatuan. Sedangkan blangkon tak lain adalah simbol estafet perjuangan Walisongo.
Atas restu tersebut, semakin mengukuhkan niat para muassis tersebut, untuk segera mendirikan NU.