Ka’bah yang menjadi pusat peribadatan umat Islam seluruh dunia dalam satu tahun terakhir melakukan pengetatan. Jika pada hari-hari biasa jutaan umat muslim dari seluruh dunia melaksanakan ibadah, baik haji maupun umrah, kini diperketat. Hal ini seiring merebaknya pandemi Covid-19 yang menjangkiti sebagian besar dunia.
Penerapan protokol kesehatan dilakukan secara ketat. Bahkan, ibadah haji 1433 H lalu hanya berlangsung secara lokal. Tak diperkenankan umat Islam di luar Arab Saudi yang diizinkan melaksanakan rukun Islam ke lima itu. Orang Arab pun dalam jumlah terbatas.
Sepintas wabah yang terjadi ini seakan mengganggu proses ibadah di Masjidil Haram tersebut. Namun, tak menutup kemungkinan ada hikmah lain yang Allah SWT berikan atas pandemi yang sedang melanda ini. Seperti halnya wabah Justinian plague yang melanda dunia pada abad ke-6 hingga 8 Masehi yang justru menjadi tentara Allah untuk melindungi Ka’bah.
Di dalam Al-Quran, Allah mengabadikan peristiwa penyerangan terhadap Ka’bah yang dilakukan oleh Raja Abrahah bersama pasukan gajahnya dalam Surat Al-Fill. Surat tersebut, menyebutkan jika pasukan gajah Abrahah dikalahkan oleh serangan mahluk Allah yang disebut dengan “thayyran ababil” yang bersenjatakan “sijjin”.
Jika merujuk pada terjemah Al-Quran versi Kementerian Agama Republik Indonesia, lafaz tersebut diartikan sebagai “burung yang berbondong-bondong” yang melemparkan “batu dari tanah yang terbakar”. Penerjemahan ini sejatinya bukanlah pemahaman tunggal dari makna lafaz tersebut. Sejumlah mufasir memberikan arti yang beragam.
Al-Husain bin Muhammad al-Raghib al-Asfahani dalam Al-Mufradat fi Gharib al-Quran menyebutkan jika makna “thayyran” tak serta merta burung. Namun, secara bahasa, merujuk pada sesuatu yang memiliki sayap dan dapat terbang di udara. Sedangkan Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Quran al-Karim Juz Amma menafsirkan lafaz tersebut lebih luas lagi. Thayr menurut intelektual terkemuka Universitas Al-Azhar Mesir itu sebagai segala sesuatu yang dapat melayang di udara, baik memiliki sayap atau tidak, besar atau kecil, dapat dilihat ataupun tidak. Sedangkan lafaz “ababil” dipahaminya dengan makna terpisah dan bergerombol dan saling mengikuti.
Dengan pemahaman kebahasaan yang demikian, kematian pasukan gajah Raja Abrahah tak mesti dibayangkan ada segerombolan burung yang menghujani pasukan tersebut dengan api neraka. Lantas, sekujur tubuhnya melepuh seperti halnya dedaunan yang dimakan ulat. Namun, juga bisa dipahami bahwa pasukan gajah tersebut tewas dikarenakan wabah yang disebabkan oleh virus atau bakteri tertentu.
Penafsiran demikian selaras dengan fakta historis. Pada permulaan abad ke-6, pada masa awal terbentuknya Islam, Timur Tengah sedang dilanda wabah penyakit pes. Wabah ini bermula dari Eropa yang kemudian dalam banyak literature menyebutnya dengan nama Justinian Plague atau Bubonic Plague. Hal ini diakibatkan oleh bakteri Yersinia pestis.
Wabah ini sebagaimana dicatat oleh Costas Tsiamis, Effie Poulakou-Rebelakou dan Eleni Petridou dalam “The Red Sea and The Port of Clysma (2009)” kemudian menjalar ke Afrika melalui pelabuhan Clysma, Mesir. Dari sini kemudian menyebar ke seluruh daratan Afrika yang berpusat di Ethiopia.
Sebagaimana diketahui, Abrahah merupakan penguasa yang berasal dari Ethiopia. Kemudian ia diutus oleh Raja Najasi untuk merebut daerah Yaman dari tangan Dhu Nuwas. Saat menguasai Yaman itulah, ia kemudian memendam niat buruk menghancurkan Ka’bah yang dinilainya menghalangi nama besar kekuasaannya.
Sebagaimana diungkapkan oleh Yohannes Genre Selassie dalam artikelnya berjudul “Plague as a Possible Factor for the Decline and Collapse of the Eksumite Empire: A New Interpretation” yang dimuat dalam jurnal ITYOPIS: Northeast African Journal of Social Science and Humanities (2011), Ethiopia (Eksumite) telah dilanda wabah tersebut sejak 541-542. Hal itu terbukti saat pembangunan bendungan di wilayah Magrib yang banyak memakan korban akibat wabah tersebut.
Dari Ethiopia ini kemudian menjalar pula ke Yaman. Dua daerah ini memiliki kontak erat dari jalur perdagangan dan ekspedisi pasukan saat terjadi peperangan. Wabah itulah yang kemudian menjangkiti Abrahah dan pasukan gajahnya kala hendak menyerang Ka’bah. Asumsi ini muncul karena adanya ketepatan rentang waktu antara masa wabah itu terjadi dengan peristiwa penyerangan Abrahah. Bahkan, Montgomery Watt dalam “Muhammad at Mecca (1953)” dengan jelas menyebutkan jika kekalahan Abrahah tersebut disebabkan oleh wabah.
Selain fakta historis tersebut, juga diperkuat oleh telaah biologis atas kesamaan gejala. Justinian Plague menurut Jack D. Poland dalam artikelnya “Diagnosis and Clinical Manifestations” memiliki dampak pembengkakan selaput getah bening (hymphadenopathy) pada lapisan kulit luar atau dalam. Hal ini kemudian menjadikan tubuh menjadi melepuh. Hal ini selaras surat al-Fill dengan perumpamaan daun-daun yang dimakan ulat (fa ja’alahum ka’asfim ma’kul).
Tentu saja penafsiran demikian, tidak selalu diterima dengan baik. Ada pula sejumlah mufasir kontemporer yang menentangnya. Seperti halnya Sayid Qutb dalam “Fi Dzilal al-Quran” menyebutkan jika surat Al-Fill tak dapat dipahami secara logis karena merupakan bagian dari pemukjizatan al-Quran. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi dalam tafsirnya (Tafsir Al-Sya’rawi).
Akan tetapi, terlepas dari polemik akan penafsiran surat Al-Fill tersebut, wabah apapun, baik Justinian Plague maupun Covid-19 adalah bukti kebesaran Allah SWT. Jika Tuhan berkendak, maka tak ada hamba yang mampu menghalanginya. (*)