Sejak 1945, setiap 17 Agustus menjadi memori indah bagi bangsa Indonesia. Hari itu, Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamirkan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Setiap tahunnya, selalu diperingati dengan aneka ekspresi. Tanda rasa syukur, haru, dan gembira.
Namun, pada hari yang sama, tujuh tahun sebelum proklamasi kemerdekaan, bumi pertiwi berduka. Salah satu tokoh bangsa yang hidupnya diabdikan untuk perjuangan telah meninggal dunia. Ia adalah KH. Abdullah Ubaid. Ia adalah pengurus Nahdlatul Ulama generasi pertama dan pendiri Gerakan Pemuda Ansor. Seruan nasionalisme dan kecintaannya pada kemerdekaan Bangsa Indonesia menjadi napas perjuangannya.
Abdullah Ubaid adalah putra dari Kiai Ali, seorang ulama terkemuka di Surabaya. Lelaki kelahiran 4 Jumadil Akhir 1318 tersebut, telah yatim sejak usia 11 tahun. Sepeninggal bapaknya, ia diasuh oleh Kiai Yasin dari Pasuruan, salah seorang karib Kiai Ali. Karena Kiai Yasin memiliki putra bernama Abdullah juga, maka ia menambahkan kata “Ubaid” di belakang namanya. Ubaid adalah isim tasgir dari lafaz “abdu” sehingga imbuhan nama tersebut bermakna anak yang kecil. Nama tersebut melekat hingga kelak dewasa.
Mula-mula Abdullah Ubaid belajar di Madrasah al-Chairiyah, Surabaya. Kemudian pada usia 14 tahun ia sempat nyantri di Syaikhona Kholil Bangkalan sebelum kemudian mondok di Tebuireng. Di pesantren yang diasuh oleh KH. M. Hasyim Asy’ari tersebut, ia berkawan dekat dengan Mahfudz Shiddiq. Seorang santri dari Jember yang dikemudian hari menjadi ketua PBNU termuda.
Pada 1338 H/1920 M, Abdullah yang masih berusia 20 tahun diajak oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah untuk mengajar di Madrasah Nahdlatul Wathan. Keterlibatannya di Nahdlatul Wathan inilah, menjadikan ia tumbuh sebagai sosok penggerak dan nasionalis. Sebagaimana kita ketahui, visi nasionalisme dari Nahdlatul Wathan (kebangkitan Tanah Air) masih diwariskan hingga saat ini. Yakni, lagu “Syubbanul Wathan” atau “Yalal Wathan” yang kerap dinyanyikan di acara-acara kebangsaan, lebih-lebih di kegiatan NU.
Abdullah Ubaid merupakan figur yang alim alamah di masanya. Tidak hanya alim ilmu agamanya, namun juga memiliki wawasan pengetahuan yang luas. Pandai menulis, berdebat, juga ahli dalam berpidato. Ia menjadi mubalig kondang yang mencatatkan dirinya dalam segelintir orang pribumi yang mendapat alokasi siaran di Radio Nirom, milik pemerintah Hindia Belanda.
Keunggulan Abdullah Ubaid semakin menonjol di kalangan kawula muda. Selain karena keilmuannya sebagaimana di atas, ia juga menjadi sosok yang keren di masanya. Penampilannya selalu perlente, ke mana-mana selalu mengendarai Harley Davidson—kendaraan yang masih dianggap paling keren hingga saat ini—serta mahir bermain musik gambus. Salah satu genre musik yang paling digemari kala itu.
Seluruh hidup suami Nyai Syafi’ah tersebut, dapat dikatakan diwakafkan sepenuhnya pada dunia pendidikan dan pergerakan. Tak ada waktu untuk berleha-leha. Jam 6 pagi ia mengajar orang-orang dewasa di kediamannya di Kawatan, Surabaya. Dua jam kemudian ia mengajar di Nahdlatul Wathan hingga pukul satu siang. Sepulangnya dari sana, ia kembali mengajar untuk anak-anak hingga sore. Waktu malamnya ia pergunakan untuk tablig keliling.
Setelah NU berdiri pada 31 Januari 1926, Abdullah Ubaid juga turut serta terlibat. Ia dipercaya menjadi anggota A’wan generasi pertama dalam struktur Hoofdbestur Nahdlatoel Oelama (HBNO/kini PBNU). Dalam open bar yang dihadiri oleh PBNU—sebagaimana banyak diberitakan di Swara Nahdlatoel Oelama—ia kerap didapuk sebagai pembicara. Biasanya, Abdullah Ubaid kebagian untuk menyampaikan konter terhadap fitnah-fitnah yang ditujukan kepada NU maupun kepada tokoh-tokohnya. Retorikanya yang mantap, pengetahuannya yang luas, serta logikanya yang cerdas bisa jadi merupakan salah satu pertimbangannya.
Aktivitas pergerakan Abdullah Ubaid tidak hanya di NU. Sebelum NU berdiri, ia telah merintis organisasi Syubbanul Wathan yang segmentasinya adalah anak muda. Ketika NU berdiri, organisasi tersebut menjelma jadi Pemoeda Nahdlatul Oelama (PNO), walaupun daerah jangkauannya masih di seputar Surabaya. Baru pada Muktamar ke-9 NU di Banyuwangi, gerakan pemuda tersebut menjadi bagian resmi NU secara nasional. Ia bersama Mahfudz Shiddiq, Wahid Hasyim dan tokoh muda NU lainnya berhasil memasukkannya ke dalam struktur departemen NU. Kala itu disebut Ansoru Nahdlatoel Oelama (ANO). Pascakemerdekaan, ANO berubah menjadi Gerakan Pemuda Ansor.
Reputasi gemilang Abdullah Ubaid bukan tanpa rintangan. Sebagaimana obituari yang dimuat di Berita Nahdlatul Ulama nomor 18 tahun X (Maret 1941) yang dimuat ulang di Berita LINO nomor 5 pertengahan Juni 1971, tantangan tersebut tidaklah ringan. Nyawa menjadi taruhannya.
“Berkali2 beliau menghadapi bahaja jang mau merenggut djiwanja, akan tetapi beliau selalu tabah. Sekali beliau bertabligh, sedang di tengah2 ummat Islam jang sedang menunggu fatwanja, menjelinap musuh2 jang sudah siap dengan sendjata. Akan tetapi Tuhan beserta beliau. Bahaja dapat terelak. Beliau sendiri dapat bertabligh dengan sukses.”
Tantangan yang mempertaruhkan nyawa tersebut, dapat dimaklumi. Kiprahnya yang moncer dan sikapnya yang nasionalistik, tentu membuat gerah Kompeni. Saat itu, Abdullah Ubaid menjadi sosok penting yang menyandang jabatan-jabatan strategis dalam dunia pergerakan. Di antara jabatan yang disandangnya adalah ketua HBNO Bagian Ma’arif, Wakil Ketua HBNO Bagian Ansor, A’wan dan Mufattis NU Cabang Surabaya, serta penasihat Pimpinan Umum Poesoera.
Mati Muda
Abdullah Ubaid bisa dikatakan tokoh muda bangsa yang cemerlang di zamannya. Keilmuan, komitmen perjuangan, serta militansinya akan menasbihkan dirinya sebagai tokoh besar di kemudian hari. Namun, suratan takdir berkehendak lain. Allah SWT menakdirkannya mati muda.
Sepulangnya mengikuti Muktamar ke-13 NU di Menes Banten pada 13 Rabiuts Tsani 1357/ 12 Juli 1938, ia mengalami kecelakaan. Motor Harley Davidson yang dikendarainya oleng ketika sampai di Pekalongan. Ia lantas dibawa pulang ke Surabaya. Setelah dirawat hampir satu bulan, akhirnya kiai Abdullah Ubaid menghembuskan napas terakhirnya pada usia 39 tahun. Usia yang relatif muda bagi seorang tokoh bangsa.
Wafatnya Kiai Abdullah Ubaid dipastikan pada Kamis 20 Jumadil Akhir 1358. Hal ini sebagaimana dimuat di beberapa kabar di Berita Nahdlatoel Oelama. Juga terdapat di buku “Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasjim“ yang ditulis oleh Aboebakar Atjeh. Namun, tak dituliskan tanggal masehinya. Dalam perkembangannya, tanggal kematiannya dikonversi ke kalender masehi menjadi 8 Agustus 1938 M. Hal ini sebagaimana dimuat di “Menapak Jejak Mengenal Watak, Sekilas Biografi 26 Tokoh Nahdlatul Ulama” yang diterbitkan Yayasan Saifuddin Zuhri pada 1994. Dari sumber inilah kemudian 8 Agustus 1938 itu oleh buku maupun artikel yang membahas tentang sosok Abdullah Ubaid.
Konversi 20 Jumadil Akhir 1357 H menjadi 8 Agustus 1938 M itu, saya kira kurang tepat. Selain dari perhitungan konversi online (www.alhalabi.com) tidak tepat, juga terdapat sumber tertulis yang menyebut 17 Agustus 1938. Hal ini termuat di Berita NO nomor 20 tahun 9 (15 Agustus 1940/ 11 Rajab 1359). Sebuah seruan yang dikirim oleh Hairi Abdurachman, seorang Landrechtweg Meester Cornelis.
“Dengan perantara madjalah B.N.O saja pohonkan kesegenap NO, ANO, NOM, maka disini oentoek memperingati hari pulangnja j.m.p Kiai Abdullah Oebayd kerachmatoellah jang terjadi pada hari Kamis tgl. 17 Augustus 1938,” demikian isi paragraf pertama seruan berjudul “Peringatan Hari Wafatnja Pendekar N.O Almarhoem Kiai Abdullah Oebayd” itu.
Akan tetapi, perbedaan konversi tanggal kematian Kiai Abdullah Ubaid ini, bukanlah sesuatu yang harus diperdebatkan secara sengit. Justru yang perlu dipikirkan bersama adalah penyebab kecelakaan dari beliaulah kiranya yang perlu dikaji serius. Sebagaimana kita ketahui, banyak tokog muda NU yang wafat dalam kecelakaan mobil. Sebut saja KH. Abdul Wahid Hasyim dan Subhan ZE. Keduanya adalah tokoh potensial NU yang akan menjadi kandidat pemimpin Nasional. Namun harus wafat kecelakaan tanpa adanya pengusutan yang jelas hingga kini.
Kasus kecelakaan yang dialami Abdullah Ubaid juga demikian. Sebagaimana diungkap di atas, perjuangannya kerap kali mengundang ancaman pembunuhan. Termasuk mencoba mencelakainya saat berkendara. Dalam BNO nomor 18 tahun 10 hal tersebut termuat.
“Pernah pula terdjadi. Di tengah2 perdjalanan, dijalan jang beliau lalui di-halang2i dengan pohon besar jang melintang. Akan tetapi berkat ketabahannja, beliau dapat menembus rintangan tersebut meski kendaraannja terpaksa djatuh terpelanting kedalam tambak.”
Dari upaya pembunuhan yang berulang itu, tidak patutkah kita menaruh kecurigaan jikalau kecelakaan yang dialami Kiai Abdullah Ubaid hingga menjadi penyebab wafatnya tersebut adalah upaya rekayasa dari pihak-pihak yang tak menyenanginya? Bisa jadi, bukan?
Namun yang pasti, wafatnya Kiai Abdullah Ubaid adalah kehilangan besar. Tidak hanya bagi keluarga besar NU, tapi juga bagi bangsa Indonesia. Kehilangan tersebut, tanpak nyata dari penggalan puisi yang digubah oleh Indra Laksana untuk mengenang kepergian sang kiai muda, sebagaimana dimuat di majalah Suara Ansor (Jumadil Akhir 1360 H, Nomor 02 Tahun IV).
Sewaktu tuan membuka rimba
membuat jalan indah dan permai
membentang taman kanan dan kirinya
bunganya penuh melambai-lambai
Timbullah ajal dari Nan Esa
Malaikat datang memetik jiwamu
tuan pergi menghadap Rabbana
sebelum tercapai maksud hatimu
Di kala tuan menanam melati
dalam jambangan taman ibunda
tuan sirami setiap pagi
tuan periksa setiap senja
belum lagi kuncup mengembang
tuan sudah pergi dahulu
tinggallah kami tinggallah tercengang
melihat tuan sudah berlalu
Datanglah duta dan Ilahi
menjemput tuan ke indraloka
tuan berjalan tinggallah kami
dilanggar badai dihempas gelora (*)