Ayung Notonegoro
Penulis Kolom

Penggerak di Komunitas Pegon untuk mendokumentasi, meneliti, dan mempublikasi khazanah pesantren di Banyuwangi. Bisa ditemui di akun Facebook Ayunk Notonegoro

Kiai Achmad Siddiq, Sosok Rais Aam dengan Selera Musik Michael Jackson

Kepalanya hampir tak pernah lepas dari kopiah. Tak jarang juga dilengkapi dengan serban yang dikerudungkan di kepalanya. Dalam amatan penulis, hanya foto-foto di masa mudanya saja yang gundulan. Tak mengenakan penutup kepala. Seperti halnya foto dalam buku “Hasil Rakjat Memilih: Tokoh-Tokoh Parlemen (Hasil Pemilihan Umum Pertama 1955) Republik Indonesia” yang disusun oleh Parlauangan.

Penampilan yang demikian, tentu tak mengherankan. Sebagai seorang yang terlahir di tengah keluarga pesantren yang terpandang dan ditakdirkan menjadi pucuk pimpinan organisasi Islam terbesar di Indonesia, menjadikan gaya berpenampilannya menjadi wajar. Bahkan, semakin menguatkan sisi karismatik dirinya.

Ia adalah KH. Achmad Siddiq, putra KH. Muhammad Siddiq tersebut sejak muda telah dikenal sebagai sosok yang berilmu. Usai belajar kepada ayahandanya, ia melanjutkan di Pesantren Tebuireng, Jombang.

Di sana ia belajar langsung kepada Hadratusysyekh KH. Hasyim Asy’ari. Tak hanya menjadi pembelajar yang baik, sosok pengagum Imam Ghazali tersebut, juga menjadi penggerak yang ulung.

Baca juga:

Bersama putra sang guru, Kiai Achmad dibimbing untuk menjadi aktivis gerakan. Tercatat, ia pernah menjadi Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Jember dan Gerakan Pemuda Ansor. Lantas, berlanjut di Nahdlatul Ulama.

Di NU ini, Kiai Achmad pernah menjadi Ketua PWNU Jawa Timur. Di kemudian hari, ia didaulat menjadi Rais Aam PBNU hingga akhir hayatnya.

Selain itu, Kiai Achmad juga sarat dengan pengalaman politik. Sebagai asisten dari KH. Abdul Wahid Hasyim, ia banyak menimba pengalaman dari aktivitas harian putra dari gurunya tersebut. Mulai dari aktivitas di Masyumi, Shumubu, PBNU hingga kemudian menjadi Menteri Agama. Kiai Achmad sendiri pada 1955, terpilih sebagai salah seorang anggota DPR RI dari Partai Nahdlatul Ulama untuk daerah pemilihan Jawa Timur.

Baca juga:  Katib Am PBNU: Hadapi Kebangkitan Kedua, NU Perlu Jernihkan Organisasi

Di balik reputasinya yang demikian kukuh sebagai seorang tokoh sekaligus ulama, sudah tentu memiliki kepatutan dan korelasi yang kuat jika berpenampilan sebagaimana dijelaskan di atas. Akan tetapi, di balik serbannya tersebut, ada sisi klangenan tersendiri dari Kiai Achmad. Sisi di mana ada hal-hal ringan duniawi yang menjadi pengisi waktu senggang. Semacam hobi untuk menurunkan tensi di tengah tekanan kehidupan. Klangenan dari Kiai Achmad sendiri tak lain adalah musik.

Sebagian besar ulama mungkin agak menghindar – untuk tidak dikatakan antipati – dari musik. Tak sedikit juga, bahkan, yang memfatwanya haram. Namun tidak dengan Rais Aam PBNU pasca KH. Ali Maksum tersebut. Reportase majalah Tempo Nomor 42 Tahun XIV 15 Desember 1984 merekam sekelumit klangenan tersebut.

Sehari menjelang pembukaan Muktamar ke-28 NU di Situbondo, 8 Desember 1984, Kiai Achmad masih berada di kediamannya. Pondok Pesantren As-Siddiqiyah Jember. Pagi hari adalah waktu yang tepat baginya untuk menyalurkan klangenannya. Ia biasa bersantai, membaca atau olahraga ringan sembari mendengarkan musik.

Gus Dur sangat menghormati kiai ini (Foto: Tempo)

Jika tak senam, Kiai Achmad akan mengayuh argocycle atau sepeda statis. Di saat seperti itu, ia memutar lagu dari tipe recorder miliknya. Mungkin kita akan mengira, musik yang diputarnya adalah lagu-lagu Arab macam Umi Kultsum. Atawa lagu-lagu gambus yang karib di kalangan pesantren selain selawat.

Baca juga:  Fenomena Gus Baha', Titik Balik Peradaban Turats Pesantren

Akan tetapi selera Kiai Achmad cenderung kosmopolit. Koleksi lagunya lintas genre. Banyak musik pop, bahkan genre rock yang diperdengarkannya. Di ruang kerjanya yang terletak di loteng rumahnya, selain ribuan buku dan kitab, tersimpan juga berbagai koleksi kaset dari beberapa musisi yang kerap diputar bergantian.

“Saya senang lagu apa saja,” katanya. Dari lagu tersebut, “saya ingin tahu keindahan.”

Michael Jackson adalah musisi yang lagu-lagunya kerap ia putar. Penyanyi Amerika Serikat berdarah Afrika tersebut menjadi salah satu musisi yang digemarinya. Kaset dari penyanyi yang tersohor dengan tari ‘mount walk’ itu bersanding dengan ratusan kaset lainnya.

Koleksinya antara lain Raymond Lefevre, Paul Mauriat, Azizah Djidal dan Fairuz. Dari penyanyi dalam negeri, tanpak kaset dari Bimbo dan Ramona Purba.

Bagi Kiai Achmad, musik adalah sebuah klangenan yang tak sekadar hiburan, atau teman untuk menghabiskan waktu. Musik baginya adalah sumber inspirasi. “Banyak inspirasi yang muncul justru setelah mendengarkan musik,” akunya.

Kegemarannya pada musik tersebut, bisa jadi terpengaruh oleh gurunya, KH. Abdul Wahid Hasyim. Ayahanda dari Gus Dur tersebut dikenal sebagai seorang kiai yang memiliki pandangan inklusif. Ia bisa menerima berbagai kebudayaan asing sebagai sesuatu yang bisa dipergunakan sebesar-besarnya untuk memajukan kaumnya. Sebut saja gagasannya untuk mengajarkan bahasa asing di pesantrennya, memberikan akses bacaan yang luas pada santri-santrinya, tak terkecuali juga hasrat berkeseniannya. Selain sastra dan syair, Kiai Wahid Hasyim juga menggemari musik.

Lebih-lebih ketika Kiai Achmad kerap bersinggungan dengan Gus Dur, anak gurunya tersebut. Keduanya, meski berjarak 14 tahun usianya, sering kali terlibat dalam gerakan-gerakan perjuangan bersama. Terutama dalam memajukan organisasi Nahdlatul Ulama. Seperti halnya saat pelaksanaan Munas NU di Kaliurang, Yogyakarta (1981). Keduanya merupakan arsitek yang mendorong terpilihnya KH. Ali Maksum sebagai Rais Aam PBNU menggantikan KH. Bisri Syansuri yang wafat setahun sebelumnya.

Baca juga:  KH. Muhammad Tholhah Hasan, Kiai Produktif dari Malang

Sebagaimana kita ketahui, Gus Dur merupakan kiai yang memiliki wawasan kesenian kontemporer – seperti sastra, film dan musik – yang sangat luas. Tak hanya di lingkar para kiai atawa pesantren, wawasan Gus Dur sejajar dengan pengamat seni profesional lainnya. Hal ini terlihat dalam reputasinya sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) hingga jadi juri Festival Film Indonesia (FFI).

Sejauh ini, penulis memang tak menemukan keterangan langsung keterkaitan selera musik Kiai Achmad dengan Kiai Wahid maupun Gus Dur. Namun, persinggungan ketiganya tak bisa diabaikan begitu saja, bukan?

Terlepas dari pengaruh memengaruhi tersebut, klangenan dari Kiai Achmad dan para kiai lainnya tersebut menjadi penting untuk kita renungkan.

Di haulnya yang ke-28 pada 23 Januari ini, sekaligus ulang tahunnya yang ke-93 selang sehari, sebesar dan seserius apapun seorang tokoh, selalu ada sisi-sisi humanisnya. Sisi klangenan yang bisa melepaskan sejenak ketegangan dan keseriusan harian. Dari klangenan yang demikian itulah, kelembutan rasa dan ke-selow-an pemikiran berkecambah. Jika tanpa klangenan tersebut, bisa jadi hanya pekikan dan sumpah serapah saja yang keluar dari mulutnya, walaupun ia dianggap sebagai tokoh agama.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top