Ayung Notonegoro
Penulis Kolom

Penggerak di Komunitas Pegon untuk mendokumentasi, meneliti, dan mempublikasi khazanah pesantren di Banyuwangi. Bisa ditemui di akun Facebook Ayunk Notonegoro

Haul Mbah Muchit: Sang Kiai Pencinta Literasi

Menjelang subuh, 6 September 2015, berita duka menyeruak dari Rumah Sakit Persada, Malang. KH. Muchit Muzadi yang dirawat di sana, menghembuskan nafas terakhirnya. Kepergiaan sosok ulama yang sederhana itu, benar-benar menyisakan kehilangan yang mendalam bagi umat Islam. Lebih-lebih bagi kalangan Nahdliyin.

Mbah Muchit begitu beliau akrab disapa, lahir di Bangilan, Tuban, 4 Desember 1925. Terlahir dengan nama lengkap Abdul Muchit. Ketika dewasa, ia menisbatkan nama ayahnya dibelakang namanya, sehingga menjadi Abdul Muchit Muzadi.

Bagi warga NU, nama Mbah Muchit tak asing. Ia dikenal sebagai pengawal khittah NU setelah ditetapkan pada muktamar NU tahun 1984 di Situbondo. Saat itu, kakak kandung Ketua PBNU 1999 – 2009 KH. Hasyim Muzadi itu, menjadi sekretaris pribadi Rais Aam PBNU KH. Achmad Siddiq. Konon, teks khittah an-nahdliyah yang dipresentasikan oleh Kiai Siddiq saat itu, ia yang mengetiknya.

Sepanjang hidupnya ia dedikasikan dirinya untuk NU. Bahkan, beberapa saat sebelum kembali keharibaan Allah SWT, beliau masih sempat “cawe-cawe” menenangkan hiruk pikuk pasca Muktamar 33 NU.

Ada banyak hal yang bisa diteladani dari sosok Kiai Muchit. Kesederhanaan, ibadah, keilmuwan dan perjuangannya yang memancarkan cahaya keteladanan. Salah satu diantaranya adalah kegemarannya pada dunia literasi.

Sampai dipenghujung usianya, ia masih berlangganan beberapa surat kabar nasional di kediamannya di Jember. Setiap pagi ia rajin membaca koran dan juga majalah. Beliau juga berlangganan beberapa majalah dan jurnal. Bahkan, Majalah Aula dan Jurnal Taswirul Afkar terbitan PWNU Jawa Timur dan PP Lakpesdam selalu ditagihnya tiap terbit.

Baca juga:  Ir. Djuanda Kartawidjaja, “Deklarator” Nusantara

Pernah suatu kali saya membaca tentang hasil wawancara beliau di Majalah Aula. Beliau tatkala ditanya tentang perbedaan khilafiyah antara NU dan Muhammadiyah, menjawabnya dengan santai.

“Nggak usah dipermasalahkan. Wong koleksi kitab (dan buku) tentang Muhammadiyah mereka (orang Muhammadiyah), masih banyakan saya, kok. Yang mempermasalahkan khilafiyah itu kurang belajar saja.”

Kurang lebih begitu jawabnya. Betapa luasnya bacaan beliau. Koleksi bukunya dikenal melimpah ruah.

Berkat kegemarannya membaca ini, beliau juga penulis yang cukup produktif. Banyak artikelnya yang dimuat di media massa. Terutama tentang ke-NU-an. Selain itu, juga ada beberapa buku yang berhasil diselesaikan oleh beliau. Diantaranya adalah Fikih Perempuan Praktis (Khalista), Mengenal Nahdlatul Ulama (Khalista) dan NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran (khalista).

Selain yang sudah terbit, ketika beliau wafat, masih banyak pula tulisan-tulisannya yang masih berupa manuskrip. Belum pernah dipublikasikan dan tersimpan di perpustakaan pribadinya di Jember.

Tak hanya membaca dan menulis, sisi literasi Mbah Muchit yang menarik adalah tentang kegemarannya membagikan buku. Untuk hal ini, ada beberapa cerita sebagaimana yang ditulis oleh Muhammad Subhan dalam “Berjuang Sampai Akhir: Kisah Seorang Mbah Muchit”.

Suatu ketika, Mbah Muchit menggelar pengajian setiap malam Sabtu di Masjid Sunan Kalijaga di samping rumahnya yang tak jauh dari Kampus UNEJ tersebut. Pengajian yang ia ampu adalah tentang keaswajaan. Yang menjadi rujukan dalam pengajian tersebut, adalah “Aswaja dalam Persepsi dan Tradisi NU” dan “wawasan Umum Ahlussunnah wal Jama’ah” yang keduanya ditulis oleh KH. Tolchah Hasan.

Baca juga:  Ulil Abshar Abdalla dan Saya

Kedua buku tersebut ternyata sudah jarang beredar di toko-toko buku. Adanya hanya di penerbitnya yang berada di Jakarta. Mbah Muchit pun memesan buku yang harganya Rp. 50 Ribu per ekslempar itu. Lalu, ia membagikannya kepada para jama’ahnya. Sayangnya, setelah buku itu dibagikan, malah tak banyak jama’ahnya yang kembali datang untuk mengkaji buku tersebut.

Tak hanya itu, pada 2006 Mbah Muchit membagikan bukunya sendiri yang berjudul “Mengenal Nahdlatul Ulama”. Buku yang setebal 60 halaman dan dicetak dengan biaya sendiri itu, ia bagikan ke pengurus MWC dan Cabang NU se-Jawa Timur. Juga kepada pengurus PWNU dan PBNU yang saat itu sedang mengadakan pertemuan di kantor PWNU di Surabaya. Total ada 1.200 ekslempar buku yang ia bagikan dari 1.500 buku yang dicetak.

Honorium yang didapatnya dari penerbit ketika menerbitkan buku, juga tak pernah beliau ambil. Mbah Muchit lebih senang mengambilnya dalam bentuk buku. Lalu, ia bagikan kepada orang lain yang datang bertamu atau saat ada acara.

Desember 2005, ketika ulang tahunnya ke-80, Mbah Muchit juga membagikan bukunya yang berjudul “Fikih Perempuan Praktis”. Saat itu, ia sedang mengadakan acara di Pesantren KH. Wahid Hasyim, Bangil, Pasuruan. Begitu pula saat Munas dan Konbes NU di Surabaya pada 2006. Saat itu, beliau membagikan buku “NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran”.

Baca juga:  Menelisik Wahabi (7): Inilah Buku Terbaru Tentang Wahabi Berbahasa Indonesia

Tidak heran, kecintaan Mbah Muchit dalam dunia tulis menulis, menjadikan dirinya juga ditulis. Setidaknya, ada dua buku yang menulis biografinya. Yang pertama berjudul “Kiai Kelana: Biografi KH. Muchit Muzadi”. Karya Moch. Eksan ini, diterbitkan oleh LKiS pada 1999. Kemudian adapula yang berjudul “Berjuang Sampai Akhir: Kisah Mbah Muchit”. Buku ini ditulis oleh Muhammad Subhan dan diterbitkan Khalista pada 2006

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top