“Selamat Datang H. Abdul Barri dan Hj. Siti Aisyah dari Tanah Suci Mekkah,” demikian bunyi tulisan yang terbuat dari gabus itu. Terpampang di semacam replika gapura. Letaknya di depan kediaman tetangga saya di kampung yang sebentar lagi akan pulang usai menunaikan ibadah haji.
Peristiwa delapan belas tahun silam itu, masih melekat dalam ingatan saya. Bukan karena apa, tapi perubahan nama yang disandang tetangga saya tersebut. Marsani begitu nama aslinya. Namun, ia mengganti namanya menjadi Aisyah sesudahnya menunaikan rukun Islam kelima itu. Begitu pula sang suami, ia juga mengubah nama. Awalnya Abdul Bahri (Hamba Lautan) menjadi Abdul Barri (Hamba Sang Maha Baik).
Di tahun yang berbeda, guru ngaji saya di kampung juga memenuhi panggilan Nabi Ibrahim tersebut. Abdul Aziz namanya. Sepulangnya dari Saudi Arabia, alumnus Pesantren Tebuireng itu, menambahi namanya menjadi Haji Zaim Abdul Aziz. (Baca: Seks di Lingkungan NU)
“Nama Abdul Aziz sudah bagus, jadi tidak diubah. Cukup ditambahi saja agar mendapat keberkahan dari tanah suci,” kurang lebih demikian penjelasan saat saya bertanya perihal ganti nama itu.
Praktik pemberian nama baru sepulang haji, bisa dikatakan telah menjadi tradisi di kalangan umat Islam di Nusantara. Tidak hanya dari kalangan awam, dari ulama juga banyak yang mempraktikannya. Kiai Muhammad Saleh dari Lateng, Banyuwangi, misalnya. Salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama ini, membubuhi namanya menjadi Muhammad Saleh Syamsuddin seusai menunaikan haji pada 1885.
Selain Kiai Saleh juga banyak tokoh lainnya yang mengubah nama ketika haji. Seperti halnya Pengasuh Pesantren Lirboyo KH. Machrus Ali. Sebelum berhaji namanya adalah Rusydi. Ada juga Kiai Salim dari Penataban, Banyuwangi yang berhaji pada dekade 20-an. Ia mengubah namanya menjadi KH. Abdul Wahab. Adapula seorang tokoh komunis yang dikenal dengan nama Haji Misbach. Sebelum haji ia bernama Darmodiprono.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang dikenal dengan akronimnya, Hamka, pernah menuliskan perihal tradisi ganti nama ini dalam memoarnya yang berjudul “Kenang-Kenangan Hidup”. Ulama asal Sumatra itu, mengenang perjalanan hajinya pada 1927 tatkala usianya masih sembilan belas tahun.
Praktik pergantian nama itu dilakukan setelah tahalul (menggunting atau mencukur rambut) para jamaah haji. Yakni, pada hari kesepuluh di Mina. Para jamaah haji mengelilingi para syekhnya. Mereka akan diberikan serban oleh si syekh pembimbing haji itu, sebagai tanda telah menunaikan ibadah yang menapaktilasi perjuangan Nabi Ibrahim itu.
Sembari bersimpuh para jemaah haji ini, juga ditanyai perihal nama. “Siapa nama yang engkau sukai?” tanya syekh sebagaimana ditulis Hamka. (Baca: Riwayat Buya Hamka, Ulama Multitalenta)
“Abbas sajalah!” jawab si Badu Ali (salah satu jamaah haji).
“Baik!” Lalu tuan syekh mengambil serban itu dari si Badu Ali dan mengucapkan, “sammaituka sammakallah bi Haji Abbas, falyaj’al hajjaka mabruran wa sa’yan mashkuran.” Artinya kurang lebih, aku namai engkau dan Allah menamai engkau Haji Abbas. Semoga Allah menjadikan hajimu mabrur dan sa’imu yang disyukuri.
Setelah penyematan serban, pemberian nama, dan melangitkan doa, pada galibnya jamaah haji akan memberikan uang tidak kurang dari seringgit. Uang tersebut diberikan kepada si syekh pembimbing hajinya. Meski, pada dasarnya tidak ada ketetapan atawa paksaan tertentu untuk menjalankan praktik demikian.
Praktik tersebut, bagi Hamka, adalah suatu hal yang bodoh dan sia-sia. Tak lain hanya akal-akalan si syekh untuk mendapat uang dari cara-cara pungli demikian. “Bagi syekh, selain bayaran-bayaran yang resmi, banyak sumber ‘tidak resmi’ yang didapatnya dari kebodohan orang haji. Di antaranya adalah menukar nama di Mina,” tulis Hamka.
Bahkan, Hamka menuduh praktik ganti nama itu, sebagai perbuatan khurafat. Sesuatu yang tidak diajarkan oleh Rosulullah. Apalagi sampai ada jamaah yang menganggap kalau ganti nama itu, sebagai bagian dari “penyempurnaan haji”. (Baca: Ulama-Ulama Besar yang Belum Berhaji)
Bisa jadi tuduhan Hamka tersebut benar adanya. Namun, juga tak sedikit yang memiliki pandangan berbeda. Sebagaimana diketahui, dalam Islam dianjurkan untuk menggunakan nama-nama yang baik, yaitu nama-nama yang memiliki keterkaitan pada proses penghambaan kepada Allah SWT. Kebanyakan nama-nama orang Nusantara, tak tepat. Seperti halnya Abdul Bahri diganti Abdul Barri sehingga memiliki arti yang sepatutnya. Sehingga haji menjadi momentum yang tepat untuk mengganti nama.
Tuduhan bodoh dari Hamka dalam praktik itu pun tidak bisa digeneralisir. Kiai Saleh, misalnya. Ia menunaikan haji setelah belajar tujuh tahun kepada Syaikhona Kholil Bangkalan dan dikenal sebagai santri yang cerdas dan mumpuni dalam ilmu gramatika bahasa Arab (Nahwu). Mana mungkin ia disebut bodoh karena mempraktikan ganti nama ketika haji. Bahkan, Kiai Saleh mukim di sana selama tujuh tahun, belajar kepada ulama ternama di Hijaz kala itu dan bahkan sempat mengajar di Masjidil Haram. Beranikah kita menyebutnya bodoh dan ditipu oleh syekh hajinya? Tentu tidak!
Begitu pula tuduhan khurafat yang dilontarkan Hamka. Bisa jadi ini tergantung motivasi dan niatannya. Jika menyebut hal itu bagian dari keabsahan ibadah haji, jelas itu khurafat. Namun, jika sekadar untuk memperbaiki nama atau mengharap keberkahan dari nama yang baik, tentu tak masalah.
Entah berkaitan atau tidak dengan tuduhan Hamka di atas, praktik pergantian nama itu pun sempat disorot oleh Nahdlatul Ulama. Pada Muktamar ke-8 NU di Jakarta, 7 Mei 1933, terdapat bahasan bahtsul masail perihal ganti nama ketika haji. Persoalan tersebut diajukan oleh NU Cabang Gresik.
Mengenai hal tersebut, Muktamar tak melarang ganti nama. Bahkan, menghukuminya wajib tatkala nama yang awal berupa nama yang haram. Seperti halnya Abdusysyaithan (hamba setan). Namun, jika nama awalnya itu berupa nama-nama yang makruh, seperti himar, kambing dan lainnya, maka mengganti nama dihukumi sunah.
Keputusan tersebut merujuk pada pendapat Syekh Muhammad Amin al-Kurdi dalam Tanwirul Qulub. “Diwajibkan untuk mengubah nama-nama yang haram dan disunahkan mengganti nama-nama yang makruh.”
Selain itu juga merujuk pada keterangan Ibrahim al-Bajuri dalam Hasyiyah al-Bajuri. “Dan disunahkan memperbagus nama sesuai dengan hadits: ‘kamu sekalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama-nama kalian dan nama-nama bapak kalian, maka perbaguslah nama-nama kalian.’ Dimakruhkan nama-nama yang berarti jelek, seperti himar (keledai) dan setiap nama yang diprasangka buruk (tathayyur) penafian atau penetapannya. Haram menamai dengan Abdul Ka’bah, Abdul Hasan atau Abdul Ali (Hamba Ka’bah, Hamba Hasan dan Hamba Ali). Menurut pendapat yang lebih benar wajib mengubah nama yang haram, karena berarti menghilangkan kemungkaran, walaupun Ar-Rahmani ragu-ragu apakah mengubah nama demikian, wajib atau sunah.”
Dari uraian di atas, ganti nama sewaktu menunaikan ibadah haji itu bukanlah persoalan selama tata caranya tak masalah. Entah kalau dalam proses berhaji mengkampanyekan ganti presiden? Hehehe.
yang dikritik Hamka itu proses ritual penggantian nama, yang merupakan ritual laisa minal Islam. Kalau ganti nama jadi lebih Islami pasti HAMKA setuju dan itu bukan berarti tingkah laku yang kearab-araban.