Sudah maklum kiranya, kalau Bung Karno, presiden pertama Indonesia ini adalah sesosok pria flamboyan. Pemikat hati wanita yang ulung. Tak heran jika istrinya pun lebih dari seorang, sesuatu yang jamak waktu itu.
Ada beberapa kisah tentang bagaimana Bung Karno minta kawin. Dalam hal ini, minta kawin lagi alias poligami. Diantara kisah-kisah tersebut dituturkan oleh KH. Saifudin Zuhri, Menteri Agama era Bung Karno, sebagaimana ditulisnya di An Authorized Memoirs KH. Saifuddin Zuhri: Berangkat Dari Pesantren.
Suatu ketika Kiai Saifuddin sedang menghadap presiden. Ada keperluan perihal kasus KH. Wahib Wahab. Tanpa berbelit panjang, presiden pun memberikan solusi terkait permasalahan yang diajukan oleh Kiai Saifuddin.
“Nah, sekarang kepentingan saya. Maukah saudara menolong saya?” Pinta Bung Karno balik mengajukan permohonan kepada menteri agamanya tersebut.
“Tentu! Aku akan melakukannya kalau aku bisa,” jawab Kiai Saifuddin sebagaimana ditulisnya.
“Tolong nikahkan saya.”
Saifuddin Zuhri terkaget mendengar permintaan presiden tersebut.
“Ya! Nikahkan saya dengan Haryati. Saya harus nikah dengannya. Saya tak mau berbuat serong!” Bung Karno merajuk.
Saifuddin pun makin galau. Mana mungkin ia menikahkan Bung Karno yang telah beristri. Meskipun waktu itu poligami lazim, seperti raja Jawa.
Dalam kegalauan Kiai Saifuddin, ia teringat dengan kisah sepuluh tahun sebelumnya, sekitar tahun 1953. Kala itu, Bung Karno memutuskan mempoligami Ibu Fatmawati dengan Ibu Hartini. Meski mendapat respon yang luar biasa dari khalayak ramai, Bung Karno tetap melenggang kangkung.
Konon, menurut cerita Kiai Saifuddin juga, pernikahan Bung Karno dengan Bu Hartini dinikahkan oleh ayahanda Mahbub Djunaidi. Kala itu, ayahanda Mahbub, H. Djunaidi, menjabat Kepala Biro Pengadilan Departemen Agama. Ia menikahkannya di Istana Cipanas.
Setelah bergulat dengan pikirannya, dengan segala pertimbangan, Kiai Saifuddin pun mengiyakan permintaan Bung Karno. Selepas magrib, dihadapan beberapa staf ajudan yang menjadi saksi, sebuah upacara sederhana di salah satu paviliun Istana Merdeka, Kiai Saifuddin menikahkan Bung Karno dengan Nona Haryati.
Satu tahun kemudian, hal serupa kembali terjadi di hadapan Kiai Saifuddin.
Kiai Saifuddin diundang Bung Karno menghadiri pesta kecil dalam rangka suksesnya pembebasan Irian Barat. Acara itu bertempat di sebuah rumah di Jalan Gatot Subroto. Hadir disana Dr. Subandrio, Chairul Saleh, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dan seorang perempuan muda berparas cantik, kuning langsat, keturunan Jepang.
Usai pesta, Kiai Saifuddin disuruh pulang belakangan. Tak lain, Bung Karno memintanya untuk menikahkan dengan Ratna Sari Dewi, perempuan muda cantik turunan Jepang itu.
Kegalauan yang sama kembali mendera Kiaa Saifuddin.
“Kalau saya tidak nikahi dia, saya takut sekali akibatnya. Dia bakal tidak kuat menderita dan saya khawatir timbul akibat lebih buruk…” Bung Karno merayu.
“Apakah tugas seorang Menteri Agama memang untuk menikah-nikahkan presidennya?” Kiai Saifuddin mencoba untuk mengelak. Namun, dengan segala pertimbangan, Kiai Saifuddin tak kuasa menolak.
Siang itu, disaksikan beberapa orang staf istana, dengan mas kawin lima rupiah, upacara sederhana di rumah bilangan Jalan Gatot Subroto itu, Kiai Saifuddin menikahkan Bung Karno dengan Nona Ratna Sari Dewi.
Sejak itu, Kiai Saifuddin berjanji dalam hati, bahwa ini adalah pernikahan terakhir ia menikahkan Bung Karno. Apapun yang terjadi.
Tahun 1966 awal. Kondisi Jakarta sedang genting. Demonstrasi terjadi dimana-mana menuntut pembubaran PKI pasca peristiwa G30S/PKI. Kiai Saifuddin ditemani Kiai Idham Chalid, ketua PBNU dipanggil Bung Karno di wisma negara di lingkungan Istana Merdeka.
Kiai Saifuddin masygul. Tak biasanya pertemuan diadakan di wisma negara. Biasanya wisma negara hanya dipergunakan untuk tempat menginap tamu-tamu negara.
“Saya minta kedatangan saudara berdua karena ada sesuatu yang memerlukan bantuan saudara,” Presiden memulai percakapan.
Pasti tentang PKI yang sedang hangat. Duga kedua orang tamu tersebut.
“Saya amat mencintai seorang perempuan yang berasal dari daerahnya Idham Chalid (Kalimantan). Karena itu saya minta Saifuddin Zuhri menikahkan. Orangnya kini ada dalam kamar sebelah ditemani ibunya.” Bung Karno mengharap.
Kiai Saifuddin terkaget. Diam sejenak. Menguasai diri. Sejenak kemudian, Kiai Saifuddin tegas menolak keinginan Bung Karno.
“Begini Bung Karno. Situasi negara yang sedang kita hadapi amat genting. Kita dituntut keprihatinan demi keselamatan bersama.” Kiai Saifuddin mengungkapkan alasan penolakannya.
“Kalau bapak menikah juga, maafkan, aku tidak sanggup melaksanakan perintah bapak. Amat sulit bagi kami mempertahankan nama baik Bung Karno….!” Tandas Kiai Saifuddin.
Bung Karno tertunduk. Tak tahu bagaimana perasaannya. Tampak diraut wajahnya menunjukkan sikap tawakal.