Mengingat dua puluh tahun silam, saat reformasi bergulir, tidak hanya mengingat penjarahan, pelenyapan, dan pembunuhan etnis Tionghoa di Jakarta dan kota-kota lain, tapi juga pembantaian guru ngaji di Banyuwangi. Bahkan, tragedi kemanusiaan di Banyuwangi terjadi lebih awal dari kerusuhan di Jakarta. Tak hanya itu, tragedi di Banyuwangi berlangsung lama, dengan tak sedikit jumlah korban nyawa.
Ratusan guru ngaji di kampung-kampung Banyuwangi difitnah sebagai dukun santet. Setelah fitnah itu merebak di masyarakat, para guru ngaji itu lalu dibantai dengan sadis. Siapa para pembunuhnya?
Mereka adalah lelaki kekar, gesit, terlatih, berseragam hitam, serta bertopeng ala ninja dalam film-film Jepang. Mereka menyerbu kampung-kampung, membuat desas-desus, dan berseliweran meneror warga. Kegaduhan menyeruak di mana-mana.
Sejak muktamar 1994 yang dramatis itu (rezim Orde Baru sekuat tenaga menjauhkan Gus Dur dari NU) situasi mencekam di kantong NU tidak saja terjadi di Banyuwangi. Dua tahun sebelumnya, pada Oktober tahun 1996, kerusuhan berbau SARA menghantam Situbondo dan Desember 1996 kerusuhan senada meletus di kantong NU di tanah Sunda, Tasikmalaya. Beberapa bulan setelahnya, di tahun 1997, kerusuhan sosial terjadi di kantong NU daerah Pantura, tepatnya di Pekalongan.
Banyak orang mengenang peristiwa Banyuwangi sebagai “tragedi dukun santet”. Ada pula yang menyebutnya “teror ninja”. Namun, di balik penyebutan tersebut, ada satu benang merah yang menyatukannya, yakni, korban terbanyak adalah jamaah Nahdlatul Ulama. Baik korban tewas maupun korban penghasutan sehingga terlibat dalam setiap aksi massa tersebut. Untuk itu, dalam tulisan ini, saya meminjam istilah dari Gus Dur dalam menyebut peristiwa tersebut: “operasi naga hijau”.
Hingga kini, peristiwa tersebut, masih menyisakan misteri. Tak sedikit yang meyakini, kejadian itu bukan sekadar kasus kriminal biasa. Ada perencanaan yang sistematis. Bahkan, menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM], kasus tersebut terindikasi sebagai kasus pelanggaran HAM berat (Komnas Ham Telusuri Kasus ‘Dukun Santet’ 1998/ tempo/ 12-2-2015).
Untuk mengenang hal tersebut, perlu kiranya menelusuri berbagai dokumen yang ada. Baik laporan, berita, hingga hasil riset para ahli. Saya menulisnya secara kronologis untuk bisa memberikan pemahaman yang runtut.
Februari, 1998
Pembantaian dukun santet berawal pada 4 Februari 1998. Seorang yang tertuduh sebagai dukun santet bernama Soemarno Adi [35], berasal dari Sumberwadung, Kaligondo, Genteng. Ia dibantai dengan sangat sadis oleh massa pada tengah hari. Ia dibantai di Dusun Tugu, Sempu. Dalam data yang dirilis oleh Komunitas Pencari Keadilan [Kompak] Surabaya, kasus ini didata menjadi dua kasus.
Keesokan harinya, 5 Februari, kembali terulang. Kali ini terjadi di kampung Pakis Jalio, Kelurahan Sumberrejo, Banyuwangi. Dua warganya, Sahroni [35] dan Asmaki [40], yang menjadi korban. Massa menggeruduk rumahnya pada dini hari. Asmaki tewas dianiaya, sedangkan Sahroni berhasil lolos, meski rumahnya hancur berantakan.
Kejadian pembantaian ‘dukun santet’ di beberapa daerah tersebut, mendapat respon dari Bupati Banyuwangi kala itu, Turyono Purnomo Sidik. Purnawirawan TNI asal Malang itu, mengeluarkan radiogram kepada para camat tertanggal 6 Februari. Radiogram tersebut memerintahkan untuk melakukan pendataan orang-orang yang ditengarai sebagai dukun santet.
Di kemudian hari, perintah radiogram tersebut bertujuan untuk menyelamatkan para ‘dukun santet’ tersebut. Walaupun pada kenyataannya, dalih tersebut patut diragukan.
Pembantaian orang yang dituduh ‘dukun santet’ kembali terjadi pada 7 Februari. Kali ini, seorang buruh berusia sepuh, Marjani [70] yang menjadi korban.
Dalam penyerangan tersebut, Murjani berhasil melarikan diri. Meski, ia harus merelakan rumahnya dibakar. Dua hari selanjutnya, 9 Februari, kembali terjadi penyerangan di Selorejo, Desa Temurejo, Kecamatan Bangorejo. Bari [60] dan Sarinem [55] tewas setelah sebelumnya rumahnya juga dibakar massa.
Di hari yang sama, di Kecamatan Songgon terjadi pembantaian terhadap empat orang. Mereka adalah Rohadi, Sundari, Juhari, dan Munajah. Sayangnya dalam data yang dirilis oleh Kompak tidak dirinci alamatnya.
Untuk dua nama terakhir, jika merujuk pada Data Pembunuhan Diduga Dukun Santet yang diarsip oleh PCNU Banyuwangi, dua nama terakhir adalah suami-istri – masing-masing berusia 60 dan 44 tahun – yang berasal dari Dusun Gumuk Candi, Songgon. Keduanya dikejar oleh seratusan orang dan dibantai ketika tertangkap. Namun, kejadian tersebut terjadi pada 9 September. Sedangkan nama Rohadi [79] dan Sundari [75] dalam Geger Santet Banyuwangi [Abdul Manan, dkk, 2001:7] disebut berasal dari Krajan, Desa Bedewang, Songgon. Tanggal kejadiannya sama dengan data Kompak.
Radiogram bupati segera direspon oleh para bawahannya. Satu di antaranya adalah Camat Glenmore yang mengirimkan surat tertanggal 10 Februari kepada Mantri Polisi Pamong Praja. Surat bernomor 300/120/439.432/1998 tersebut, merupakan perintah lanjutan atas radiogram tersebut. Hal yang sama juga dilakukan oleh Muspika Kecamatan Purwoharjo.
Pada 11 Februari, mereka membahas radiogram tersebut dengan mengundang tokoh masyarakat dan seluruh kepala desa sekecamatan.
Maret-Juni
Empat bulan berikutnya, kasus pembantaian ‘dukun santet’ di Banyuwangi redam. Tak terjadi aksi penyerangan. Namun, dalam konteks nasional, muncul momen-momen penting yang di kemudian hari dipercaya oleh berbagai kalangan akan semakin memperuncing tragedi kemanusiaan di bumi Blambangan tersebut.
Momen itu di antaranya pengunduran diri Presiden Soeharto pada 21 Mei dan istighosah kubro yang dilaksanakan oleh PWNU Jawa Timur. Acara yang dihelat pada 31 Mei tersebut juga diikuti oleh warga Nahdliyin Banyuwangi. Sebagaimana di kutip di Majalah AULA edisi Juni 1998, ada 65 bus dan 315 colt rombongan dari PCNU Banyuwangi.
Pada bulan Mei, juga didapatkan laporan jika Komandan Koramil Kalipuro telah menyelesaikan penyusunan data “dukun santet” di wilayahnya. Hal ini terungkap dalam pertemuannya dengan para tokoh masyarakat.
Dalam data Kompak, juga dicatat ada satu kasus pembunuhan yang menimpa Imi [62]. Warga Kecamatan Singojuruh itu, dibunuh massa pada 11 Juni. Tak ada keterangan lain atas nama korban tersebut. Dalam data yang lain, juga tak disebutkan korban atas nama Imi tersebut.
Juli
Pada tanggal 5 Juli dikabarkan adanya penangkapan seorang yang mencurigakan di Kelurahan Kampung Ujung, Banyuwangi. Orang yang hendak memasuki rumah seorang mubalig tersebut, terlihat sedang bersiap mengenakan pakaian ala ninja yang serba hitam-hitam dan bertopeng.
Penangkapan dilakukan lagi sehari kemudian. Ciri pakaian orang itu sama. Bedanya, ia tampak seperti orang gila. Anehnya, ‘orang gila’ tersebut membawa senjata tajam dan sejumlah uang. Kali ini penangkapan dilakukan oleh Pagar Nusa – pasukan pendekar yang berafiliasi ke NU – di Giri.
Kejadian aneh tersebut, disusul dengan peristiwa pembantaian kembali terhadap orang yang dituduh ‘dukun santet’. Pada 11 Juli, kejadian naas tersebut menimpa warga Gebang, Desa Benelan Kidul, Singojuruh. Buruh tani berusia 65 tahun tersebut, disatroni massa pada pukul 19.00. Tak kurang dari 125 orang yang menganiayanya hingga tewas.
Selang satu minggu kemudian, tepatnya pada 18 Juli, juga terjadi pembantaian terhadap Salimun [60]. Warga Kebonjati, Singojuruh tersebut, dikabarkan tewas oleh massa atas tuduhan sebagai dukun santet.
Di waktu yang bersamaan juga terjadi pembantaian di Dusun Kutorejo, Kendalrejo, Tegaldlimo. Ada dua orang yang tewas di waktu yang hampir bersamaan. Ia adalah Nyonya Jamirah [50] dan Paiman [40]. Pada dini hari, keduanya dieksekusi. Keduanya dijemput paksa dan dianiaya hingga meninggal dunia.
Pada 20 Juli, surat kabar Memorandum, mulai menggunakan term “ninja” dalam pemberitaannya. Penggunaan istilah “ninja” ini kemudian populer dan direpetisi oleh media-media lainnya. Seperti Jawa Pos, Surabaya Post dan lain sebagainya.
Pembantaian terakhir di bulan ini, terjadi pada tanggal 28. Kali ini menimpa Jamhari [70]. Ia adalah warga Krajan, Desa Kalirejo, Kecamatan Kabat. Setengah satu dini hari, sekitar 20 orang mendatangi rumahnya. Tanpa babibu, mereka menghabisi tukang pijat tersebut.
Agustus
Di bulan kemerdekaan ini, eskalasi pembunuhan pada ‘dukun santet’ semakin meningkat. Setidaknya ada 7 kasus pembunuhan yang terjadi. Pada 3 Agustus, seorang bernama Zainuddin [55], warga Babakan, Desa Kedayunan, Kabat tewas dihajar massa pada dinihari.
Lalu, selang empat hari, disusul oleh Lahat [60]. Warga Sroyo Timur, Balak, Songgon tersebut dikepung lebih dari 75 orang. Buruh tani itu diseret dari rumahnya sembari dianiaya hingga ajal menjemput.
Sehari setelah peringatan proklamasi kemerdekaan, gilirah Hadis [60] yang menjadi korban. Warga Sumbersari, Mangir, Rogojampi itu, harus mengakhiri hidupnya dengan digantung seutas tali plastik hijau sepanjang 6 meter. Setelah sebelumnya dianiaya beramai-ramai sekurangnya 75 orang.
Pada hari yang sama, juga dilakukan pembantaian terhadap Jahir [60], warga Sukodono, Aliyan , Rogojampi oleh massa pada waktu menjelang magrib. Ia dipukul kayu balok hingga tewas oleh seratusan massa yang mengepungnya. Saat itu pula, menurut Kompak, terjadi penyerangan pada dua warga Kecamatan Rogojampi lainnya. Warga malang tersebut bernama Sahwi dan Ibrohim. Sahwi berhasil selamat, meskipun terluka parah.
Selang beberapa hari kemudian, 28 Agustus, kembali terjadi kasus serupa. Di Pendarungan, Karangrejo, Kecamatan Blimbingsari, seorang warganya bernama Sulaiman [60] kembali meregang nyawa di tangan massa.
Keesokan harinya, giliran Jaenuri, warga Kecamatan Cluring yang meregang nyawa. Namun, data dari Kompak ini, berlainan dengan arsip NU Banyuwangi yang menyebutkan nama yang sama wafat pada 27 Juli. Ia tercatat sebagai warga Krajan, Tamanagung, Cluring.
Pada 30 Agustus, amuk massa kembali terjadi di Kabat. Kali ini giliran warga Gombolirang yang jadi korbannya. Seorang petani sepuh bernama Salamun [60] harus meregang nyawa pada pukul 22.00 WIB. Ia disiksa oleh 50-an orang yang menyatroni rumahnya. Di penghujung bulan, tiba saatnya Sairi [50], warga Kramat, Kaligung, Blimbingsari yang tewas. Ia digantung massa sekitar pukul 20.00 WIB.
Sepanjang Agustus itu, narasi media massa mulai menyoroti keterlibatan warga luar kampung yang dimobilisasi ke tempat kejadian. Pada masa ini, peningkatan pengamanan di berbagai tempat mulai ditingkatkan. Warga banyak berjaga-jaga di setiap perempatan jalan. Banser dan Pagar Nusa memberi maklumat agar masyarakat meningkatkan kewaspadaan.
Puluhan korban yang telah meninggal dunia ternyata tak membuat tragedi tersebut segera mendapatkan penanganan dan peningkatan pengamanan dari aparat. Justru semakin meningkat dan eskalasinya semakin meluas dan bahkan mulai menjadi komoditas politik yang panas. Ungkapan “September Ceria” sebagaimana dipopulerkan penyanyi Vina Panduwinata, berubah menjadi “September Mencekam” pada masa itu.